24 Juni 2010

» Home » Kompas » Kemelut Tabung Elpiji

Kemelut Tabung Elpiji

Sejak program konversi minyak tanah ke gas digulirkan pemerintah pada 2007, lebih dari seratus ledakan tabung elpiji terjadi di tengah masyarakat.
Ratusan jika telah jadi korban, baik yang meninggal maupun luka-luka. Ratusan bangunan terbakar dan hancur akibat ledakan tabung elpiji di daerah-daerah yang telah menjalankan program konversi, terutama Jabodetabek. Ini dampak negatif yang sangat serius dari sebuah kebijakan pemerintah di bidang energi.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator serta Pertamina sebagai pelaksana kebijakan harus segera memberikan respons dan perhatian penuh pada upaya-upaya menanggulangi dan menghindari timbulnya korban lebih banyak lagi! Pasalnya, ledakan tabung-tabung elpiji yang menimbulkan korban jiwa dan harta serta kritikan-kritikan dan saran-saran dari berbagai pihak sudah muncul sejak tahun 2007. Namun, ledakan justru semakin sering terjadi, korban jiwa dan harta semakin banyak.


Kebijakan energi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM (diversifikasi energi) dengan mendorong pemakaian gas merupakan kebijakan tepat. Selain gas lebih ramah lingkungan, lebih praktis dan ketersediaannya semestinya lebih terjamin mengingat jumlah cadangan gas di perut bumi Nusantara jauh lebih besar daripada minyak.
Dengan sekitar 50 juta rumah tangga sudah dikonversi ke gas, subsidi BBM (minyak tanah) bisa dihemat sekitar Rp 25 triliun setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa program konversi minyak tanah ke gas sudah tepat dan sudah memberikan dampak positif terhadap APBN.
Namun, kian maraknya ledakan tabung elpiji belakangan ini jelas mengindikasikan adanya sesuatu yang salah dalam implementasi program ini. Gas sangat sensitif terhadap api atau benda panas. Bisa saja pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Pertamina saling berdebat dan lempar tanggung jawab tentang penyebab dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Yang pasti, ledakan baru bisa terjadi jika ada tabung yang bocor dan tersambar api. Gas bisa keluar dari badan atau kepala botol, bisa lewat selang, regulator, atau pentil karet. Api yang menyambar gas bocor bisa datang dari pemakai yang bermaksud menyalakan kompor, benda panas, lampu listrik yang ada di ruangan, dan sebagainya. Namun, meski pemakai atau masyarakat menyalakan api atau listrik, kalau tidak ada kebocoran tabung elpiji, ledakan tidak akan terjadi!
Tanggung jawab
Mungkin ada masyarakat yang menyalakan kompor gas dalam kondisi ada kebocoran. Kalau dikatakan ”kelalaian”, mestinya ini tidak perlu terjadi jika ada sosialisasi yang efektif. Namun, kebocoran yang terjadi sebagai pemicu utama timbulnya ledakan jelas merupakan wilayah tanggung jawab Pertamina sebagai pelaksana program. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator juga tidak bisa ”lepas tangan” begitu saja. Terlebih masyarakat tidak melihat adanya respons serius dan memadai, baik dari Pertamina maupun pemerintah meskipun ledakan-ledakan sudah mulai terjadi sejak diluncurkannya program konversi tahun 2007. Akibatnya, dari hari ke hari ledakan bertambah banyak di seantero daerah yang sudah terkonversi.
Boleh jadi ada tabung elpiji, selang, regulator, dan pentil karet yang tidak memenuhi syarat keamanan atau standar SNI. Hal ini bisa terjadi karena lolosnya tabung-tabung ”bodong”, selang, regulator, pentil karet di bawah standar, ataupun karena umur pemakaian sudah melewati batas aman (laik pakai) atau mutunya menurun karena perlakuan distribusi yang kasar. Bisa juga disebabkan aji mumpung sebagai dampak kebijakan diskriminasi harga. Sebagian orang berusaha mengambil keuntungan dengan jalan memindahkan isi tabung 3 kilogram yang lebih murah ke tabung 12 kilogram atau 50 kilogram yang lebih mahal.
Teror ledakan tabung elpiji ini tragis dan pemerintah bersama Pertamina harus bertanggung jawab serta segera mengakhiri kondisi ini. Untuk itu, pemerintah dan Pertamina harus segera mengevaluasi total program konversi minyak tanah ke gas, mulai dari level kebijakan (termasuk kebijakan yang menerapkan dua macam harga) dan pengadaan paket perdana yang terkesan ”asal jalan” karena dipicu target yang besar dalam waktu relatif singkat. Juga perlu dievaluasi tata niaga atau rantai distribusi, mutu, dan mekanisme kontrol terhadap tabung berikut peralatan-peralatan yang lain.
Harus ada langkah konkret. Pimpinan Pertamina jangan hanya mengklaim menderita kerugian dari menjual gas yang saat ini sebenarnya sudah relatif sangat mahal. Harga yang dibayar masyarakat untuk gas tabung 12 kilogram saat ini Rp 75.000 per tabung atau sekitar Rp 6.250 per kilogram, setara 15,65 dollar AS per mmbtu. Sementara pemerintah menjual dari Papua ke China dengan harga 3,35 dollar AS per mmbtu dan Pertamina sendiri menjual putus gasnya dari Donggi Senoro ke Konsorsium Mitsubishi seharga sekitar 7 dollar AS per mmbtu. Gas dari Donggi Senoro ini nantinya akan dijual dalam bentuk LNG oleh Konsorsium Mitsubishi ke Jepang dengan harga sekitar 15 dollar AS per mmbtu!
Kemelut elpiji yang terjadi saat ini menunjukkan pengelolaan energi dan kekayaan migas nasional yang memang masih banyak mengandung kelemahan yang sangat merugikan rakyat.
Kurtubi Direktur Centre for Petroleum and Energy Economic Studies; Pengajar Pascasarjana FKUI
Opini Kompas 25 Juni 2010