08 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Masa Depan Media Cetak

Masa Depan Media Cetak

Oleh WIDODO ASMOWIYOTO

HARI ini, 9 Februari 2010, para tokoh serta jajaran pers nasional berkumpul di Palembang, Sumatra Selatan dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional/HPN ke-64. Rangkaian acara diawali penyelenggaraan Pekan Olah Raga Wartawan Nasional (Porwanas) X yang diikuti sekitar 1.000 pengurus/anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari seluruh Indonesia. Kegiatan lainnya, Konvensi Media Massa se-Indonesia dengan beragam topik aktual.


Peristiwa penting dan bersejarah lainnya dalam peringatan HPN tahun ini adalah peresmian Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Sumatra Selatan hasil kerja sama PWI, Kementrian Pendidikan Nasional, dan Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi wartawan. Kelak, SJI juga akan didirikan di beberapa provinsi lainnya di Indonesia.

Para pimpinan media massa juga akan meratifikasi  Piagam Palembang yang berisikan kesepakatan menerapkan empat produk Dewan Pers yang proses penyusunannya melibatkan berbagai komponen pers di tanah air. Dengan penandatanganan tersebut, media bersangkutan mengikatkan diri untuk menjalankan empat produk Dewan Pers, yakni Kode Etik Jurnalistik, Standar Peraturan Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, dan Standar Perlindungan Wartawan.

Di tengah maraknya peringatan HPN 2010, ada pertanyaan sangat penting yang layak direnungkan kembali oleh seluruh jajaran pers nasional. Apakah perusahaan penerbitan pers atau media cetak masih akan berumur panjang sehingga kelak para pengelola/wartawannya masih mampu pula menyelenggarakan peringatan HPN setiap tahun? Ataukah usia media cetak nasional tinggal beberapa puluh tahun lagi menyusul matinya beberapa surat kabar di Amerika Serikat?

Masalah hidup-mati media cetak di Indonesia itu memang sering diperbincangkan sepanjang 2009, baik oleh Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), PWI maupun berbagai komponen pers nasional lainnya. Sejauh yang bisa disimpulkan, ada dua kelompok besar, yakni yang pesimistis dan tetap optimistis.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 230 juta jiwa, semestinya pasar media cetak terbentang luas karena hingga 2008, total tiras media cetak di Indonesia baru mencapai 19,08 juta eksemplar. Jumlah itu terdiri atas surat kabar harian 7,49 juta eksemplar, surat kabar mingguan 1,03 juta eksemplar, tabloid 4,62 juta eksemplar, majalah 5,92 juta eksemplar, dan buletin 7.800-an eksemplar. Kenyataannya, pangsa pasar media cetak justru terasa semakin sempit, baik karena terjadinya persaingan antarmedia cetak sendiri (sekitar 950 penerbit) maupun persaingan antara media cetak dan media elektronik dan media baru (internet).
Menurut survei Nielsen Media Research di sembilan kota di Indonesia (populasi 43,87 juta dengan umur 10 tahun ke atas), pada kuartal III 2009, konsumsi koran justru mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir (awal 2005 mencapai 28 persen, tetapi terus menurun tinggal 18 persen pada kuartal III 2009). Konsumsi majalah pun turun dari 20 persen menjadi 11 persen, tabloid turun dari 20 persen menjadi 13 persen).

Sebanyak 34 persen dari pembaca koran adalah pengguna internet dan 41 persen pembaca koran juga mengakses berita lokal dari internet. Sejak 2006, persentase pengguna internet yang berusia muda terus bertambah, dari 12 persen menjadi 20 persen (usia 10-14 tahun) dan dari 24 persen menjadi 33 persen (usia 15-19 tahun), sedangkan untuk usia 20-29 tahun turun dari 40 persen menjadi 30 persen.

Sejalan dengan itu, tumbuh generasi yang disebut dengan generasi C (umur antara 10-35 tahun, dengan ciri khas gandrung terhadap penggunaan media digital). Mereka yang bersikap sangat terbuka terhadap berbagai macam media dan merasa berumur 24 tahun itu disebut generasi C karena memiliki ciri berikut, content creators, connected, co-creation, customize, community, curious, dan control "C" (suka meniru atau mencontoh figur idolanya).

Kalau sekarang semakin banyak anak muda menggunakan internet, ke depan semakin banyak anak di bawah usia sepuluh tahun yang juga gandrung mengakses internet. Mereka disebut generasi Y atau digital native, yang sejak balita banyak bersentuhan dengan teknologi digital sehingga tidak akrab dengan media cetak. Kita para orang tua akan kewalahan mengajak mereka membaca koran atau media cetak yang lain. Selain sudah kecanduan nonton televisi, ke depan mereka akan juga semakin gandrung atau berakrab-akrab dengan internet atau berbagai jenis media sosial seperti Facebook dan Twitter. Prospek suram itulah yang memunculkan sikap pesimistis.  

Di lain pihak, banyak pula pengamat dan praktisi media yang optimistis. Setidaknya hal itu tergambar dari hasil studi perilaku masyarakat dalam mengonsumsi media massa seperti dilakukan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bekerja sama dengan SPS Pusat, pertengahan 2009. Penelitian di 15 kota besar di Indonesia itu melibatkan 2.971 responden yang dipilih secara acak distratifikasi tidak proporsional pada masing-masing kota, seimbang secara gender dan kategoris (remaja usia 12-18 tahun dan dewasa usia di atas 18 tahun). Ternyata animo membaca media cetak masih relatif besar. Media cetak masih bisa diharapkan kelangsungan hidupnya, asalkan mampu meningkatkan isi/kualitas berita untuk menandingi keunggulan media online dan televisi. Kedalaman berita (indepth news) menjadi modal masa depan media cetak.

