Oleh Dini Dewi Heniarti
Orang yang pintar selalu berikhtiar  dan berusaha mencari jalan yang mengantarkan kepada kesenangan dan  menghindarkan diri dari suatu lingkungan yang mengarah kepada kesusahan  dan penderitaan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang pintar, tetapi  melalaikan petunjuk Allah, dan  tidak takut kepada Allah secara perlahan  akan terjerumus kepada kesusahan dan kealpaan (K.H. Achmad  Dahlan).
Masyarakat sedang  bingung menebak akhir cerita  beberapa ”sinetron  hukum” yang ditayangkan di negeri ini. Bahkan, beberapa berakhir dengan  teka-teki misterius.
Bagi segenap anak bangsa, negara hukum lahir karena kerinduan yang  mendalam terhadap terwujudnya keadilan. Hukum bukan sekadar alat untuk  menciptakan ketertiban, melainkan yang utama adalah untuk menegakkan  keadilan. Sayangnya, jalan menuju tegaknya keadilan melalui hukum di  negeri ini kian tersaruk-saruk. Hukum bukan semata dipahami secara  prosedural legalistik, melainkan sudah diperdagangkan secara murah tidak  lagi dalam pasar gelap bahkan pasar terang. Pembelinya bukan hanya  makelar, melainkan juga mafia. Oleh karena itu, yang terjadi di negeri  ini bukan hanya tak ada kepastian hukum, melainkan membawa kehancuran  hukum, sekarat dan mengantarkan kepada kematian.
Negeri yang memproklamasikan sebagai negara  hukum, bersilat di jalan  bahasa, memapankan keserakahan, mengerucutkan kekuasaan, membudayakan  kemunafikan, menyumbat  telinga  dengan harta dan martabat, membungkam  mulut dengan iming-iming dan ancaman. Asas manfaat seharusnya memberi  manfaat kepada sesama menjadi memanfaatkan, mengeksploitasi dengan  mengisap tenaga, pikiran, dan harta. Istilah kerennya ”aji mumpung”.  Sering dipakai sebagai modus operandi untuk memuluskan segala  tujuan.Memuaskan hasrat keduniawian sesaat atas nama pertemanan, teman  sejawat, dan hubungan kedinasan. Begitu mengisap dan menguras habis  darah rakyat ditinggalkan bagaikan raga tidak bernyawa. Manusia-manusia  pengisap ”darah”negeri ini melenggang dengan wajah tanpa dosa yang  membuat negeri ini pucat pasi, terseok-seok, bahkan kesulitan untuk  sekadar bernapas.
Inilah negeri adiluhung di mana kebenaran ditaklukkan oleh rasa takut  dan ambisi. Keadilan ditundukkan oleh kekuasaan  dan kepentingan. Nurani  dilumpuhkan oleh nafsu dan angkara. Citra negeri ini memburuk di mata  internasional. Sebuah kampanye jelek yang bisa menghancurkan minat  investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Hukum kita sedang  sekarat. Gempa dan tsunami dalam bidang hukum datang bertubi-tubi.  Semacam alarm dari Tuhan untuk orang-orang yang berpikir, hukum kita  telah lari dari ilmu Tuhan.
Mari sejenak kita melihat rancangan alam. Tatanan alam berlangsung dalam  pola interaksi yang disebut sebagai keteraturan alam semesta. Semua  interaksi alam tunduk pada satu suprasistem, yaitu Sang Pencipta Alam  Semesta. Ada beberapa contoh ilmu yang mempelajari rancangan di alam dan  memecahkan masalah berdasarkan rancangan alam. Menara Eiffel dilihami  struktur tulang paha seperti jeruji berbentuk sangkar. Kevlar bahan  pembuat baju antipeluru berdasarkan penelitian benang laba-laba yang  kekuatannya lima kali baja. Belalang tidak pernah tabrakan karena ada  pengindraan listrik di ujungnya sedang ditiru untuk menghindari tabrakan  pesawat terbang. Untuk menghindari kebisingan pesawat udara sedang  diteliti terbangnya burung hantu yang tidak bersuara. Kalau ilmu lain  mengambil pelajaran dari ilmu ciptaan Tuhan mengapa ilmu hukum bersifat  sekuler. 
