24 Juni 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Menakar Persoalan Andi Nurpati

Menakar Persoalan Andi Nurpati

Oleh Mahi M. Hikmat
Tindakan Andi Nurpati, anggota KPU yang menjadi pengurus Partai Demokrat memang lucu, pun dengan tindakan Partai Demokrat yang merekrutnya. Banyak yang tahu, bahkan diyakini Andi Nurpati dan para petinggi Partai Demokrat pun tahu, anggota KPU tidak boleh merangkap menjadi pengurus partai politik. Pasal 11 huruf i Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 dengan tegas menyebutkan syarat anggota KPU tidak pernah menjadi anggota partai politik atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik.


Hal itu berangkat dari pemikiran yang tulus bahwa pemilu yang berasaskan langsung umum bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) harus terlaksana. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu yang dalam konteks Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 adalah KPU dan Bawaslu/Panwaslu harus independen. Dalam logika manajemen organisasi, harus terbentang sekat yang jelas antara peserta, pelaksana, dan pengawas pemilu sehingga pembagian tugas dan wewenang pun jelas. Peserta pemilu adalah partai politik, penyelenggara pemilu adalah KPU, dan pengawas pemilu adalah bawaslu/panwaslu. Sekat-sekat itu pun harus tecermin pada anggotanya. Tidak fair jika peserta menjadi penyelenggara sekaligus pengawas.
Oleh karena itu, peraturan perundangan-undangan dengan tegas menyatakan anggota parpol tidak boleh masuk anggota KPU atau Bawaslu/Panwaslu. Andai pun boleh, harus sudah keluar dari partai politik minimal selama lima tahun. Jika ada seseorang yang menjadi anggota KPU, seperti Andi Nurpati, masuk menjadi pengurus partai politik, jelas pelanggaran.
Sejatinya parpol paham, anggota KPU dan anggota Bawaslu/Panwaslu adalah bagian yang "haram" untuk direkrut menjadi kader partai selama yang bersangkutan masih aktif menjadi anggota KPU atau Bawaslu. Kendati memang tidak ada aturan menyuratkan secara eksplisit bahwa parpol tidak boleh merekrut atau memiliki kader anggota KPU atau Bawaslu/Panwaslu sehingga tidak terdapat ancaman sanksi bagi parpol jika melakukan hal itu.
Namun, bagi anggota KPU atau Bawaslu, jika masuk menjadi anggota parpol secara otomatis ia sudah tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota KPU. Maka dari itu, secara otomatis seharusnya ia kehilangan statusnya sebagai anggota KPU. Boleh saja secara formal melakukan pengunduran diri atau dalam konteks penegakan hukum dipecat melalui mekanisme Dewan Kehormatan KPU.
Di Jawa Barat, kasus serupa, setidaknya dalam konteks pelanggaran terhadap Pasal 11 huruf i UU No. 22/2007, sempat terjadi, baik yang dilakukan anggota KPU maupun Panwaslu. Kasus yang melibatkan anggota KPU kabupaten/kota di Jabar mengharuskan dibentuknya Dewan Kehormatan setidaknya empat kali dan dua kasus di antaranya anggota KPU yang diketahui sebagai kader parpol. KPU Jawa Barat pun memecat dua anggota KPU kabupaten/kota tersebut. Kasus serupa terjadi pada anggota Panwaslu kabupaten/kota di Jabar pada Pemilu Legislatif 2009. Panwaslu Jawa Barat memecat empat anggota Panwaslu kabupaten/kota karena menjadi kader parpol.
Dalam konteks Andi Nurpati, seharusnya persoalan tersebut tidak diperdebatkan berkepanjangan dan dibiarkan menjadi wacana publik. Ketika jelas-jelas ia telah melanggar UU, maka ia pun pantas mendapatkan sanksi, yaitu dipecat.
Namun, ketika persoalan tersebut masuk wacana publik, menjadi tidak sesederhana itu. Kendati mungkin tidak benar, masuknya Andi Nurpati pada Partai Demokrat dapat makin menguatkan ketidakprofesionalan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu 2009. Tuduhan KPU tidak profesional yang disampaikan Komisi II DPRRI, Komnas HAM, Bawaslu, bahkan Mahkamah Konstitusi begitu adanya.
Padahal, dalam takaran logika sederhana, jika petinggi Partai Demokrat menganggap Andi Nurpati potensial untuk menjadi kader partai, rekrutmen dapat dilakukan setelah dia selesai mengabdi menjadi anggota KPU. Tidak sedikit anggota KPU, baik di pusat maupun di daerah, yang berakhir menjadi pengurus partai politik. Bahkan, Ketua Umum Partai Demokrat pun, Anas Urbaningrum, adalah mantan anggota KPU lalu. Akan tetapi tidak menjadi persoalan karena Anas bergabung setelah tidak menjadi anggota KPU.
Andi Nurpati pun seharusnya menyelesaikan pengabdiannya terlebih dahulu di KPU. Atau bisa saja ia mengundurkan diri sebelum direkrut menjadi pengurus parpol. Namun, menurut penjelasan Pasal 29 UU 22/2007, anggota KPU boleh mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu fisik dan/atau jiwanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota. Artinya, tidak ada dasar yang membolehkan anggota KPU mengundurkan diri karena masuk anggota parpol, bahkan untuk menjadi menteri sekalipun.***
Penulis, dosen UIN Sunan Gunung Djati, Unpas, Unikom, dan Ketua DPP Jaringan Masyarakat Peduli Demokrasi Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat, 25 Juni 2010