24 Juni 2010

» Home » Suara Merdeka » Manuver Sekber Koalisi

Manuver Sekber Koalisi

RENCANA Partai Golkar mengajukan dana aspirasi Rp 15 miliar mendapatkan penolakan dari Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi. Partai-partai lain yang tergabung dalam sekber itu menyatakan tak sependapat. Atas penolakan ini, Partai Beringin mengancam keluar dari koalisi tersebut.

Namun ancaman itu tak digubris sedikitpun oleh kelompok partai koalisi. Bahkan, SBY sebagai ketua umum sekber sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, mengatakan bahwa sikap ancam-mengancam seperti itu tidak ada dalam kamus sekber dan sikap tersebut menunjukkan kekurangmatangan dalam berpolitik (SM, 19/06/10).


Menarik mencermati sikap keras kepala Partai Golkar terkait pengajuan dana aspirasi dan penolakan partai-partai lainnya yang tergabung dalam sekber. Pasalnya, dalam setiap kesempatan, seluruh petinggi partai di sekber menegaskan bahwa forum koalisi itu dibentuk untuk menyamakan persepsi dan menguatkan kepemimpinan SBY dalam sistem presidensial sampai 2014. Di sisi lain, mereka juga kerap bertolak belakang.

 Seperti ingin menyulut api dalam sekam. Pertanyaannya, apakah penolakan partai koalisi itu bagian dari manuver politik atau nurani yang berbicara?

Tak terlalu keliru apabila ada anggapan bahwa penolakan partai koalisi terhadap rencana pengajuan dana aspirasi sebatas manuver politik dari partai koalisi. Beberapa isu membuktikan anggapan tersebut. 

Samar-samar

Misalnya sikap sekber terhadap penuntasan kasus Bank Century. Sebelumnya salah satu pemimpin teras Partai Golkar menyatakan, kasus Century dapat dihentikan secara politik. Pernyataan itu terlontar tak lama setelah Sri Mulyani Indrawati pindah ke Washington untuk menduduki satu kursi manager di Bank Dunia.
Meski ada sedikit ketidaksepahaman atas penghentian pemeriksaan kasus Century dari partai koalisi lainnya, sinyal persetujuan partai koalisi untuk pernyataan tersebut samar-samar terdeteksi.

Ditambah lagi, greget dari sekber untuk menuntaskan skandal Century juga tak terlihat jelas. Malah ada kesan kasus yang diduga menyeret orang nomor dua di republik ini bakal dipetieskan. Artinya, sikap Partai Golkar dengan ketidaksepahaman kelompok partai koalisi lainnya dalam sekber adalah sebuah manuver politik. Satu menghentikan, lainnya menolak. Hasilnya, kasus Century seperti tidak terjamah lagi.

Kedua, rencana pembangunan gedung baru DPR yang menelan anggaran Rp 1,6 triliun. Anggaran itu dipisahkan dalam dua tahun anggaran. ebesar Rp 250 miliar pada APBN 2010, Rp 800 miliar pada rencana APBN 2011 tahap I, serta Rp 550 miliar pada APBN 2011 tahap II.

Seperti diketahui, PKS sebelumnya bersikap menolak rencana pembangunan gedung baru DPR yang dimaksudkan sebagai pengganti gedung lama yang konon miring tujuh derajat. Sampai-sampai, PKS menyiapkan tim untuk mengkajinya.

Tetapi entah apa yang terjadi, Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR Pius Lustrilanang mengatakan bahwa peletakan batu pertama gedung baru DPR dapat dilakukan pada September 2010.

Ke mana sikap PKS yang notabene tergabung dalam sekber koalisi untuk menghentikan laju pembangunan gedung baru DPR? Penolakan PKS bak manuver politik belaka. Satu menolak, lainnya diam. Hasilnya, hampir luput dari perhatian publik, gedung baru DPR yang anggarannya sama dengan membuat 12.000 gedung sekolah baru 99% masuk dalam rencana anggaran DPR. Itulah hebatnya manuver politik ala sekber.

Jika demikian, tak terlalu salah bila sementara kita menilai penolakan dana aspirasi hanyalah bagian dari manuver politik partai koalisi yang tergabung dalam sekber. Satu mengusulkan, lainnya tak sependapat. Kemungkinan hasilnya, dana aspirasi disetujui, tetapi dengan nama dan program yang lain. 

Namun tak terlambat kiranya setiap partai koalisi menepis penilaian itu. Perlu diingat, memang itulah fungsi partai politik. Penolakan partai koalisi yang hanya bagian dari manuver politik akan memicu kehancuran partai itu sendiri.

Sebab, fakta, result, dan perkembangan kebijakan dana aspirasi, yang berganti nama dengan Program Percepatan Pembangunan dan Pemerataan Daerah/P4D), lolos menjadi usulan Badan Anggaran DPR.
Partai koalisi yang menolak dana aspirasi tak boleh berbalik arah dengan menyetujui pengucuran dana Rp 15 miliar per anggota, atau bahkan Rp 1 miliar per desa, ataupun nama-nama lainnya yang mungkin muncul ke depan. (10)

— Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara Merdeka 25 Juni 2010