Tanggung jawab yuris adalah merohaniahkan hukum. Penilaian scientia  yuridis harus mendalam dan mendasar pada conscientia (nilai).  Norma-norma etis-religius harus merupakan aspek normatif atau imperatif  dari negara hukum. Dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan  adanya sila Ketuhanan, tiap ilmu pengetahuan termasuk hukum yang tidak  dibarengi ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap. Seperti yang dikatakan  Albert Einstein, Science without religion is lame, religion without  science is blind.  
Dalam hadis yang sangat populer dalam dunia peradilan, Rasulullah  bersabda, ”Para hakim itu digolongkan pada tiga kelompok. Satu kelompok  akan masuk surga dan dua kelompok masuk neraka. Mereka yang masuk surga  adalah mereka yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara  berdasarkan kebenaran. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi curang  atau tidak jujur yang menyebabkan tidak adil dalam memberi putusan akan  masuk neraka. Hakim yang memutus perkara manusia berdasarkan  kebodohannya juga akan masuk neraka.” (Riwayat Abu Dawud). Hadis ini  hendaknya memberi inspirasi dan spirit kepada hakim agar bersikap dan  bertindak sesuai dengan moralitas dan integritas  yang dimiliki. 
Tanggung jawab ini bukan hanya secara administratif atau legalistis di  dunia, tetapi tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa yang benar-benar  esensial di akhirat kelak. Hal ini jelas sekali karena dalam setiap  memberi keputusan, hakim harus dengan tegas mengucapkan dan menuliskan  ungkapan, ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hakim  sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan  datang kepadanya untuk mohon keadilan. 
Dalam tuntunan agama Islam, perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap  siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama Q.S. 42  (Asy-Syura): 15. ”Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan  keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri,  ibu bapa dan kaum kerabatmu....” Q.S. 4 (An-Nisaa): 135. Surat-surat ini  mengandung prinsip tidak pilih kasih (nonfavoritisme dan antinepotisme)  dan prinsip tidak berpihak (fairness/impartial). 
Dengan kekuasaan apa pun bisa dilakukan, kalau penguasa berperan sebagai  juragan, sedangkan para penegak hukum sebagai abdi negara  dininabobokan, dengan memberikan fasilitas-fasilitas. Hukum laksana  sarang laba-laba hanya mampu menjerat kepada kaum lemah belaka,  sementara penguasa dan cukong sangat mudah menjebol sarang tersebut,  bahkan tidak perlu karena pintu masuk sudah tertata rapi yang kunci  pembukanya ada di saku penguasa. 
Orang akan dapat melakukan pemahaman terhadap hukum secara lebih baik  manakala ia secara sengaja pula mempelajari penyakit-penyakit hukum.  Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai positivisme menganggap  hukum sebuah bangunan atau tatanan logis rasional, yakni membuat rumusan  atau definisi-definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan,  diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan demikian, hukum hanya  benar-benar menjadi wilayah esoterik bagi praktisi hukum. Dengan cara  tersebut, hukum dipisahkan dari realitasnya yang penuh dan jauh dari  nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam realitas sosialnya. 
Kemampuan untuk mencari kebenaran membawa kita kepada sikap, yang benar  adalah benar yang salah adalah salah. Pemihakan kepada yang benar harus  dilakukan agar terhindar dari segala kesusahan akibat kebodohan sendiri.  
Merujuk pada mekanisme alam, sebuah bencana sebagaimana bencana dalam  dunia hukum adalah media penataan keseimbangan untuk mempersiapkan  munculnya generasi hukum baru, sebagaimana meletusnya gunung berapi,  badai lautan, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain akan melahirkan  generasi alam yang baru. Dalam setiap peristiwa alam terkandung  peringatan agar manusia bersungguh-sungguh berpikir dan kembali kepada  ilmu Tuhan.
Semoga Allah Yang Mahatahu berkenan memperpanjang napas negeri ini  seperti mengirim burung-burung ababil menghujani segala yang batil. Mari  ambil posisi, proklamasikan kembali hukum negeri ini. ***  
Penulis, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, dosen  Fakultas Hukum dan Pascasarjana Unisba.
Opini Pikiran Rakyat 28 Januari 2010