27 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Kuda Beban Birokrasi

Kuda Beban Birokrasi

Pada 2011, menurut SBY, agenda reformasi birokrasi di seluruh kementerian dan lembaga sudah akan diselesaikan. Itu disampaikannya dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada 19 Agustus 2009. Capaian itu memang penting, mengingat sudah satu dekade lebih kita menjalani reformasi. Namun, persoalan institusional bangsa tidak kunjung selesai. Korupsi bukan lagi jadi perangai individu tetapi sudah melembaga. Ketidakadilan, intransparansi, dan akuntabilitas yang lemah membuat kredibilitas birokrasi kian melemah.


Kita punya era saat pemerintah menjadikan politik sebagai panglima. Demikian juga dengan ekonomi. Namun, selama itu pula kita gagal memperkokoh ideologi partai. Kita gagal pula membangun kaderisasi politik yang berkualitas. Dalam bidang ekonomi, kemajuan yang diraih hanya mengerucut pada dinasti dan orang-orang tertentu. Sementara itu, sebagian besar rakyat terus bernafas dalam lumpur kemiskinan. Beban yang akhir-akhir ini belum kita temukan di balik 'semangat' membangun birokrasi yang reformis.

Miftah Thoha benar bahwa capaian demokrasi politik dan cita-cita pertumbuhan ekonomi 8% pada 2010 seakan meninggalkan gerbong reformasi birokrasi di lorong kesunyian. Tesis birokrasi sebagai sumber patologi korup belum bisa ditepis meskipun pemerintah getol mendeklarasikan eliminasi korupsi dari istana. Pembenahan birokrasi sepertinya tetap berjalan di tempat.

Indeks Persepsi Korupsi oleh International Financial Corporation pada 2008, misalnya, masih menempatkan Indonesia di peringkat 123 sebagai negara terkorup. Kita kalah dari Malaysia (24), Thailand (13), Vietnam (15), terlebih Singapura yang berada di tempat teratas. Hasil survei Transparansi Internasional 2009 pun masih menunjukkan betapa IPK kita belum beranjak pada posisi memuaskan.

Selain data itu, kontroversi rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang penyadapan menjadi bukti lain dari ketidakkonsistenan pemerintah menegakkan pemerintahan yang bersih. Emerson Yuntho, Wakil Koordinator ICW, mengatakan RPP tersebut disahkan, upaya pemberantasan korupsi akan terbentur tembok besar birokrasi penyadapan (Media Indonesia, 23/12/09). Banyak pejabat, kroni dan keluarga pejabat yang diuntungkan dengan menjadikan birokrasi sebagai instrumen korup tanpa bisa dikontrol lagi oleh sistem penyadapan yang sejauh ini cukup efektif meminimalisasi praktik korupsi di kalangan pejabat.

Sayangnya, itu bukan hanya terjadi di pusat, melainkan juga sudah bergulir jauh di birokrasi daerah. Presiden harusnya menyadari bahwa para pejabat di daerah saat ini sedang berpesta pora menikmati kekuasaannya dengan terus merampok uang rakyat yang dibuktikan dengan tertangkapnya 19 bupati/wali kota dan lima gubernur terkait dengan kasus korupsi oleh KPK sepanjang 2004-2009 ini. Jujur bahwa lembaga penegak hukum di daerah belum bisa berbuat apa-apa menghadapi derasnya praktek korupsi karena justru mereka sendiri menjadi bagian dari sistem dan mesin birokrasi korup (Pramusinto, 2009:174).

Setidaknya itu berkonsekuensi buruk terhadap potret pelayanan publik hingga ke depan. Survei integritas KPK yang dilakukan pada 371 unit layanan di 98 instansi pemerintah baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota baru-baru ini (Media Indonesia, 23/12/09) menunjukkan betapa pelayanan publik masih diabaikan. Hasil survei yang dilakukan rutin setiap tahun sebagai upaya pengendalian korupsi di layanan publik tersebut menempatkan Departemen Perindustrian dan Kepolisian RI sebagai instansi yang memiliki integritas public service terendah dari 15 instansi pelayanan publik yang tidak memuaskan.

Meritokrasi birokrasi

Itu menunjukkan bahwa birokrasi sebagai instrumen pelayanan yang menghubungkan masyarakat dan negara perlu diberi semangat baru ke arah penampilan birokrasi yang mampu menjawab tuntutan zaman. Sudah saatnya reformasi birokrasi kita memperhatikan faktor merit system. Sebab birokrasi bisa menjadi organ yang memvitalisasi pelayanan publik secara fungsional dan prima jika persoalan merit system dalam rekrutmen, promosi, reward and punishment serta prestasi pelayanan bisa dilakukan secara baik, terprogram, dan kontinu.

