Fitra Fatahillah
Mahasiswa FISIP Unila; Staf Kebijakan Publik BEM
SERATUS hari merupakan sebuah indikator pencapaian-pencapaian yang  dilakukan oleh pemerintah, gebrakan-gebrakan yang dinanti-nantikan oleh  rakyat, mereka semua menunggu realisasi dari janji-janji manis yang  diberikan oleh penguasa semasa kampanye beberapa waktu yang lalu.
Rakyat sudah jenuh menunggu apa yang mereka harapkan dari penguasa,  rakyat hari ini merasa muak dengan sandiwara politik yang mereka  saksikan di media yang seolah-olah melupakan kesengsaraan rakyat yang  berada di bawah mereka terkesan lebih mementingkan kepentingan kelompok  masing-masing dengan mengatasnamakan "rakyat". Namun, belumlah jelas di  sini rakyat yang mana yang mereka maksudkan?
Pertanyaan-pertanyaan  seperti itu mungkin berada dalam benak sebagian besar rakyat yang  sebenarnya.
Rakyat sudah tidak membutuhkan janji-janji yang seakan membawa angin  segar, dan pada momentum 100 hari inilah rakyat menagih janji-janji  manis yang dulu dijanjikan oleh SBY dengan jargon yang sangat familiar  pada saat kampanye, yakni "Lanjutkan", dan mungkin jargon tersebut  memiliki kekuatan magis yang mampu menghipnosis lebih dari setengah  jumlah pemilih pada pilpres yang lalu.
Peningkatan Mutu
Dalam 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II bukan tanpa  capaian-capaian yang sudah dilakukan diperoleh oleh kabinet ini, akan  tetapi kita di sini bukan lebih ingin menceritakan tentang hal tersebut,  yang nanti ditakutkan para penguasa terlena dengan pujian-pujian yang  meninabobokan mereka karena apa yang dirasakan oleh rakyat dalam artian  yang sesungguhnya hari ini masih banyak yang menjerit dalam kesengsaraan  dan ketidakpastian menjalankan kehidupan sebagai warga negara di negeri  tercinta ini.
Jika kita mengingat kembali dalam kampanye SBY dulu, SBY datang  seolah-olah sebagai utusan dari langit yang diutus untuk meningkatkan  mutu hidup dari bangsa ini terutama mereka yang dikatakan sebagai  "rakyat kecil" dan kesopansantunan SBY yang dikemas sedemikian rupa oleh  tim pemenangannya mampu menggetarkan hati. Lebih dari setengah dari  jumlah pemilih pun rela menggantungkan asanya lima tahun ke depan (jika  sesuai rencana) kepada sang jenderal yang dikenal santun ini.
Seharusnya SBY merasa memiliki beban yang sangat berat karena dia  "menjual dirinya" kepada rakyat dan rakyat sekarang yang memilikinya,  sudah seharusnya jika rakyat yang dalam hal ini sebagai pembeli harus  mendapatkan pelayanan yang terabaik dari "si penjual". Layaknya seperti  pembeli pada Umumnya pada sebuah pasar, di mana banyak pedagang yang  menjual barang yang sama, maka pembeli yang satu ini ingin taraf  hidupnya meningkat, SBY pun bertanggung jawab untuk melayaninya jika  tidak ingin "si pembeli" pindah meninggalkan "si penjual".
Jika kita menganalogikan rakyat (dalam arti sesungguhnya) sebagai  pembeli dan SBY sebagai "si penjual", seyogianyalah SBY memakai prinsip  "pembeli adalah raja". Maka, jika rakyat menginginkan peningkatan taraf  hidupnya, SBY harus melakukannya karena rakyat yang sudah membayar pajak  dan menginginkan pelayanan yang terbaik.
Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menurun dari 90% menjadi  75%. Itu berdasarkan hasil survei Indo Barometer yang dilakukan  pertengahan Januari 2010 yang dibandingkan dengan Agustus 2009. Ini  menunjukan rakyat merasa tidak dilayani secara optimal, dan bukan tidak  mungkin jika rakyat sudah tidak tahan menunggu ia akan melakukan hal-hal  yang tidak diharapkan oleh SBY.
Evaluasi 100 Hari
Jika kita mengingat kembali bagaimana janji kampanye SBY akan  "Lanjutkan" pemberantasan korupsi akan tetapi dalam realita  perkembangannya dalam 100 hari, "rapor merah" memang pantas untuk  diberikan. Hal ini dapat dilihat indikator kegagalannya seperti  kriminalisasi dan pelemahan KPK, kemudian banyaknya kasus korupsi yang  mengemuka antara lain kasus Bank Century, pengadaan IT KPU, dan  penggunaan kasus-kasus korupsi untuk memobiliasi dukungan keuangan  parpol yang merupakan bentuk inkonsistensi dari jargon "Lanjutkan"   pemberantasan korupsi.
belum lagi terjadinya kelumpuhan negara hukum dan demokrasi hal ini  ditandai dengan kewibawaan hukum yang hancur, berkembangnya konflik  internal di kepolisian, dan jaksa yang terjerat berbagai kasus. Jika  tadi dilihat dari kegagalan dalam pemberantasan korupsi dan penegakkan  hukum masih ada cerita dalam sektor ekonomi, SBY gagal memenuhi  kedaulatan ekonomi nasional. Indikasinya, terjadi dominasi modal asing  dalam penguasaan sumber daya nasional sampai dibukanya perdagangan bebas  dengan China (ACFTA) per 1 Januari 2010 hal ini akan ini berisiko  "membunuh industri nasional".
Masih sejuta catatan di sana-sini "si penjual" yang dinilai tak mampu  melindungi buruh migran di luar negeri, petani, dan nelayan. SBY juga  gagal mencerdaskan dan menyehatkan bangsa. "Komersialiasi pendidikan  difasilitasi UU BHP dan hadirnya institusi pendidikan asing. Sementara  itu, pendidikan gratis tidak merata serta pelayanan kesehatan semakin  elitis.
Hari ini rakyat lelah, rakyat menuntut, rakyat menagih janji-janji  manis saat kampanye. Rakyat adalah pembeli karena SBY sudah "menjual"  dirinya melalui iklan politiknya kepada konstituennya, 100 hari adalah  momentum pembuktian pelayanan terbaik kepada rakyat dan tampaknya masih  terlau banyak catatan yang harus dibenahi
Opini Lampung Post 28 Januari 2010