05 November 2009

» Home » Okezone » Wakil Presiden di Panggung Konstitusi

Wakil Presiden di Panggung Konstitusi

Wakil presiden (wapres) adalah sebuah jabatan khas dalam sistem pemerintahan presidensial. Selain tidak dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer, juga karena dalam sistem presidensial pun wapres tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Wapres tidak memiliki kewenangan memerintah dan mengatur.

Jabatan ini berada dalam lingkungan jabatan lembaga kepresidenan. Itulah kekhasannya. Fungsi konstitusionalnya membantu presiden. Apa, bagaimana dan sejauh mana bantuan diberikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam konstitusi. Oleh para penemunya, jabatan ini diciptakan sebagai cara berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadi kekosongan?sementara atau permanen pada jabatan presiden.
Jalan pikirannya, kalau presiden berhalangan maka wapres yang menggantikannya seketika itu juga. Cara ini terilhami oleh praktik penyelenggaraan pemerintahan -manajemen dan suksesi- dalam kerajaan. Putra mahkota memang tidak membantu raja dalam kesehariannya, tetapi ketika raja tidak dapat menjalankan kekuasaan, terutama secara permanen, maka putra mahkotalah yang menjadi penerusnya.

Mirip-Mirip


Di tangan Bung Hatta dan Jusuf Kalla, jabatan wapres?yang pernah dikeluhkan oleh John Adams, wapres pertama dalam sejarah presidensialisme Amerika Serikat?justru bergema. Bung Hatta dan Jusuf Kalla membuat jabatan ini begitu berarti di panggung konstitusi Indonesia. Padahal keduanya hidup di bawah undang-undang dasar yang berbeda, dan zaman yang berbeda pula.

Bung Hatta terkenal sebagai sosok berpembawaan tenang, cekatan, berlanggam tegas, apa adanya, serta memiliki visi. Bung Hatta memungkinkan KNIP memiliki gigi. Berkat keberanian dan kejeniusannya, terbentuklah Badan Pekerja (BP) KNIP. Pada 16 Oktober 1945, Bung Hatta menerbitkan Maklumat X untuk melegalkan pembentukan BP KNIP. Masih banyak tindakan hukum tata negara yang dilakukan Bung Hatta.

Beberapa di antaranya adalah penerbitan Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang memungkinkan pendirian partai politik, dan Maklumat Pemerintah per 16 November 1945. Maklumat ini mengubah sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer. Pada masa berlakunya UUD Sementara 1950, Bung Hatta terlibat dan dilibatkan dalam sejumlah masalah ketatanegaraan.

Selain terlibat dalam urusan pembentukan kabinet,Bung Hatta juga turut menangani soal Aceh dan soal-soal lain dalam tubuh Angkatan Udara. Ketika terjadi kekisruhan mengenai PP Nomor 35 Tahun 1953, Bung Hatta menolak untuk mencabutnya. Padahal Bung Karno telah diminta oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, untuk mencabutnya.

Kisruh ini terus berlanjut sampai akhirnya Bung Hatta meletakkan jabatan pada 1 Desember 1956. Sejak saat itu jabatan ini tak terisi hingga 23 Maret 1973. Puluhan tahun kemudian, di bawah UUD 1945 yang telah diubah, Indonesia memiliki wapres yang relatif sama dinamisnya dengan Bung Hatta. Beliau adalah Jusuf Kalla.

Kalla memang tidak melakukan tindakan-tindakan hukum tata negara setara Bung Hatta. Tetapi Kalla terlibat dalam manajemen pemerintahan yang ditugaskan oleh Presiden kepadanya. Kecekatannya dalam menangani masalah-masalah di bidang ekonomi dan energi, hebat. Sikapnya terhadap UKP3R menarik. Perannya dalam penyelesaian Aceh, mengagumkan. Sejauh yang teramati beliau begitu terbuka terhadap pers. Mungkin itu sebabnya beliau tampak sangat dinamis.