Faktor rekrutmen dan seleksi, misalnya, sangat menentukan terciptanya postur birokrasi yang andal. Kesalahan merekrut birokrasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja dan kualitas pelayanan yang diharapkan. Namun, semakin baik sistem rekrutmen dan seleksi semakin baik birokrasi yang didapatkan (US Office of Personnel Management, 1900 E Street NW, 2007: 91). Perekrutan birokrasi, pejabat, mestinya menjadikan kualitas, kompetensi, track record sebagai rujukan utama kelayakan jabatan.

Bukan karena faktor kedekatan, hubungan sanak famili, balas jasa politik. Tidak sedikit kabupaten/kota yang melakukan proliferasi atau pengembangan struktur semata-mata untuk mengakomodasi jumlah pegawai atau kepentingan menempatkan kroni dan simpatisan partai pada jabatan politik-birokrat. Bagaimana kerja mesin birokrasi dapat memuaskan publik jika dia hanya menjadi sapi perah kekuatan pengartelan parpol-birokrat.

Kantor-kantor ditumpuki sejumlah orang-orang yang mengerjakan apa yang dia tidak tahu. Namun, penghasilan mereka sama dengan pegawai yang pintar, kreatif, dan inovatif alias 'pintar goblok, penghasilan sama' (PGPS). Ada pegawai yang lembur sampai tengah malam, tetapi banyak juga pegawai yang sepanjang hari tidak berbuat apa-apa karena ketiadaan job analysis yang jelas. Di tengah kelemahan birokrasi tersebut, kita menemukan perangai birokrat yang terkesan menganggap dirinya sebagai 'raja' ketimbang pelayan/abdi masyarakat.

Suatu waktu, Fadel Mohammad (waktu itu Gubernur Gorontalo) menelusuri letak sebab surat yang harusnya mendesak dibalas ternyata baru kembali ke mejanya tiga minggu kemudian. Ternyata persoalannya ada pada pandangan di kalangan pegawai, semakin lama surat menumpuk di meja atau semakin banyak tumpukan berkas di mejanya menunjukkan ia sebagai 'orang penting'. Watak 'birokrasi kerajaan' seperti itu telah menguras uang negara, membuang waktu produktif, dan terutama melacuri hak-hak publik. Semua kepelikan itu menjadikan rakyat sebagai kuda beban birokrasi.

Kemiskinan rakyat antara lain karena ketidakadilan memperoleh layanan publik harus dilihat sebagai dosa fundamental birokrasi. Oleh karenanya kita mengharapkan pemerintah mulai serius membenahi birokrasi. Artinya reformasi birokrasi jangan hanya tinggal wacana, komoditas atau target politis, tetapi dengan aksi nyata harus jauh merasuk ke inti persoalannya, membongkar sistem, struktur dan kultur birokrasi yang sudah terlampau bobrok. Itu membutuhkan komitmen berani dari pemimpin yang mau melihat perubahan. Sebab hanya dengan begitu kita akan memperoleh birokrasi yang kuat untuk memampukan negara berkompetisi menyejahterakan rakyatnya.

Akankah Pansus Century Berujung Pemakzulan?

Sudah genap 100 hari pasangan SBY-Boediono memerintah sejak dilantik sebagai presiden-wapres pada 20 Oktober 2009. Masa 100 hari pertama seharusnya dijadikan pijakan dasar dan barometer awal untuk menilai kinerja pemerintahan lima tahun mendatang. Periode pendek ini semestinya juga menjadi momentum untuk mendorong proses rekonsiliasi nasional akibat perseteruan politik selama pemilu.

Namun, yang terjadi justru serial pertikaian politik yang kini memasuki babak baru. Sungguh tak terduga ketegangan politik justru sudah muncul pada awal pemerintahan SBY periode kedua ini. Semula ketegangan dipicu konspirasi pemidanaan Bibit-Chandra, lalu diikuti kasus yang jauh lebih serius: skandal Bank Century.

Tidak terelakkan, DPR merespons aspirasi publik yang begitu kuat untuk menyelidiki skandal akbar ini melalui Panitia Khusus Hak Angket. Kini proses penyelidikan di parlemen memasuki tahapan penting setelah para saksi kunci dan sejumlah ahli dihadirkan untuk memberikan keterangan, pendapat, dan penilaian terhadap kebijakan dana talangan yang memicu kontroversi itu.

