27 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Di bawah bayang-bayang impeachment

Di bawah bayang-bayang impeachment

Impeachment merupakan proses politik untuk “memecat” presiden oleh parlemen karena secara nyata telah melanggar konstitusi. Karena proses politik, wajar jika kepentingan politik menjadi dasar ukuran. Sekalipun demikian, UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) telah mengatur mekanisme impeachment terhadap presiden.

Jika memang presiden tidak melakukan pelanggaran terhadap konstitusi, presiden (seharusnya) tetap “aman” menjalankan tugasnya.


Di Indonesia setidaknya pernah terjadi dua kali proses impeachment yang berujung pada jatuhnya presiden yang sedang menjalankan kekuasaannya. Pertama, terjadi saat pemecatan Presiden Soekarno untuk mengakhiri masa kekuasaan absolutnya di tahun 1967. Pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara, ditolak oleh MPRS. Alasan penolakan MPRS, Presiden Soekarno tidak mau menyatakan bahwa PKI adalah organisasi politik yang mendalangi kudeta atau Gerakan 30 September di tahun 1965. Ujungnya, Presiden Soekarno diturunkan secara paksa dari jabatannya. Tragisnya, tanpa pernah diadili dan dibuktikan secara hukum apakah dia bersalah atau tidak.
Berikutnya menimpa KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2001. Hanya sempat merasakan menjadi Presiden RI selama kurang dari dua tahun, Gus Dur harus menghadapi impeachment oleh MPR. Proses melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan diikuti dinamika politik massa yang mengancam stabilitas politik, keamanan dan ekonomi negara. Dalam pandangan para pendukung Gus Dur, impeachment terhadap Gus Dur adalah tindakan yang sama sekali tidak adil. Gus Dur tidak pernah terbukti atau dapat dibuktikan secara hukum melalui pengadilan atas tuduhan tindakan pelanggaran hukum atau konstitusi.
Dari dua peristiwa impeachment tersebut, pelajaran yang dapat diperoleh adalah, dalam sistem pemerintahan presidensiil kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus diperkuat. Praktik impeachment sebagai bentuk mekanisme kontrol terhadap kekuasaan presiden, harus dibatasi agar tidak mudah mengarah pada praktik politicking atau konspirasi politik.

Lebih kuat
Agar tidak mudah di-impeach, lembaga kepresidenan diperkuat dengan pengaturan yang tegas dalam amandemen UUD 1945 Pasal 7A yang menyatakan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Secara normatif kedudukan presiden dalam sistem presidensiil sekarang lebih kuat. Namun bukannya tanpa kelemahan. Sistem ini terbuka untuk calon presiden yang berasal dari partai kecil, atau bahkan dari kalangan profesional yang tidak mempunyai dukungan politik yang cukup kuat dalam parlemen. Bukankah Wakil Presiden Boediono bukan berasal dari partai politik? Sistem ini juga berpotensi terjadinya lameduck precidency, yaitu ketika presiden yang berasal dari partai minoritas tidak punya dukungan politik yang kuat dalam parlemen dan membuat presiden seperti bebek yang lumpuh tak berdaya.
Oleh karena itu menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen (DPR, DPD, dan MPR), adalah mutlak dilakukan agar harmonisasi hubungan bernegara dalam menjaga efektifitas kerja pemerintahan dalam tata kelola negara berjalan dengan baik. Sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana diatur dalam UUD 1945, menempatkan hubungan antara presiden dengan parlemen dalam posisi yang setara. Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR, demikian sebaliknya. Karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen, tetapi bertanggung jawab kepada rakyat, melalui mekanisme pergantian masa jabatan yang tetap selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk lima tahun berikutnya dalam dua kali masa jabatan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama, yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Dengan demikian, kedudukan pesiden adalah kuat dan dilindungi oleh konstitusi. Sekalipun demikian, presiden adalah manusia, sehingga dalam dirinya tidak akan pernah lepas dari salah atau alpa. Oleh karena itu konstitusi juga harus menyediakan juga mekanisme pemberhentian presiden, seandainya memang presiden harus turun di tengah masa jabatannya.
Oleh karena itu mekanisme pemberhentian presiden harus melalui proses pembuktian secara hukum bahwa presiden harus benar-benar terbukti telah melakukan pelanggaran hukum melalui putusan forum preveligiatum Mahkamah Konstitusi (MK). Dulu asal ada kebijakan yang secara politis tidak sesuai dengan kehendak MPR, dan kemudian MPR menolak pertanggungjawaban presiden, maka presiden bisa diberhentikan. Persoalannya hanya terletak pada masalah politik semata, tetapi sekarang, setelah amandemen UUD 1945, persoalannya menjadi persoalan hukum dan politik sekaligus.

Mekanisme impeachment
Mekanisme impeachment terhadap presiden diatur dalam Pasal 7B UUD 1945 hasil amandemen ketiga. Usul pemberhentian presiden/wakil presiden dapat diajukan oleh DPR dengan dukungan suara 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Kemudian DPR mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus bahwa presiden/wakil presiden telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden dalam jangka waktu paling lama 90 hari.
Jika MK menyatakan presiden/wakil presiden terbukti melanggar hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna kembali untuk meneruskan usul pemberhentian presiden/wakil presiden kepada MPR dan kemudian MPR menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR, paling lambat 30 hari. MPR melalui rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurangnya 3/4 dari anggota dan disetujui oleh sekurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, mengambil keputusan. Setelah itu, presiden/wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasannya. Jelas sekali, presiden teramat sulit dijatuhkan, karena memiliki dasar yang kuat dan dilindungi secara konstitusi untuk tidak dijatuhkan di tengah jalan. Dasar kuat itu adalah pemilihan presiden langsung oleh rakyat dan proses impeachment yang prosesnya tidak sederhana.
Oleh karena itu, selain melibatkan parlemen, proses impeachment juga melibatkan MK. Jadi apakah presiden melakukan tindakan kriminal atau tidak, yang memutuskan adalah MK. DPR tidak bisa mengkriminalisasi kebijakan Presiden, sekalipun itu melalui pemeriksaan angket. Karenanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak perlu takut dengan bayang-bayang masa lalu untuk bertahan sekarang, selain masih bisa berharap pada harmonisasi hubungan dengan ”koalisinya” di parlemen, dia juga masih bisa berharap pada independensi dan imparsialitas MK yang selama ini sudah teruji.
Pada dasarnya, proses impeachment di Indonesia sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan adanya jaminan perlindungan terhadap sistem presidensiil yang kuat oleh UUD 1945. Dengan demikian apakah kita akan menyaksikan presiden akan jatuh akibat di-impeach oleh parlemen, seperti pengalaman yang dialami oleh kedua presiden yang lalu? Kita berharap presiden dapat menjalankan tugasnya dengan baik demi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, tanpa ragu untuk melangkah demi kebaikan bersama yang dilandasi konstitusi dan cita-cita bangsa. Jadi terus saja berjalan, tidak perlu panik terbayang-bayang impeachment. - Oleh : Djatmiko Anom Husodo Dosen Fakulas Hukum UNS

Opini SOlo Pos 28 Januari 2010