27 Januari 2010

» Home » Okezone » 100 Hari Bangun Fondasi?

100 Hari Bangun Fondasi?

Tanggal 28 Januari 2010 pemerintahan SBY-Boediono genap berusia 100 hari. Banyak kalangan mengkritik tidak adanya capaian signifikan selama 100 hari pemerintahan.

Bahkan ada pula yang telah mempersiapkan peringatan 100 hari tersebut dengan demonstrasi. Di sisi lain pemerintah mengklaim telah merampungkan hampir seratus persen target pemerintahan yang diagendakan. Bagaimana memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintahan pada kurun waktu tersebut?

Waktu Konsolidasi

Apa yang istimewa dari tiap 100 hari pemerintahan yang baru di hampir semua negara? Berbagai jawaban bisa diajukan, tetapi satu hal pasti merupakan kesamaan bahwa awal waktu sebuah pemerintahan adalah masa bulan madu (honeymoon period). Mengapa disebut sebagai periode bulan madu? Karena pada dasarnya kurun tersebut merupakan waktu yang diperlukan oleh sebuah pemerintahan untuk melakukan konsolidasi, rekonsiliasi dan integrasi visi,misi, tujuan dan program yang akan dicapai selama masa pemerintahan.

Bahkan jika dilihat siklus anggaran, maka 100 hari pemerintahan SBY-Boediono berada di ujung tahun anggaran, yaitu saat semua agenda pemerintahan sebenarnya sudah terencana dalam APBN dan APBD tahun berjalan. Bahkan dapat dikatakan bulan Oktober sampai Desember lalu sebenarnya merupakan bulan-bulan tutup buku dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan, sehingga praktis tidak mungkin melakukan hal-hal besar dalam pemerintahan.

Jika seratus hari pemerintahan adalah masa yang dibutuhkan untuk membangun fondasi tim dan program pemerintahan, mengapa masa itu menjadi demikian dramatisnya di Indonesia? Barangkali hal ini yang menarik untuk diberikan analisis. Pemerintah sebenarnya sangat sadar bahwa dalam seratus hari pemerintahan tidaklah mungkin melakukan perubahan besar seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Tetapi kesadaran itu mengalami metamorfosis kepentingan, sehingga politik pencitraan lebih menonjol ketimbang esensi target pemerintahan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari 15 program utama dalam seratus pemerintahan SBY-Boediono yang sejatinya hanya merupakan peletakan fondasi bagi terwujudnya keseluruhan tujuan di akhir pemerintahan tahun 2014.

Di antara kelima belas program tersebut (1) pemberantasan mafia hukum, (2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme, (4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6) peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8) koordinasi antara pusat dan daerah. Jika diamati dan dipahami, program-program utama tersebut adalah sesuatu yang mustahil bisa dicapai dalam kurun waktu 100 hari pemerintahan.

Bahkan pemberantasan mafia hukum, misalnya, merupakan salah satu agenda yang sangat berat untuk dilakukan karena menyangkut tidak saja sistem penegakan hukum, tetapi juga perubahan budaya dan perilaku penegak hukum yang tidak bisa dilakukan hanya dengan PO BOX layanan pengaduan. Demikian pula persoalan tanah dan tata ruang adalah persoalan ekonomi politik yang kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Penulis tidak akan membahas lebih lanjut untuk masing-masing capaian target dari program 100 hari tersebut, karena jelas rapornya akan berwarna jika dilihat dari impact yang dihasilkan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu jika semua itu hanya merupakan program konsolidasi dan peletakan fondasi bagi jalannya pemerintahan selanjutnya, mengapa selalu dipersoalkan kinerja 100 hari pemerintahan. Ada tiga jawaban yang diberikan.

Pertama, lemahnya komunikasi politik pemerintah untuk menjelaskan target 100 hari pemerintahan dalam konteks target besar pemerintahan secara keseluruhan selama lima tahun. Lemahnya komunikasi politik ini juga disebabkan oleh niat yang besar untuk membuat politik pencitraan, ketimbang esensi program itu sendiri. Sebenarnya hal ini berbahaya bagi pemerintah karena bisa menyebabkan mispersepsi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap SBY-Boediono yang dianggap gagal menciptakan quick wins bagi masyarakat.

Kedua, 100 hari pemerintahan sering pula dijadikan sebagai komoditas politik bagi oposisi untuk menjatuhkan citra pemerintahan yang berkuasa dan memperkuat dukungan masyarakat bagi partai dan politisi oposisi. Tidak mengherankan jika 100 hari pemerintahan selalu dikaitkan dengan pergantian kabinet atau reshuffle kabinet, karena hal ini akan berarti bagi para politisi lain untuk menduduki jabatan menteri. Ketiga, ketidakpahaman masyarakat umum mengenai seluk-beluk pemerintahan juga bisa dimanfaatkan untuk memolitisasi kegagalan 100 hari pemerintahan.

Berbagai Faktor Distorsif

Pemerintah harus jujur mengakui bahwa 100 hari pemerintahan ini hanya menjadi waktu konsolidasi dan peletakan fondasi pemerintahan. Masyarakat harus mengetahui bahwa 100 hari pemerintahan untuk sebuah perubahan yang mendasar adalah sebuah ilusi. Penulis sendiri melihat berbagai faktor yang juga mengganggu jalannya pemerintahan selama 100 hari pemerintahan.

Meskipun demikian, tentu saja ada sejumlah penilaian yang bisa diberikan. Pertama, kontrak kinerja menteri dengan Presiden ternyata cukup mampu menggairahkan semangat kementerian untuk mencapai hal-hal yang sudah disepakati. Bahkan penulis melihat ada kekhawatiran sejumlah pejabat birokrasi pemerintahan jika tidak mampu memenuhi kontrak menterinya dengan Presiden.

Sampai pada tahap itu program 100 hari pemerintahan dapat dikatakan memberikan shock therapy terhadap birokrasi. Jika emosi ini bisa dijaga oleh setiap menteri sampai tahun kelima, maka bukan tidak mungkin target besar pemerintahan dapat dicapai. Hanya, penulis khawatir bahwa pengalaman yang sudah lalu menunjukkan emosi semacam ini justru bisa bertahan dalam 100 hari pertama saja.

Kedua, beberapa produk kebijakan, peta jalan, grand design, pola dasar, dan strategi sebagai target 100 pemerintahan juga sudah rampung dibuat. Meski demikian, perlu diberikan catatan bahwa keberhasilan pemerintahan tidak berhenti diukur dari adanya kebijakan saja, melainkan implementasi kebijakan tersebut. Ketiga, banyak hal yang dapat dianggap sebagai faktor pengganggu dalam 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, mulai dari kasus Bibit-Chandra sampai hak angket DPR pada kasus Bank Century.

Masalah-masalah tersebut jelas sangat menyita konsentrasi pemerintah untuk menyukseskan program-program utama tersebut. Keempat, dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, keberhasilan pemerintahan bukan hanya diukur dari keberhasilan pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga nonkementerian, tetapi juga oleh pemerintahan daerah.

Bahkan dampak langsung kinerja pemerintahan terhadap kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat kerap merupakan hasil kerja nyata pemerintahan daerah.Akhirnya penulis berharap seluruh pemangku kepentingan menyadari bahwa 100 hari pemerintahan bukanlah obat segala persoalan, melainkan peletakan fondasi pemerintahan.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI 

Opini Okezone 28 Januari 2010