Publik curiga sebagian dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7 triliun diselewengkan untuk kepentingan politik pada pemilu yang lalu. Maka muncul gugatan perihal keabsahan kebijakan bailout, disertai tuntutan agar semua pihak yang terkait dengan skandal ini harus bertanggung jawab. Banyak pihak--kekuatan masyarakat sipil, organisasi kemahasiswaan, LSM, kelompok penekan--mengimbau agar Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani sebaiknya nonaktif, bahkan ada pula yang menuntut mereka harus mengundurkan diri dari jabatan masing-masing.

Perlahan, Presiden Yudhoyono pun menjadi sasaran bidikan setelah berbagai dokumen terkuak, yang mengindikasikan ia mengetahui bahkan memantau proses pengambilan kebijakan bailout itu. Sungguh publik sulit percaya bila keputusan penting yang diambil pejabat tinggi negara dan menyangkut uang negara dalam bilangan yang sangat besar tanpa diketahui presiden.

Bukankah Menteri Keuangan dan Gubernur BI yang punya kewenangan untuk memutuskan dan mengambil kebijakan bailout melalui rapat KSSK merujuk dan berlandaskan pada peraturan pengganti UU yang diterbitkan presiden? Oleh karena itu, upaya sejumlah pihak untuk menutupi peran Presiden Yudhoyono dalam proses pengambilan kebijakan dana talangan bagi Bank Century jelas melawan akal sehat.

Maka wacana pemakzulan Presiden Yudhoyono pun mulai mengemuka dalam perbincangan umum di kalangan anggota parlemen, aktivis politik, pengamat, dan berbagai kelompok kepentingan. Namun, pemakzulan bukan perkara mudah karena harus melalui proses politik yang panjang di DPR, MK, dan MPR sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Dalam UUD 1945 Pasal 7A disebutkan, salah satu alasan pemakzulan adalah apabila presiden terbukti terlibat korupsi dan penyuapan.

Jika merujuk pernyataan Ketua MK Mahfud MD, proses pemakzulan ditempuh melalui beberapa tahapan. Pertama, Pansus Angket Bank Century harus dapat membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan negara dalam skandal Bank Century. Kedua, DPR mengajukan usul pemakzulan dalam sidang paripurna, yang harus dihadiri minimal 2/3 anggota dan disetujui 2/3 anggota yang menghadiri sidang.

Ketiga, keputusan DPR kemudian diajukan ke MK untuk dimintakan vonis (penilaian hukum) dan selanjutnya dibawa ke sidang paripurna MPR, yang harus dihadiri minimal 3/4 anggota dan disetujui paling kurang 2/3 anggota yang hadir (Media Indonesia, 26/12/09).

Akankah Pansus Century berujung pemakzulan? Tentu saja itu bergantung sepenuhnya pada dinamika politik baik di dalam maupun di luar parlemen. Ada dua faktor determinan yang saling terkait dan menentukan kemungkinan pemakzulan. Pertama, jika--sekali lagi, hanya jika--Pansus Angket Bank Century berhasil membuktikan dana talangan mengalir ke tim sukses SBY untuk kepentingan pemilu, proses pemakzulan mustahil dapat dibendung, meskipun Partai Demokrat dan lima parpol yang tergabung dalam koalisi menguasai mayoritas kursi di DPR.

Jika merujuk pengalaman, koalisi amat mudah retak karena parpol tak kuasa menahan gelombang tekanan publik, yang dimobilisasi aneka kelompok kepentingan. Dalam situasi krisis, jangankan pecah koalisi bahkan pengkhianatan sekalipun lazim terjadi. Sekarang pun Presiden Yudhoyono terlihat mulai gusar dan meminta parpol menjaga komitmen berkoalisi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, para operator politik dan elite-elite Partai Demokrat melancarkan tekanan politik kepada parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi, baik secara halus, samar, maupun terbuka.

Manuver politik yang bernuansa tekanan terbaca dengan jelas melalui isu evaluasi--ungkapan halus ancaman pergantian menteri--yang berulang-ulang muncul dalam pemberitaan di media massa. Untuk sementara, manuver itu cukup manjur sehingga mengendurkan daya kritis anggota pansus dan tendensi pergeseran sikap elite-elite parpol dalam merespons skandal Bank Century ini.

