Sudah genap 100 hari pasangan SBY-Boediono memerintah sejak dilantik sebagai presiden-wapres pada 20 Oktober 2009. Masa 100 hari pertama seharusnya dijadikan pijakan dasar dan barometer awal untuk menilai kinerja pemerintahan lima tahun mendatang. Periode pendek ini semestinya juga menjadi momentum untuk mendorong proses rekonsiliasi nasional akibat perseteruan politik selama pemilu.
Namun, yang terjadi justru serial pertikaian politik yang kini memasuki babak baru. Sungguh tak terduga ketegangan politik justru sudah muncul pada awal pemerintahan SBY periode kedua ini. Semula ketegangan dipicu konspirasi pemidanaan Bibit-Chandra, lalu diikuti kasus yang jauh lebih serius: skandal Bank Century.
Tidak terelakkan, DPR merespons aspirasi publik yang begitu kuat untuk menyelidiki skandal akbar ini melalui Panitia Khusus Hak Angket. Kini proses penyelidikan di parlemen memasuki tahapan penting setelah para saksi kunci dan sejumlah ahli dihadirkan untuk memberikan keterangan, pendapat, dan penilaian terhadap kebijakan dana talangan yang memicu kontroversi itu.
Publik curiga sebagian dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7 triliun diselewengkan untuk kepentingan politik pada pemilu yang lalu. Maka muncul gugatan perihal keabsahan kebijakan bailout, disertai tuntutan agar semua pihak yang terkait dengan skandal ini harus bertanggung jawab. Banyak pihak--kekuatan masyarakat sipil, organisasi kemahasiswaan, LSM, kelompok penekan--mengimbau agar Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani sebaiknya nonaktif, bahkan ada pula yang menuntut mereka harus mengundurkan diri dari jabatan masing-masing.
Perlahan, Presiden Yudhoyono pun menjadi sasaran bidikan setelah berbagai dokumen terkuak, yang mengindikasikan ia mengetahui bahkan memantau proses pengambilan kebijakan bailout itu. Sungguh publik sulit percaya bila keputusan penting yang diambil pejabat tinggi negara dan menyangkut uang negara dalam bilangan yang sangat besar tanpa diketahui presiden.
Bukankah Menteri Keuangan dan Gubernur BI yang punya kewenangan untuk memutuskan dan mengambil kebijakan bailout melalui rapat KSSK merujuk dan berlandaskan pada peraturan pengganti UU yang diterbitkan presiden? Oleh karena itu, upaya sejumlah pihak untuk menutupi peran Presiden Yudhoyono dalam proses pengambilan kebijakan dana talangan bagi Bank Century jelas melawan akal sehat.
Maka wacana pemakzulan Presiden Yudhoyono pun mulai mengemuka dalam perbincangan umum di kalangan anggota parlemen, aktivis politik, pengamat, dan berbagai kelompok kepentingan. Namun, pemakzulan bukan perkara mudah karena harus melalui proses politik yang panjang di DPR, MK, dan MPR sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Dalam UUD 1945 Pasal 7A disebutkan, salah satu alasan pemakzulan adalah apabila presiden terbukti terlibat korupsi dan penyuapan.
Jika merujuk pernyataan Ketua MK Mahfud MD, proses pemakzulan ditempuh melalui beberapa tahapan. Pertama, Pansus Angket Bank Century harus dapat membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keuangan negara dalam skandal Bank Century. Kedua, DPR mengajukan usul pemakzulan dalam sidang paripurna, yang harus dihadiri minimal 2/3 anggota dan disetujui 2/3 anggota yang menghadiri sidang.
Ketiga, keputusan DPR kemudian diajukan ke MK untuk dimintakan vonis (penilaian hukum) dan selanjutnya dibawa ke sidang paripurna MPR, yang harus dihadiri minimal 3/4 anggota dan disetujui paling kurang 2/3 anggota yang hadir (Media Indonesia, 26/12/09).
Akankah Pansus Century berujung pemakzulan? Tentu saja itu bergantung sepenuhnya pada dinamika politik baik di dalam maupun di luar parlemen. Ada dua faktor determinan yang saling terkait dan menentukan kemungkinan pemakzulan. Pertama, jika--sekali lagi, hanya jika--Pansus Angket Bank Century berhasil membuktikan dana talangan mengalir ke tim sukses SBY untuk kepentingan pemilu, proses pemakzulan mustahil dapat dibendung, meskipun Partai Demokrat dan lima parpol yang tergabung dalam koalisi menguasai mayoritas kursi di DPR.
Jika merujuk pengalaman, koalisi amat mudah retak karena parpol tak kuasa menahan gelombang tekanan publik, yang dimobilisasi aneka kelompok kepentingan. Dalam situasi krisis, jangankan pecah koalisi bahkan pengkhianatan sekalipun lazim terjadi. Sekarang pun Presiden Yudhoyono terlihat mulai gusar dan meminta parpol menjaga komitmen berkoalisi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, para operator politik dan elite-elite Partai Demokrat melancarkan tekanan politik kepada parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi, baik secara halus, samar, maupun terbuka.