Media cetak lokal bisa menjadi "psikografis" masyarakat. Surat kabar mengidentifikasi dirinya dengan masyarakat kota atau daerah bersangkutan. Media cetak tetap berpotensi menyajikan berita-berita yang lebih luas, mendalam, dan lengkap. Media cetak masih menjadi sarana untuk mengomunikasikan jati diri si pembaca. Media cetak bisa menjadi sarana lingkungan pergaulan sosial karena media is the extention of yourself.

Disimpulkan pula, tidak semua kebutuhan informasi terpenuhi melalui televisi dan media online. Orang masih terdorong membaca media cetak dengan harapan dapat menggali informasi lebih mendalam. Meski pelaku media cetak optimistis media online belum menjadi ancaman serius dalam waktu dekat, tetapi kebijakan bisnis media cetak tak urung dibayang-bayangi kekhawatiran tren penurunan pembaca media cetak. Media cetak melakukan antisipasi dengan kebijakan penerbitan dua versi, media cetak dan online. Penerbitan media online umumnya lebih bersifat reaktif untuk menyaingi kecepatan pemberitaan media online yang memang secara sadar menjadikan dirinya sebagai situs berita.

Temuan lain yang menarik, potensi kebangkrutan media lokal bukan akibat maraknya media online, melainkan persaingan tajam di kalangan grup media besar di daerah. Pengelola media terjebak pada imagologi untuk membuat media bagus tanpa didukung kesadaran membuat sajian berita mendalam dan lengkap melalui jurnalisme riset. Kualitas media profesional tidak bisa terjadi jika kesejahteraan wartawan rendah, setidaknya pada tingkat standar yang secara paralel mencerminkan kompetensi dan kemampuan profesional wartawan.

Rekomendasi

Studi tersebut memberikan beberapa rekomendasi. Fakta menunjukkan, media lokal masih unggul. Sajian isi berita yang menekankan kedalaman dan kekuatan melalui laporan investigatif dan liputan mendalam merupakan syarat penting untuk keberlangsungan hidup media cetak. Oleh karena itu, perlu mengangkat isu berita di halaman muka berdasarkan sentuhan rasa dan sudut pandang segmen pembaca tradisional yang notabene merupakan komunitas lokal. Mengembangkan secara konseptual format "majalah harian" dari sisi sajian isi pemberitaan. Melakukan "revisi" terhadap prinsip kerja jurnalistik atas dasar 5 W + 1 H sesuai dinamika perkembangan informasi. Politik keredaksian memberi arah dan tuntunan kepada wartawan untuk menggali apa yang ada di balik berita.

Tentang paradoks antara positioning media dan kebutuhan  informasi masyarakat, pengelola surat kabar perlu meninjau kembali persepsi diri bahwa surat kabar bersangkutan merupakan "koran nasional" yang berbasis di daerah.

Pengelola media cetak sebaiknya tidak latah/bersikap reaktif menerapkan kebijakan dua versi media (cetak dan online) kecuali memang memiliki konsep menyinergikan kedua media tersebut sebagai potensi kekuatan media. Mengembangkan konsep cross content dan cross promotion sebagai bagian dari sinergi antara media cetak, online, radio/TV, dan mobile media. Sekaligus menyatukan berbagai sarana informasi yang dikelola media cetak  ke dalam satu news room operation atau news room management.

Perlu peningkatan profesionalisme jurnalis. Pengelola media perlu mencermati perilaku wartawan yang sadar atau tidak telah terkontaminasi perilaku "jurnalisme infotainment" yang menghadirkan berita-berita sensasional, kualitas kerja jurnalistik yang rendah atau mengolah berita berdasar pada gosip ketimbang fakta kejadian atau informasi klasifikasi A-1.

Para pengelola perlu membangun kesadaran baru, menghadapi persaingan bisnis antarmedia melalui cara berlomba-lomba mengangkat isu nasional sebagai headline, bukan solusi yang strategis dan efektif.

Mengingat persentase pembaca yang membeli surat kabar karena dorongan untuk mencari iklan (33,3 persen), para pelaku media sewajarnya memberi porsi iklan cukup besar sepanjang tidak mengurangi porsi berita, dan tata letak penempatannya tidak mengganggu pembaca akibat "hiruk-pikuk" tampilan iklan di halaman muka koran.

Beberapa rekomendasi dari LP3ES dan SPS Pusat tersebut sejalan pula dengan para pengamat yang bersikap optimistis, pengelola media cetak tidak perlu menganggap internet sebagai kompetitor. Justru internet dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan brand awareness dan keterkaitan antara pembaca dan media cetak.

Dalam era digital dewasa ini dan ke depan, pengelola media cetak harus inovatif dan kreatif serta mampu menyajikan konten yang lebih mendalam dan multiside atau multiplatform. Jangan asyik sendiri, melainkan melibatkan (komunitas) pembaca (melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk) untuk memberi komentar, tanggapan atau penilaian atas berbagai masalah aktual yang berkembang di tengah masyarakat.

Dalam upaya menghindari kematian media cetak serta mewujudkan profesionalisme pengelola media cetak itu pulalah, dalam peringatan HPN 2010 di Palembang para pemimpin perusahaan penerbitan pers akan meratifikasi Piagam Palembang. Hal ini juga merupakan langkah maju demi menjamin sebesar-besarnya kebebasan pers untuk kepentingan publik. ***

Penulis, wartawan ”Pikiran Rakyat”/Ketua Bidang Litbang PWI Pusat.
Opini Pikiran Rakyat 9 Februari 2010