Kedua, gerakan ekstraparlementer secara alamiah akan bereskalasi untuk melakukan gempuran politik pada parlemen dengan mengulang pola gerakan 1998: pendudukan dan pengepungan. Jika itu terjadi, dapat dipastikan tidak ada satu pun parpol yang berani mengambil risiko melawan arus atau pasang badan menahan gerakan ekstraparlementer itu. Bila situasi politik bergerak ke arah itu, landslide victory (60,8%) yang amat fantastik, yang diraih SBY dalam pilpres tak akan berarti sama sekali.

SBY akan kehilangan kontrol atas parlemen karena koalisi Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN, dan Golkar pasti akan pudar akibat tekanan politik dahsyat dari luar parlemen. Bangunan koalisi pasti koyak oleh gerakan nonparlemen dan tak akan mampu menopang SBY, bahkan akan runtuh dengan sendirinya. Bukankah pengalaman itu yang menimpa Soeharto dan Gus Dur? Soeharto diangkat dan dijatuhkan oleh orang yang sama justru ketika Golkar meraih kemenangan mutlak dalam pemilu, bahkan mengontrol sepenuhnya kekuatan politik di DPR.

Gus Dur pun diangkat dan dijatuhkan aliansi kekuatan politik yang semula membangun koalisi besar--poros tengah--dan mendominasi kursi parlemen. Dua pengalaman pahit itu dengan jelas menunjukkan betapa penguasaan kursi mayoritas di parlemen tidak sepenuhnya menjamin bagi seorang presiden memperoleh topangan politik yang kokoh agar terhindar dari kejatuhan.

Maka faktor krusial sesungguhnya terletak pada kemampuan pansus untuk membuktikan ada tidaknya aliran dana talangan Bank Century ke operator politik SBY, untuk kepentingan pemenangan pemilu. Jika dapat dibuktikan dan pansus menyimpulkan terjadi pelanggaran hukum, sidang paripurna DPR akan sangat sulit untuk tidak meneruskan proses politik melalui Hak Menyatakan Pendapat.

Meskipun harus menempuh tahapan yang rumit, situasi politik pada akhirnya akan memaksa setiap parpol dan kekuatan politik di dalam dan di luar parlemen untuk bergerak memproses pemakzulan. Jika pun Partai Demokrat dapat menggandeng satu parpol saja untuk memboikot sidang paripurna DPR agar tidak memenuhi kuorum yang disyaratkan konstitusi, mereka akan dianggap tidak ksatria dan pasti dikecam publik. Tindakan demikian dapat dinilai pengecut dan tidak bertanggung jawab sehingga Partai Demokrat niscaya akan terisolasi secara politik.

Pemakzulan jelas akan memicu kontroversi politik dan pandangan publik pasti akan terbelah. Bagi penentang, pemakzulan dipandang sebagai preseden buruk karena presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu demokratis. Bila presiden dimakzulkan, dikhawatirkan bukan saja akan menimbulkan gejolak politik yang mengancam stabilitas sosial keamanan, melainkan juga akan mencederai sistem demokrasi.

Siapa pun yang meyakini demokrasi sebagai sistem politik terbaik, semestinya menjaga agar pergantian kekuasaan ditempuh melalui proses normal: pemilu lima tahunan. Bagi pihak yang setuju, pemakzulan harus dipahami dalam konteks untuk memberi pelajaran bagi para politisi agar mereka tidak menempuh segala cara, menyalahgunakan wewenang dengan membobol uang negara, untuk meraih kemenangan dalam pemilu. Pesan moral pemakzulan adalah: berpolitik harus berbasis etika, menjunjung moralitas, dan mengutamakan kebajikan publik. Para politisi tak boleh melakukan perbuatan tak terpuji atau bertindak melawan hukum demi mendapat kekuasaan.

Dengan demikian, demokrasi semestinya tidak hanya dipahami sebagai jalan prosedural untuk mengganti pemerintahan secara periodik belaka, tetapi juga untuk memilih pemimpin bermoral luhur. Pemimpin dituntut punya tanggung jawab profetik dalam mengemban amanat kekuasaan dan menjalankan pemerintahan dengan jujur dan adil. Memilih pemimpin sejati dan otentik melalui pemilu demokratis yang bersih jauh lebih penting jika dibandingkan dengan sekadar menjaga kalender pemilu lima tahunan atas nama demokrasi prosedural yang penuh muslihat.

Oleh Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana
Opini Media Indonesia 28 Januari 2010