Manuver politik yang bernuansa tekanan terbaca dengan jelas melalui isu evaluasi--ungkapan halus ancaman pergantian menteri--yang berulang-ulang muncul dalam pemberitaan di media massa. Untuk sementara, manuver itu cukup manjur sehingga mengendurkan daya kritis anggota pansus dan tendensi pergeseran sikap elite-elite parpol dalam merespons skandal Bank Century ini.
Kedua, gerakan ekstraparlementer secara alamiah akan bereskalasi untuk melakukan gempuran politik pada parlemen dengan mengulang pola gerakan 1998: pendudukan dan pengepungan. Jika itu terjadi, dapat dipastikan tidak ada satu pun parpol yang berani mengambil risiko melawan arus atau pasang badan menahan gerakan ekstraparlementer itu. Bila situasi politik bergerak ke arah itu, landslide victory (60,8%) yang amat fantastik, yang diraih SBY dalam pilpres tak akan berarti sama sekali.
SBY akan kehilangan kontrol atas parlemen karena koalisi Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN, dan Golkar pasti akan pudar akibat tekanan politik dahsyat dari luar parlemen. Bangunan koalisi pasti koyak oleh gerakan nonparlemen dan tak akan mampu menopang SBY, bahkan akan runtuh dengan sendirinya. Bukankah pengalaman itu yang menimpa Soeharto dan Gus Dur? Soeharto diangkat dan dijatuhkan oleh orang yang sama justru ketika Golkar meraih kemenangan mutlak dalam pemilu, bahkan mengontrol sepenuhnya kekuatan politik di DPR.
Gus Dur pun diangkat dan dijatuhkan aliansi kekuatan politik yang semula membangun koalisi besar--poros tengah--dan mendominasi kursi parlemen. Dua pengalaman pahit itu dengan jelas menunjukkan betapa penguasaan kursi mayoritas di parlemen tidak sepenuhnya menjamin bagi seorang presiden memperoleh topangan politik yang kokoh agar terhindar dari kejatuhan.
Maka faktor krusial sesungguhnya terletak pada kemampuan pansus untuk membuktikan ada tidaknya aliran dana talangan Bank Century ke operator politik SBY, untuk kepentingan pemenangan pemilu. Jika dapat dibuktikan dan pansus menyimpulkan terjadi pelanggaran hukum, sidang paripurna DPR akan sangat sulit untuk tidak meneruskan proses politik melalui Hak Menyatakan Pendapat.
Meskipun harus menempuh tahapan yang rumit, situasi politik pada akhirnya akan memaksa setiap parpol dan kekuatan politik di dalam dan di luar parlemen untuk bergerak memproses pemakzulan. Jika pun Partai Demokrat dapat menggandeng satu parpol saja untuk memboikot sidang paripurna DPR agar tidak memenuhi kuorum yang disyaratkan konstitusi, mereka akan dianggap tidak ksatria dan pasti dikecam publik. Tindakan demikian dapat dinilai pengecut dan tidak bertanggung jawab sehingga Partai Demokrat niscaya akan terisolasi secara politik.
Pemakzulan jelas akan memicu kontroversi politik dan pandangan publik pasti akan terbelah. Bagi penentang, pemakzulan dipandang sebagai preseden buruk karena presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu demokratis. Bila presiden dimakzulkan, dikhawatirkan bukan saja akan menimbulkan gejolak politik yang mengancam stabilitas sosial keamanan, melainkan juga akan mencederai sistem demokrasi.
Siapa pun yang meyakini demokrasi sebagai sistem politik terbaik, semestinya menjaga agar pergantian kekuasaan ditempuh melalui proses normal: pemilu lima tahunan. Bagi pihak yang setuju, pemakzulan harus dipahami dalam konteks untuk memberi pelajaran bagi para politisi agar mereka tidak menempuh segala cara, menyalahgunakan wewenang dengan membobol uang negara, untuk meraih kemenangan dalam pemilu. Pesan moral pemakzulan adalah: berpolitik harus berbasis etika, menjunjung moralitas, dan mengutamakan kebajikan publik. Para politisi tak boleh melakukan perbuatan tak terpuji atau bertindak melawan hukum demi mendapat kekuasaan.
Dengan demikian, demokrasi semestinya tidak hanya dipahami sebagai jalan prosedural untuk mengganti pemerintahan secara periodik belaka, tetapi juga untuk memilih pemimpin bermoral luhur. Pemimpin dituntut punya tanggung jawab profetik dalam mengemban amanat kekuasaan dan menjalankan pemerintahan dengan jujur dan adil. Memilih pemimpin sejati dan otentik melalui pemilu demokratis yang bersih jauh lebih penting jika dibandingkan dengan sekadar menjaga kalender pemilu lima tahunan atas nama demokrasi prosedural yang penuh muslihat.
Oleh Amich Alhumami Peneliti sosial, Department of Anthropology—University of Sussex, United Kingdom
Opini Media Indonesia 28 Januari 2010
27 Januari 2010
» Home »
Media Indonesia » Akankah Pansus Century Berujung Pemakzulan?
Akankah Pansus Century Berujung Pemakzulan?
Thank You!