08 Februari 2010

» Home » Kompas » Rombak Kabinet, Siapa Takut?

Rombak Kabinet, Siapa Takut?

Wacana perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu II bergulir kencang menjelang berakhirnya masa kerja Panitia Khusus Angket skandal Bank Century. Sekadar wacana atau suatu kebutuhan? Jika benar, bagaimana masa depan koalisi?
Di luar kecenderungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk terus mengeluh secara publik, kini ”ancam-mengancam” di antara para politisi yang tergabung dalam koalisi politik pendukung Presiden menjadi fenomena baru. Sekjen Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan, Presiden SBY sedang mempertimbangkan dengan serius usulan perombakan kabinet jika parpol koalisi mengambil posisi berbeda dengan pemerintah terkait skandal Bank Century. Arah ucapan Amir Syamsuddin tampaknya adalah Partai Golkar dan PKS yang tampak cukup keras mengkritisi pemerintahan SBY terkait temuan Pansus Century.
”Ancaman” Sekjen Partai Demokrat ternyata tidak membuat parpol koalisi gentar. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, misalnya, menyatakan bahwa partainya tidak berkoalisi dengan Partai Demokrat, melainkan dengan Presiden SBY yang terpilih dalam Pemilu 2009. Menurut Aburizal, tujuan koalisi adalah untuk membangun pemerintahan yang baik dan menjunjung kebenaran.

 

Gertak politik
Sesuai konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri negara merupakan otoritas Presiden. Itu artinya, setiap saat SBY pada dasarnya bisa mengangkat, memberhentikan, atau bahkan merombak kabinet jika kinerja menteri negara dinilai buruk. Namun, perombakan kabinet ketika pemerintahan hasil pemilu baru bekerja 100 hari barangkali juga terlalu dini. Apalagi sebelumnya para menteri telah melalui semacam uji kelayakan oleh SBY di Puri Cikeas, Bogor.
Pengalaman periode 2004-2009 memperlihatkan, perombakan pertama atas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dilakukan Presiden SBY setelah lebih dari setahun usia pemerintahan. Lagi pula terlalu riskan dan berisiko bagi SBY jika konteks perombakan kabinet seperti diwacanakan Partai Demokrat terkait komposisi jatah kursi parpol koalisi dalam KIB II karena secara obyektif Presiden masih membutuhkan dukungan koalisi yang dibentuknya hingga 2014. Perubahan formasi kursi parpol di kabinet tidak akan pernah menghentikan sikap kritis parpol koalisi seperti dibayangkan elite Partai Demokrat. Sebaliknya, pilihan perombakan kabinet secara demikian justru kontra-produktif bagi kelangsungan pemerintahan SBY.
Karena itu, isu perombakan kabinet yang diwacanakan Amir Syamsuddin tampaknya sekadar ”gertak politik” terhadap sikap kritis parpol koalisi yang dinilai cenderung menyalahkan pemerintahan SBY terkait skandal Bank Century. Persoalannya, hingga kini pada umumnya parpol koalisi belum mengemukakan sikap resmi mereka terkait temuan Pansus Century. Silang pendapat yang panas di Pansus sebenarnya masih merupakan sikap politik individual para politisi parpol koalisi yang belum tentu menjadi sikap resmi parpol masing-masing.
Berbeda konteks
Bagi kalangan Partai Demokrat, sikap kritis parpol koalisi dalam Pansus Century semestinya bisa menjadi dasar bagi SBY untuk meninjau kembali formasi KIB II. Sepintas lalu harapan seperti ini seolah- olah masuk akal. Namun, yang dilupakan oleh elite partai yang juga dibina oleh SBY ini adalah bahwa parpol koalisi pun berkewajiban menjalankan fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah. Selain itu, secara obyektif Partai Demokrat yang kursinya relatif terbatas juga membutuhkan parpol koalisi dalam mengawal pemerintahan ke depan.
Dalam kaitan ini, sangat wajar apabila Golkar dan PKS sama sekali tidak takut menghadapi ancaman perombakan kabinet. Golkar dan PKS tampaknya agak yakin bahwa Presiden SBY tidak akan merombak kabinet yang bisa berakibat fatal bagi kelangsungan dukungan politik terhadap pemerintahannya. Bagi dua parpol ini, ”target” perombakan kabinet semestinya tidak terkait formasi kursi parpol koalisi dalam KIB II, tetapi lebih terkait pejabat publik yang bertanggung jawab dalam skandal Bank Century.
Arah sikap kritis Golkar dan PKS tampaknya memang tertuju pada mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Namun, karena Boediono adalah Wapres dan menyentuh posisinya berarti memasuki ranah pemakzulan yang memerlukan proses politik panjang dan sangat berisiko, maka bagi Golkar dan PKS, ”tak ada rotan, akar pun jadi”. Artinya, konteks perombakan kabinet di mata Golkar dan PKS bukanlah mengubah formasi parpol koalisi dalam kabinet, melainkan lebih pada pencopotan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.
Penjara bagi SBY
Pertanyaannya kemudian, apakah Presiden SBY bakal memenuhi syahwat politik Golkar dan PKS dengan mengorban- kan Sri Mulyani yang dikenal profesional, jujur, dan secara obyektif memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan para menteri dari politisi? Barangkali inilah yang tengah dipikirkan dengan serius oleh SBY. Pilihan yang jelas tidak mudah, antara mengorbankan koalisi politik pendukung pemerintahan, atau menjadikan menteri cemerlang seperti Sri Mulyani sebagai ”tumbal” politik demi ”harmoni politik” dan kelangsungan kekuasaan.
Ini juga sekaligus menjadi pelajaran pahit bagi Presiden SBY yang tidak percaya diri meski memperoleh mandat begitu besar dan memenangi pemilu secara absolut. Koalisi politik yang mencakup tiga perempat kekuatan partai di DPR kini benar-benar menjadi ”penjara” bagi sikap kompromistis dan ketidaktegasan Yudhoyono sendiri.
Ya, penjara politik bagi Presiden, tetapi kenyamanan politik bagi parpol koalisi, katakanlah, seperti dinikmati ”ratu suap” Artalyta Suryani di Pondok Bambu.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
Opini Kompas 8 Februari 2010