07 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » PAN sebagai Partai Alternatif

PAN sebagai Partai Alternatif

AHMAD Syafi’i Ma’arif memberikan komentar menarik tentang  Partai Amanat Nasional (PAN) ketika partai berlambangkan matahari terbit ini dideklarasikan 23 Agustus 1998. Menurut Syafi’i Ma’arif, berdirinya PAN merupakan eksperimentasi politik dan menjadi fenomena baru dalam sejarah percaturan politik santri pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru.


Meski didirikan oleh Amien Rais yang notabene mempunyai latar belakang Islam modernis (Muhammadiyah), PAN didesain dengan landasan ideologi inklusif-pluralis dengan asas Pancasila. Dalam platform disebutkan, partai ini merupakan kumpulan manusia Indonesia yang berasal dari berbgai keyakinan, pemikiran, latar belakang etnis, suku, agama, dan gender. Partai ini menganut prinsip nonsektarian dan nondiskriminasif. Sehingga, seperti kita lihat, pengurus pertama saat PAN berdiri, terdiri atas berbagai latar belakang, sejak dari Islam santri, cendekiawan sosialis-demokrat, para aktivis LSM dan beberapa orang nonmuslim. Simbol Islam dapat direpresentasikan Amien Rais, sosial-demokrat Faisal Basri, LSM Bara Hasibuan dan nonmuslim Th Sumartana. Meski pada akhirnya konfigurasi kepengurusan tersebut bubar di tengah jalan.

Memang, berdirinya PAN sebagai partai inklusif-pluralis tidak semata karena alasan ideologis, tapi juga strategis-pragmatis. Pemilu 1955, yang dikatakan sebagai pemilu paling demokratis, tidak menempatkan gabungan partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) sebagai pemenang pemilu, yakni hanya sekitar 47%. Hal yang sama terjadi sepanjang sejarah pemilu era Orde Baru. PPP yang notabene partai Islam hanya menjadi partai pengiring.

Dalam sosio-historis, Islam politik  terjadi fragmentasi dikotomik, Islam modernis dan tradisional. Jika saja gabungan keduanya saja tidak mampu meraih 50%, apalagi jika hanya diwakili Islam modernis, yang salah satunya direpresentasikan Muhammadiyah. Maka, menjadi tidak strategis, jika PAN menobatkan diri sebagai partai Islam.

Dasar filosofis-historis ini, yang kemudian memunculkan harapan-harapan baru yang menjanjikan, jika PAN didesain  berbasis massa Islam namun dengan ideologi inklusif, akan mampu menarik minat para pemilih dari berbagai lintas segmen pasar pemilih. Sehingga, seperti dikatakan Syafi’i Ma’arif, eksperimentasi ini berpotensi berhasil, atau sebaliknya, gagal, karena tidak mampu mengelola cita-citanya.

Namun, sejarah berbicara lain, meski penampilan PAN dalam Pemilu 1999 benar-benar mencapai puncak performa modern, bahkan pihak luar pun mengakui keunggulan kualitas sumber daya kader, partai ini hanya memperoleh 7,3%. Melihat fakta politik ini, Muhammad Najib (2000) melihat para elite DPP PAN menjadi syok. Gebyar kampanye dan mengusung Amien Rais yang nyata-nyata pejuang terdepan gerakan reformasi, tidak mampu meluluhkan hati rakyat.

Lebih syok lagi, perolehan PAN dalam Pemilu 2004 justru makin mengecewakan, dan itu membuat Amien gagal dalam pilpres. Secara nasional, perolehan suara PAN turun, hanya memperoleh 6,44%.  Dalam Pemilu 2009, ketika Amien Rais mencoba untuk menyapih PAN, perolehan suaranya semakin tidak tertolong, turun menjadi 6,10 persen. Karena itu, pinjam istilah Syafi’i Ma’arif lagi, setidak-tidaknya hingga Pemilu 2009, potret PAN adalah potret eksperimen yang gagal.
Nilai Dasar Mengapa suara PAN mempunyai kecenderungan menurun pada setiap pemilu? PAN dinilai tidak konsisten terhadap nilai-nilai dasar partai yang secara otentik terekam dalam platform. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang perlu dikemukakan. Pertama, masalah pluralisme atau kemajemukan, elite PAN terlalu cepat membuat kesimpulan, belum signifikannya perolehan suara pada pemilu pertama di era reformasi (1999), dikarenakan tidak jelasnya ”jenis kelamin” PAN.

