04 Januari 2010

» Home » Republika » Steam Motor dan Cat Oven

Steam Motor dan Cat Oven

Rahardi Ramelan
(mantan menteri)

Arus globalisasi telah memengaruhi pemakaian bahasa Indonesia, khususnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Keadaannya sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Generasi penerus kita yang baru bisa membaca akan menjadi bingung, atau akan menerima seadanya apa yang mereka baca. Adopsi atau Indonesianisasi kata-kata asing berlangsung tanpa arah dan aturan. Timbul pertanyaan, mengapa semua ini dibiarkan? Masihkah kita mempunyai budaya berbahasa? Siapa yang bertanggung jawab?

'Steam motor' bukan menu masakan di restoran seperti halnya 'steam fish'. Melainkan, deretan dari jenis pelayanan yang bisa didapat di tempat pencucian kendaraan bermotor. Ada juga 'snow wash' dan 'polish'. Di dunia otomotif, pemakaian bahasa asing atau bahasa asing yang diindonesiakan sudah demikian luasnya, dan sudah menjadi pengertian umum. Tentu masalah penulisan masih rancu dengan Indonesianisasi.

Walaupun bahasa Indonesia baku sudah ada, masyarakat tetap saja menggunakan istilah 'sokbreker', 'knalpot', 'onderdil', dan 'persneleng'; yang terasa sudah diindonesiakan. 'Cat oven' bukan berarti kucing panggang, karena yang berasal dari bahasa asing adalah hanya kata 'oven', sedangkan tulisan 'cat' dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksud adalah pengecatan dengan mempergunakan oven. Di bengkel mobil, masih kita temukan pemakaian bahasa asing sepenuhnya, seperti body repair, painting, balancing, tune up, dan spooring. Juga, ditemukan jasa perbaikan mobil 'ketok magic'.

Di bidang lalu lintas, jalan kerancuan semakin tidak karuan. Bis, bus, atau otobis, semuanya masih dipakai tanpa batasan. Ada juga angkutan umum jarak jauh dengan layanan 'bisnis class'. Untuk kartu masuk tempat parkir atau jalan tol, dipakai istilah karcis atau tiket. Sedangkan tempat singgah angkutan umum, DKI Jakarta menamakannya 'halte', sedangkan Depok menamakannya 'shelter'. Mungkin petugas yang berwenang mendapat pendidikan berbeda, yaitu negeri Belanda dan Amerika Serikat.

Kata busway sudah menjadi pengertian jenis angkutan cepat di DKI. Jalan bebas hambatan atau toll road lebih dikenal dengan nama jalan tol atau tol. Lampu pengatur lalu lintas lebih populer dengan istilah lampu TL (traffic light). Jalan masuk-keluar gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan lebih sering menggunakan in-out atau entrance-exit.

Pusat perbelanjaan juga sudah digerus dengan istilah asing, seperti 'plaza', 'junction', 'mall' atau mal (baca: mol), 'point', atau 'square'. Gedung-gedung besar dan tinggi mempergunakan istilah 'tower', 'residence', atau 'center'. Walaupun, masih kita temui yang memakai kata graha, griya, atau gedung. Lingkungan perumahan tidak terlepas dari pengaruh agar kelihatan modern atau kebarat-baratan, seperti 'villa', 'village', 'city', 'residence', dan 'hill'. Di lingkungan proyek permukiman, hampir tidak terbendung pemakaian nama yang asing baik untuk klaster maupun tipe rumah. Sampai-sampai kuburan memakai kata dan nama asing.

Memang, penggunaan bahasa asing ini tidak terlepas dari persaingan dalam usaha. Untuk kelihatan modern, kelihatan maju, tidak ketinggalan, dan bagian dari globalisasi. Tetapi, apakah harus mengorbankan perkembangan bahasa Indonesia yang telah kita proklamasikan sejak tahun 1928 sebagai bahasa nasional?

Yang menjadi masalah bahwa kesadaran berbahasa Indonesia di depan publik, juga tidak dimiliki oleh pemimpin-pemimpin kita. Baik pidato maupun memberikan keterangan di media, mereka selalu mempergunakan istilah-istilah bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Bukankah mereka sudah menjadi panutan sehingga harusnya memberikan contoh dalam bertutur dan berbahasa. Kita mendengar atau juga membaca beberapa istilah yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang sering mereka pakai, seperti signifikan, progres, dan stereotipe.

Ungkapan bahasa Inggris merambah lebih jauh lagi di tayangan televisi dan papan iklan. Selain itu, kata-kata, seperti tren, kuliner, seken, edukasi, stres, relaksasi, diskon, dan beautifikasi, sudah menjadi biasa dan banyak dipergunakan, mungkin karena berlafal indonesia. Fenomena lain muncul penulisan dengan ejaan zaman Belanda, seperti 'oe' pengganti 'u'.

Kita pernah mengalami gerakan Indonesianisasi nama pada masa Orba, beberapa nama gedung atau permukiman telah mengubah namanya, seperti palm menjadi palma, garden menjadi gardenia, yang dirasakan sudah berlafal indonesia. Kita mengalami pemakaian kata toserba (toko serbaada) sebagai pengganti supermarket, pujasera (pusat jajan serbaada) sebagai pengganti food court. Tetapi, sekarang kebanyakan sudah kembali lagi memakai nama lamanya.

Mengawali tahun 2010 ini, dalam kehidupan kita yang masih terus berkemelut dengan berbagai masalah, seperti kasus korupsi, Bank Century, fitnah, dan kebohongan, kita harus bisa melihat dengan jernih bahwa masalah yang mendasar terletak pada perilaku dan budaya kita.

Budaya kehidupan dan jati diri bangsa. Marilah kita memulainya dengan menjungjung tinggi pemakaian bahasa nasional kita, bahasa Indonesia.

Opini Republika 5 Januari 2010