Sama-Sama Berkeringat


Mengapa bisa begitu? Tentu bukan karena keduanya berasalusul dari luar Jawa. Bung Hatta adalah pejuang, sama dan setara dengan Bung Karno. Keduanya sama-sama memimpikan Indonesia merdeka. Mungkin karena faktor itu Bung Hatta merasa urusan pengisian kemerdekaan harus ditangani bersama. Tidak keliru juga kalau Bung Hatta tidak merasa rikuh di hadapan Bung Karno. Apalagi keduanya diterima rakyat Indonesia sebagai dwitunggal.

Dalam soal ini memang Kalla tidak sekaliber Bung Hatta. Kalla hanya pernah bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada dalam kabinet Ibu Megawati. Lalu sejauh yang dapat diamati, keduanya sama-sama berkeringat dalam perjuangan menuju kursi presiden dan wapres.

Kalla, sejauh dapat diamati pula adalah pribadi mandiri, terbiasa bertindak cepat, lalu akrab dengan risiko-risiko besar. Apalagi beliau berasal dari partai politik besar, lebih besar dari partai politik Presiden pada saat itu. Faktor-faktor itu membuat saya memberanikan diri untuk menandainya sebagai faktor utama yang menentukan dinamika wapres pada dua masa yang berbeda ini. Harus diakui bahwa faktor lingkungan nonkonstitusi ?dinamika politik dan kesediaan Presiden, Bung Karno dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono? memungkinkan terciptanya ruang itu. Ruang yang seolah disinari dua matahari.

Menunggu

Mozaik keduanya tak pernah terlihat pada masa Presiden Soeharto. Padahal Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik memiliki rekor perjuangan hebat. Menariknya, di bawah Soeharto dan UUD 1945 yang belum diubah, mereka tidak sedinamis Bung Hatta. Apalagi penerus mereka. Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno juga sama. Mereka adalah junior Soeharto. Pemilihan mereka juga sangat tergantung pada kemauannya.

Andaikan Habibie berkesempatan lama menjadi wapres,mungkin kita dapat melihat dinamika itu di masa Pak Harto. Tetapi begitulah jalan sejarah. Habibie cuma sebentar menjadi wapres, sebelum akhirnya menjadi presiden. Setelah itu ada Megawati. Tetapi harus diakui, langgamnya biasa saja. Padahal Mega memiliki kekuatan politik luar biasa. Unik, sekaligus menarik.

Pada periode Megawati, kantor wapres menampilkan sosok seperti sekarang ini. Struktur ini amat jauh berbeda dengan struktur kantor wapres pada masa Soeharto. Kini kita memiliki Boediono sebagai wapres. Beliau, seperti diketahui umum, adalah sosok yang pintar, sederhana, berdedikasi, berpembawaan tenang, dan bertutur kata lembut. Pernah sama-sama SBY di kabinet Megawati.

Lalu jalan sejarah mengantarkan SBY menjadi presiden dan Boediono menjadi menteri dalam kabinetnya. Berkat kejelian SBY, kini Boediono menjadi wapresnya. Pak Bud, begitu biasa beliau disapa oleh sejawatnya, telah memperlihatkan keterlibatannya dalam konteks kedudukannya sebagai wapres. Beliau terlihat bersama Presiden dalam menguji para calon menteri.

Jauh sebelumnya sayup-sayup terdengar beliau telah bergelut dalam memetakan sejumlah masalah ekonomi yang mesti dikenali, dan diprioritaskan untuk dikelola oleh pemerintahan baru ini. Tetapi rasanya belum saatnya dinilai. Apalagi, di luar perkiraan, ternyata tiga kementerian koordinator tetap dipertahankan.

Lain soalnya andaikan ketiga kementerian ini tidak dipertahankan, lalu fungsi koordinasi diberikan kepadanya, maka dapat dipastikan dia akan sangat dinamis di atas panggung konstitusi lima tahun mendatang. Di atas semuanya kita menunggu kiprahnya setelah dilantik. Akankah dia tercatat dalam sejarah ketatanegaraan dan politik Indonesia sebagai wapres yang dinamis sesudah Bung Hatta dan Kalla? Kita lihat nanti.(*)

Margarito Kamis
Pakar Hukum Tata Negara
(Koran SI/Koran SI/jri)

Opini Okezone 31 Oktober 2009