04 Januari 2010

» Home » Republika » Krisis Para Penegak Hukum

Krisis Para Penegak Hukum

Fathullah
(Peneliti dan Anggota Dewan Direktur CIDES)

Akhir-akhir ini para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sering mengalami benturan kepentingan dengan masyarakat karena adanya perbedaan persepsi yang tajam tentang bagaimana penegakan hukum itu harus dilakukan.

Kasus yang paling mutakhir dan sangat spektakuler, misalnya, Kasus Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang dalam beberapa waktu lalu telah memutuskan bahwa Prita harus membayar sejumlah uang yang nilainya tergolong sangat besar untuk mengganti kerugian pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Di samping itu, Prita juga masih menghadapi tuntutan pidana yang persidangannya masih berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang dalam kasus pencemaran nama baik tersebut.

Terhadap kasus ketidakadilan hukum yang dialami Prita itu, secara spontan memunculkan maraknya dukungan masyarakat terhadap Prita, termasuk dukungan pengumpulan koin dari masyarakat untuk membayarkan ganti ruginya kepada penggugat RS Omni Internasional. Masyarakat pun melakukan protes dan perlawanan kepada pengadilan yang dianggap telah menegakkan hukum dengan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Sangat jelas bahwa pendekatan yang digunakan oleh para penegak hukum pada kasus itu hanya semata-mata berorientasi pada pendekatan legal-positivistik dengan hanya menonjolkan sisi penggunaan kekuasaan dan sama sekali tidak mempertimbangkan pendekatan sosio-legal yang berdimensi keadilan bagi masyarakatnya. Sehingga, akibat dari penegakan hukum seperti itu hanya mendapatkan tantangan dan penolakan oleh masyarakat yang berakibat pada terjadinya krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum.

Persoalan mendasar ketidakadilan penegakan hukum yang banyak dipermasalahkan masyarakat selama ini memang berakar pada pemahaman para penegak hukum yang sempit terhadap penerapan hukum formal yang berlaku sebagaimana yang dipahaminya terbatas hanya sebagai penerapan hukum yang bersifat prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa keadilan masyarakat yang lebih bersifat substantif, dengan ciri khasnya yang selalu dinamis dan berubah seiring dengan berubahnya kepentingan individu-individu manusianya yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Bahkan, perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu berjalan lebih cepat atau tunggang langgang dibandingkan dengan perubahan hukum yang sangat statis dalam mengatur kepentingan masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, maka dalam pandangan sosiologi hukum dikenal adanya istilah bahwa hukum itu berjalan terpincang-pincang di belakang peristiwanya dalam masyarakat (het recht hinkt achter de feiten aan).

Pemahaman prinsip dasar
Pelajaran mengenai bagaimana seharusnya hukum diterapkan atau ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, sebenarnya telah menjadi ilmu dasar, baik dalam ilmu hukum, mau pun ilmu sosiologi hukum, terutama di fakultas-fakultas hukum. Sehingga, pelajaran da sar dan sangat mendasar ini su dah sepatutnya dipahami oleh para penegak hukum yang be kerja untuk menegakkan hukum.

Secara prinsip di dalam ilmu hukum telah diajarkan bahwa unsur yang harus dipenuhi dalam setiap penegakan hu kum itu adalah meliputi unsur kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Adapun secara sosiologis yang paling ditekankan dalam penegakan hukum adalah mengenai aspek pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakatnya atau yang lazim disebut sebagai pemenuhan keadilan substantif, sehingga penegakan hukum itu dapat di terima sebagai sesuatu yang me mang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pe negakan hukum tidak sepatutnya dipisahkan dari masyarakatnya, sebab hukum itu ditegakkan bukan di dalam ruang hampa, tapi ia jelas-jelas di tegakkan di dalam masyarakat untuk tujuan ketertiban dengan cara-cara yang harus me menuhi rasa keadilan masyarakat tersebut.

Paradigma baru
Pemahaman terhadap penegakan hukum yang sacara kontekstual menuntut penggunaan multi pendekatan dari bebeberapa disiplin kajian, yaitu ilmu hukum, sosiologi hukum, filsafat hukum, psikologi hukum, kriminologi hukum, dan antropologi hukum.

Dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang terus berubah dan bahkan berlari dengan cepat, tunggang langgang meninggalkan hukum ini, diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif terhadap perkembangan dan keterkaitan antara sosiologi hukum yang berubah dengan disiplin-disiplin bidang kajian lainnya. Dalam konteks inilah Banakar dan Travers, menggambarkan suatu pendekatan sosiologi hukum baru yang dinamakan sosio-legal, yaitu sebagai rumah atau oase bagi sosiologi hukum untuk mengenali kembali dinamika sebuah disiplin dalam melihat masyarakat, individu, dan hukum yang berinteraksi dalam dunia yang tunggang langgang ini.

Opini Republika 4 Januari 2010