HINGGA kini, mungkin publik belum tahu mengapa Gus  Dur sering melawan arus sehingga terkesan kontroversial. Bapak  demokrasi-pluralisme itu bahkan sering pasang badan ketika  memperjuangkan prinsip kebenaran yang diyakini. 
Gus Dur, selain  mewarisi sikap progresif-inovatif ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim, adalah  penganut fanatik Thomas Carly. Menurut Carly, dunia membutuhkan  pahlawan yang memiliki ''keberanian dan  individualitas'' tersendiri. Prinsip Carly itu dipegang teguh oleh Gus  Dur sejak muda, jauh sebelum terpilih sebagai ketua umum PB NU dalam  muktamar ke-27 di Situbondo 1984. 
Karena itu, mudah dipahami  jika Gus Dur sangat teguh pendirian dan tampil sebagai pemimpin  berkarakter. Gus Dur tak peduli meski harus berseberangan dengan para  tokoh dan kiai sekalipun. Beliau tak peduli, apakah langkahnya  memperjuangkan prinsip itu mengancam posisi dan popularitasnya. Sebab,  pahlawan memang tak butuh aksesori sosial, seperti pujian atau  popularitas. 
Ketokohan Gus Dur yang ditopang oleh karisma,  kecerdasan intelektual, dan geneologi kekiaian memang luar  biasa. Bahkan, sebagian warga NU meyakini tokoh sekaliber Gus  Dur hanya lahir sekali dalam 100 tahun. Jadi, kalau ingin ada Gus Dur  lagi, kita harus menunggu 100 tahun lagi. Itu dianalogikan dengan  kelahiran para mujaddid a'dham (pembaru besar) yang lahir dalam  100 tahun sekali. 
Siklus 100 tahun tersebut mengacu kepada hadis  riwayat Abu Daud: Innalaha yab'astsu lihadzihil ummah 'ala ra'syi  kulli miatin sanatin man yujaddidu laha amra diniha. Dalam redaksi  lain, yub'atsu lihadzihil ummah fikulli sanatin man yujaddidu amra  diniha.
***
KH Muchit Muzadi dan KH M. Cholil Bisri  menyebut Gus Dur sebagai jimat NU. Sebutan itu secara faktual tidak  berlebihan karena Gus Dur hadir membawa perubahan saat NU sedang dalam  masa suram, tak berwibawa. Apalagi, sejak 1970-an -sebelum menjadi ketua  umum PB NU- Gus Dur aktif membangun wacana tanding (counter  discourses) tentang NU (Umar Masdar: 2005). Lewat tulisan-tulisannya  di media massa, Gus Dur mengangkat tema  kegenialan NU dan budaya pesantren. 
Langkah Gus  Dur itu strategis karena -seperti dikeluhkan Benedict R. O'G  Anderson, ahli Indonesia dari AS- sampai 1975 tidak ada tulisan tentang  NU. Anderson menyatakan, pada 1975 itu sedikit sekali akademisi  -terutama di Barat- yang tahu NU, bahkan belum ada disertasi doktor  tentang NU. Anderson saat itu meragukan apakah segera ada disertasi  tentang NU. Padahal, NU salah satu kekuatan  sosial, kulural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di  Indonesia selama bertahun-tahun (Anderson: 1977). 
Kemampuan  intelektual Gus Dur yang mengangkat tema NU dan pesantren di media massa  menjadi awal jawaban dari kelangkaan karya ilmiah  tentang NU. Gerakan intelektual itu kian gencar setelah Gus Dur  terpilih sebagai ketua umum PB NU. Gus Dur bahkan menghidupkan mesin NU  lewat gerakan pembaruan pemikiran Islam inklusif   -populer dengan pribumisasi Islam. 
Buahnya, terjadi ledakan  intelektual dalam NU. Anak-anak muda NU, selain banyak mengikuti  jejak Gus Dur menulis di jurnal ilmiah dan media massa,  secara akademis sukses. Banyak anak muda NU yang kini menyandang gelar  magister, doktor, dan profesor, baik lulusan dalam maupun luar  negeri. Begitu juga, buku tentang NU hampir terbit tiap bulan.  Bahkan, banyak sekali peneliti dan kandidat doktor dari luar  negeri mengambil tema tentang NU sebagai objek kajian disertasi  sejak Gus Dur memimpin NU, selain tentang Gus Dur sendiri.
Gus  Dur juga melakukan pemberdayaan civil society dengan para aktivis  LSM, HAM, dan demokrasi. Gus Dur bahkan melakukan gebrakan ekonomi  dengan obsesi mendirikan 2.000 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma  (NU-Bank Summa). Hingga kini, Nusumma eksis meski jumlahnya tak  signifikan. 
***
Berpijak dari sana, Gus Dur bukan cuma  populer, tapi muncul -meminjam istilah Ulil Abshar  Abdalla- mistifikasi terhadap Gus Dur. Mistifikasi adalah proses  keyakinan mistik yang dilekatkan kepada seseorang yang dikagumi. Gus  Dur, misalnya, diyakini sebagai waliyullah, weruh sa'durunge  winarah, dan siapa yang menentang Gus Dur kualat. Namun, jika kita  saksikan penghargaan publik setelah Gus Dur wafat, tampaknya ada  benarnya. Konon, salah satu indikator wali, jika dia wafat, arus  penghargaan massa terus mengalir secara permanen. Hingga kini, tiap hari  ribuan orang menziarahi makam Gus Dur.
Maka, wajar jika lalu  lahir massa pendukung Gus Dur yang dalam istilah Eric Hoffer disebut true  believer,  pemeluk teguh atau pendukung fanatik (Hoffer; 1993).   Kelahiran true believer itu masif, baik di kalangan gus, kiai,  orang awam, maupun anak muda NU. Orang menyebut kelompok tersebut Gus  Durian. Yaitu, kader-kader ideologis yang fanatik dan paham serta  menyerap gagasan atau pemikiran Gus Dur. 
Saya tekankan kepada  kader ideologis untuk membedakan dengan ''santri kepentingan'' yang  hanya memanfaatkan karisma Gus Dur untuk kepentingan subjektif politik.  Santri kepentingan juga berbeda dengan santri pesantren yang memiliki  ciri tawadlu, ikhlas, tanpa pamrih, dan sam'an watha'atan,  sesuai kultur pesantren. Santri kepentingan adalah mereka yang hadir ke  lingkungan Gus Dur untuk kepentingan politik pragmatis, tanpa  memperjuangkan gagasan Gus Dur. Ironisnya, santri kepentingan itulah  yang banyak mengitari Gus Dur. (*)
*).         M. Mas'ud Adnan,       Dirut Harian Bangsa, Sekjen Ikatan Keluarga Alumni Pesantren  Tebuireng
Opini Jawa Pos 8 Februari 2010
08 Februari 2010
Gus Dur dan Siklus 100 Tahunan
Thank You!