04 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menggagas PPP yang Lebih Membumi

Menggagas PPP yang Lebih Membumi

Situasi masyarakat saat ini tidak lagi tertarik pada romantisme masa lalu, yang cenderung dianggap tidak riil dan tidak bermanfaat

PARTAI Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari ini, genap berusia 37 tahun. Salah satu agenda penting sebagai bahan refleksi pada harlahnya kali ini adalah mengkaji kemungkinan benarkah partai ini akan semakin terjerumus menjadi partai gurem?


Tanda-tanda menuju partai gurem sesungguhnya telah mengarah jelas. Sebagai sebuah partai, medan pertempuran pengujian ketahanan eksistensinya dapat dilihat melalui capaian-capaian dalam pemilu.
Dalam tiga kali pemilu legislatif, forum yang dianggap paling demokratis, prestasi PPP terus-menerus merosot. Progress dari dukungan kuantitatif pemilih bahkan cenderung membuat risau dan pesimistis para elite partai.

Kemerosotan itu signifikan, yakni Pemilu 1999 meraih 11.329.905 suara (10,7%), 2004 meraih 9.248.764 (8,1%), dan Pemilu 2009 meraih 5.533.214 (5,3 %). Tentu saja, merosotnya dukungan kuantitatif ini berjalan seiring dengan persepsi publik terhadap kualitas politik partai yang semakin rendah.

Parahnya, capaian yang terus merosot ini terjadi setelah ada keputusan politik yang diyakini efektif mendulang kembali suara pendukungnya. Keputusan politik itu adalah sikap kembali berasas Islam dan berlambang Kakbah, lewat muktamar VI tahun 1999.

Memang, setelah keputusan itu partai telah menorehkan prestasi yang cukup membanggakan, yang tidak mungkin tercapai pada era Orde Baru. Beberapa kader berhasil duduk di kursi kabinet dan bahkan menjadi wakil presiden. Tetapi, prestasi tersebut tidak lepas dari kecenderungan politik demokrasi prosedural dan bagi-bagi kekuasaan yang tetap eksis pada era reformasi.

Apa yang kini perlu dilakukan untuk mencegah jatuhnya PPP menjadi partai gurem, terutama pada Pemilu 2014. Yang mendesak adalah mengkaji eksistensi dan paradigma politik  serta menetapkan terobosan politik dalam konteks pluralitas politik. Kajian eksistensi dan paradigma politik meliputi peninjauan ulang terhadap asas, lambang, program kerja, ataupun pilihan-pilihan strategis kebijakan politik.

Persaingan politik yang semakin ketat dan pergeseran orientasi politik masyarakat yang cenderung rasional, pragmatis, dan transaksional telah menghimpit PPP menjadi partai urutan ke-6 yang lolos parliamentary threshold (PT) pada pemilu tahun lalu. Jika langkah-langkah berani tidak dilakukan, tidak mustahil pada pemilu mendatang tidak lolos PT. Apalagi jika dipertarungkan dalam kancah demokrasi murni sistem distrik yang menguat.

Terkait dengan asas Islam PPP, yang merupakan sumber ideologi dan norma politiknya dalam sejarah panjang dinamika politik nasional, perlu diperkuat dan diperjelas sisi-sisi objektif dari keberpihakannya. Secara historis, dimensi Islam politik PPP telah menyimpan makna dan peran fundamental di mata masyarakat, yang layak dihargai sebagai prestasi besar yang telah dilakukannya bagi umat di negeri ini.

Prestasi dan capaian itu berjalan seiring dengan bayang-bayang konflik dengan kelompok nasionalis dalam konteks diskursus hubungan agama dan negara. Wajah politik dikotomis dan konfliktual antara kelompok nasionalis dan Islam pada era Orde Baru memunculkan kebutuhan untuk terus-menerus menegaskan politik identitas, meskipun sempat direduksi oleh penguasa. 

Namun, seiring era reformasi, kecenderungan orientasi dikotomis telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih derivatif. Dari kelompok Islam lahir beberapa partai yang justru menegaskan identitas politik non-Islamnya. Begitu juga sebaliknya, dengan keinginan untuk lebih pragmatis menjangkau agregasi kelompok Islam, beberapa partai baru lahir dengan asas nasionalis-religius.

Di samping untuk alasan menghidari dikotomi lama, pergeseran baru ini juga tidak lepas dari keinginan untuk lebih secara konkret memahami realitas masyarakat yang plural dan tantangan sosial ekonomi politik yang kompleks.

Dalam konteks PPP, keputusan khitah politik (kembali ke asas Islam dan lambang Kakbah) nampaknya terjadi akibat kuatnya romantisme politik aliran masa lalu. Padahal, situasi masyarakat saat ini tidak lagi tertarik pada romantisme masa lalu, yang cenderung dianggap tidak riil dan tidak bermanfaat.

Sebagai sumber ideologi perjuangan, asas Islam tetap eksis dan mendasar. Namun langkah cerdas yang perlu dilakukan adalah memberikan pijakan dan orientasi yang lebih jelas dan konkret dari keislaman tersebut dalam bingkai nasionalitas bangsa. Dalam ungkapan lain, asas partai perlu diubah menjadi Islam-nasionalis.

Adapun yang terkait dengan lambang  Kakbah, yang merupakan lambang  dan simbol suci umat Islam sedunia, tidak bisa dimungkiri mengandung kekuatan simbolik yang menguntungkan.

Simbolisme Kakbah terbukti efektif dalam mendulang dukungan dari konstituen fanatik. Di samping memiliki akar sejarah kuat, lambang itu menjadi sumber nilai dan inspirasi untuk tetap memproteksi para aktivis politik dari kemungkinan berbuat cela, amoral, inkonsisten, dan koruptif.

Terlalu Suci

Tetapi, dalam konteks empirisme politik dewasa ini, kenyataan menyodorkan objektivitas lain. Terasa sekali bahwa lambang suci ini justru menjadi terlalu suci untuk sebuah aktivitas dan perilaku politik profan yang akhir akhir ini cenderung diwarnai dengan orientasi serbapragmatis: langkah dan kesepakatan-kesepakatan.

Kasus-kasus tercela yang ditampilkan oleh umumnya politikus, indeks prestasi DPR sebagai lembaga terkorup , seringnya ambivalensi dan inkonsistensi yang mewarnai pilihan-pilihan koalisi politik, mempertajam argumentasi tentang terlalu sucinya Kakbah dilibatkan dalam urusan politik.

Dalam kaitan ini, berdasarkan segmentasi sosial dukungan politiknya, merosotnya suara dalam tiga kali pemilu terakhir diduga karena lambang partai hanya efektif mempertahankan fanatisme dukungan dari kelompok usia tua. (10)

— H Abdul Aziz SAg MSi, anggota FPPP DPRD Jateng, Ketua DPC PPP Rembang
Wacana Suara Merdeka 5 Januari 2010