Sehingga, manuver politik PAN pasca-Pemilu 1999, dengan koalisi poros tengah yang dimotori Amien Rais menjadi tidak produktif, jika dikaitkan dengan konsistensi sikap. Secara internal, banyak yang gerah, khususnya dari kalangan yang selama ini menjadi ìsimbolî pluralitas partai ini, sehingga secara berangsur mereka mengundurkan diri. Dan, sejarah juga membuktikan, kambing hitam ”jenis kelamin”, sepenuhnya tidak benar.

Pada Pemilu 2004, meski masalah ”jenis kelamin” sudah ”diperbaiki”, perolehan suara PAN justru turun, ketika partai ini masih dipimpin oleh Amien Rais.

Kedua, elite PAN dan para kadernya, sejak dari pusat hingga daerah tidak tegas terhadap penegakan nilai-nilai idealitas partai. Mereka juga tidak siap, atau bahkan tidak mampu, untuk mengimplementasikan nilai-nilai itu dalam praktik politik di pemerintahan.

Karena itu, praktik korupsi yang sepanjang era reformasi ini marajalela dilakukan oleh para pelaku politik, PAN tidak tegas dalam upaya melawannya. Bahkan, di Jateng terdapat kader partai yang secara sungguh-sungguh telah menodai dan merusak citra partai, namun dilindungi. Sehingga, meminjam istilah Muhammad Abduh, dapat dianalogkan, cita-cita PAN telah tertutup atau terhambat oleh para kadernya sendiri.

Dalam konteks seperti ini, Kongres III  tanggal 7 - 9 Januari 2010 di Batam, mempunyai makna yang amat strategis bagi eksistensi dan peran PAN pada masa-masa mendatang. Berbagai keputusan kongres, termasuk di dalamnya siapa yang akan menakhodai partai ini, akan sangat menentukan ”mati-tidaknya” partai reformis ini.

Pertama, jika  perolehan suara PAN pada Pemilu 2014  masih mempunyai kecenderungan menurun, seperti halnya pada pemilu-pemilu sebelumnya, sehingga perolehan suaranya kurang dari 6.1 persen, itu adalah sinyal: PAN memang harus mengakhiri sejarahnya. Artinya, Kongres III hanya berhasil membuat ”liang lahatnya” sendiri.

Kedua, Kongres III juga momentum untuk menggeliatkan partai melalui Pemilu 2014, dengan menyiapkan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin nasional. Seperti diketahui, Pemilu 2014 adalah pemilu transisi peralihan kepemimpinan politik di Tanah Air di era reformasi. Para pemimpin generasi pertama sudah tidak mungkin lagi berkompetisi. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah tidak bisa maju, karena sudah dua periode. Amien Rais, Megawati dan sebagainya, sudah harus ”pensiun” dan tidak mungkin berlaga.Itu artinya, Pemilu 2014 sangat mungkin akan terjadi perubahan konfigurasi politik. Jika ada partai yang mempunyai tokoh atau calon pemimpin nasional yang bisa ditawarkan dan diterima masyarakat, partai itu pula yang akan mendulang suara. Mengingat, faktor ketokohan dalam partai masih menjadi faktor dominan tingkat elektabilitas partai.

Nah, jika kongres di Batam ini dapat ”mengatasi” berbagai masalah tersebut, diyakini PAN bisa menjadi partai alternatif, sehingga Syafi’i Ma’arif dapat membuat kesimpulan, eksperimentasi PAN berhasil. Selamat Berkongres.(10)

— Thontowi Jauhari, Ketua DPD PAN Boyolali
Wacana Suara Merdeka 8 Januari 2010