04 Januari 2010

» Home » Republika » Tugas Berat Satgas Hukum

Tugas Berat Satgas Hukum

Adnan Topan Husodo
(Wakil Koordinator ICW)


Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dikomandoi Kuntoro Mangkusubroto secara resmi dibentuk.

Tugas utama Satgas adalah melakukan koordinasi, evaluasi, dan koreksi atas kerja-kerja penegakan hukum yang dilaksanakan oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Satgas sendiri dibentuk sebagai respons atas terkuaknya skandal Anggodo dengan pejabat teras di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung RI yang kedapatan telah bersekongkol untuk melakukan rekayasa hukum terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Dilihat dari sisi teamwork, mungkin hanya segelintir nama yang telah memiliki reputasi atau pengalaman dalam isu reformasi hukum, sebut saja, misalnya, Mas Achmad Santosa. Selebihnya, Kuntoro sendiri sebagai contoh, adalah pribadi yang dilihat dari rekam jejaknya, lebih banyak bersentuhan dengan bidang-bidang nonhukum. Tak heran jika ada yang menilai, tampilnya Kuntoro sebagai ketua Satgas lebih karena politik akomodasi Presiden, sekaligus politik balas-budi pasca kemenangan gemilang pada pemilu Presiden-Wakil Presiden kemarin.

Oleh karena itu, tak heran jika banyak yang meragukan efektivitas kerja kerja Satgas ke depan, di luar soal kompetensi, hal lain adalah karena posisi dan wewenang Satgas sebenarnya telah berbenturan atau tumpang tindih dengan lembaga sejenis yang sudah dibentuk. Dalam konteks itu, seharusnya SBY fokus pada upaya untuk merevitalisasi institusi pengawasan peradilan yang dari sisi landasan hukum jauh lebih kuat, semisal Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, atau bahkan Komisi Yudisial. Demikian halnya KPK, memiliki tugas untuk memberantas korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Mengapa mandul?
Kita tentu tidak berharap jika program pemberantasan mafia hukum sebagai prioritas kerja 100 hari Kabinet Bersatu jilid II akan menjadi pepesan kosong. Atau, bahkan yang lebih menyedihkan jika kebijakan itu disusun hanya untuk memoles citra seorang Presiden supaya terkesan serius dalam memberantas korupsi. Perlu dicatat bahwa naiknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama dua tahun berturut-turut, yakni 2008 dan 2009 lebih banyak dinilai karena faktor sepak terjang KPK. Artinya, jika selama ini pemerintah serius dalam memberantas korupsi dan semua institusi pemerintah menjalankan program antikorupsi, seharusnya IPK Indonesia akan meningkat signifikan, lebih daripada yang sekarang sudah dicapai.

Menengok catatan Kejaksaan Agung sebagai contoh, sudah beberapa kali skandal besar yang terkait dengan praktik mafia peradilan terungkap. Sejak Urip Tri Gunawan (UTG) ditangkap basah KPK karena menerima suap dari Ayin, AH Ritonga, wakil Jaksa Agung yang berkomunikasi dengan Anggodo menutup periode terburuk dari integritas penegak hukum sejak reformasi didengungkan. Belum lagi kasusnya akan bertambah jika dimasukkan nama jaksa Esther yang telah menjual barang bukti, atau Burdju Ronni yang telah divonis Pengadilan karena melakukan pemerasan akan tetapi tetap menjadi pegawai di lingkungan Kejaksaan Agung.

Maraknya praktik mafia peradilan di lingkungan lembaga peradilan sekaligus mencerminkan gagalnya lembaga pengawas semacam Komisi Kejaksaan atau Komisi Kepolisian. Masalahnya, komisi-komisi semacam ini lahir dan diisi oleh orang-orang dari sebuah rekrutmen yang buruk sekaligus wewenang yang terbatas.

Diagnosa partisipatoris
Supaya kekhawatiran banyak pihak atas efektivitas kerja Satgas tidak terbukti, tim ini harus melakukan langkah cepat sekaligus strategis. Karena medan arena pertempurannya cukup luas, dimana kejahatan mafia hukum melibatkan banyak aktor dan berada pada banyak struktur penegak hukum kita, maka Satgas perlu mengambil strategi untuk membenahi pusat-pusat kewenangan penegakan hukum yang tertinggi, sebut saja di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Artinya, Satgas tidak perlu menengok terlalu jauh hingga ke Kejaksaan Negeri atau Polsek di tingkat kepolisian dalam menjalankan misi memberantas mafia peradilan. Logikanya, jika lingkungan Kejaksaan Agung dan Mabes Polri sudah relatif steril dari relasi-relasi koruptif dengan pihak luar, maka membenahi struktur di bawahnya akan menjadi lebih mudah.

Selain itu, Satgas tidak perlu berkecimpung terlalu jauh pada penanganan perkara-perkara mafia peradilan yang dilaporkan pihak tertentu. Cukuplah wilayah itu dikoordinasikan dengan KPK, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, atau Komisi Yudisial. Satgas akan menjadi lebih efektif jika berfokus pada tiga hal yang akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya misi Satgas, yakni bagaimana Satgas sanggup mendiagnosis secara komprehensif sistem koruptif yang bekerja di internal lembaga penegak hukum, struktur yang mempertahankan praktik mafia peradilan serta memastikan bahwa agensi di lingkungan penegak hukum memiliki kemauan untuk berbenah.

Robert Klirgaard, salah seorang penasihat antikorupsi internasional menawarkan sebuah pendekatan dalam melakukan diagnosis untuk memulai melakukan perubahan di lingkungan pemerintahan. Klitgaard menyebutnya sebagai diagnosis partisipatoris.

Asumsinya, korupsi yang sudah sistemik bukan semata-mata disebabkan oleh perilaku individu yang menyimpang, melainkan sistem yang berlaku membuka ruang atau bahkan menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di sisi lain, orang-orang yang bekerja di instansi pemerintah memiliki pengetahuan dan informasi yang akurat atas berbagai bentuk penyimpangan yang biasa terjadi.

Selain mendiagnosis secara partisipatoris sebab berjangkitnya mafia peradilan, Satgas juga perlu menilai integritas dan kapasitas struktur yang selama ini menjalankan roda birokrasi penegakan hukum. Memetakan siapa-siapa yang bisa diajak untuk mendorong perubahan dan siapa-siapa yang tetap ingin mempertahankan status quo merupakan pekerjaan rumah selanjutnya.

Selebihnya, jika Satgas menghadapi kendala besar di internal Kejaksaan Agung dan Mabes Polri untuk melakukan upaya reformasi, cukuplah semua itu dilaporkan ke Presiden sehingga Presiden bisa mengambil langkah politik yang diperlukan. Kita berharap Satgas tidak terlalu banyak merumuskan agenda kerja, akan tetapi kosong pada impelementasi.

Opini Republika 5 Januari 2010