05 November 2009

» Home » » Parade Kebusukan

Parade Kebusukan

Wajar jika rakyat marah. Sebuah tontonan tentang kebusukan, suap, korupsi, dan rekayasa terjadi saat Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman penyadapan KPK.

Salah seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Agung melakukan komunikasi secara intens dengan pengusaha yang menyediakan suap. Sejumlah dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK, yang menggerakkan masyarakat melakukan dukungan terhadap KPK, seperti terkonfirmasi. Meskipun secara pidana rekaman ini perlu dibuktikan dengan keterangan lain, tapi sebagai fakta persidangan isi pemutaran rekaman hingga 4,5 jam tersebut benar-benar melukai publik. Asumsi keberadaan mafia peradilan yang selama ini selalu dibantah oleh kejaksaan dan kepolisian saat ini terbukti ada dan masih berakar dengan kuat.
Bayangkan, jika institusi penegak hukum diisi dan dipimpin oleh orang-orang bermasalah? Bukan tidak mungkin, kewenangan yang diberikan undang-undang dijadikan sebagai "objek jual-beli". Potensi-potensi ini menjadi semakin nyata jika komitmen pimpinan politik lemah, kompromistis terhadap korupsi dan tidak punya kepemimpinan yang bersih.

Diselamatkan Penyadapan

Rekaman penyadapan tersebut berisi rekayasa di balik penetapan tersangka dan penahanan dua pimpinan KPK. Seorang perempuan bernama Yuliana menghubungi Anggodo secara intens dan sederet nama pejabat tinggi Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, bahkan Presiden disebut berulang kali.

Relatif mirip dengan karakter rekaman penyadapan kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan. Saat itu seorang bernama Artalyta Suryani secara intens menghubungi pejabat tinggi di Kejaksaan Agung dan berbicara tentang penanganan sebuah perkara. Tentang rencana penghentian sebuah kasus korupsi kelas kakap, BLBI. Tidak lama berselang, transaksi suap USD660.000 terjadi. Tapi malang bagi si jaksa korup, KPK menangkapnya saat itu juga. Setidaknya ada dua kemiripan dalam kasus di atas. Pertama, pihak yang berbicara dengan "makelar kasus" adalah petinggi lembaga penegak hukum.

Kedua, skandal tersebut terbongkar karena kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Dengan kata lain, sebuah persekongkolan jahat dapat saja bekerja di balik dinding-dinding institusi penegak hukum di Indonesia. Persekongkolan itu membidik penegak hukum lain yang serius dan tulus bekerja, para pahlawan pemberantasan korupsi, bahkan mungkin juga kita, rakyatnya sendiri. Mereka membuat bagaimana sebuah kebusukan dibungkus seolah-olah benar. Kemudian, menyusun sebuah "selubung hukum".

Menggunakan dalil-dalil pasal undang-undang yang mati dan membelokkannya sesuai kepentingan sendiri. Semua itu bisa dibongkar dengan kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Meskipun memang dugaan rekayasa dan persekongkolan itu perlu dibuka dan dibuktikan di persidangan. Walau begitu, formalitas hukum yang rumit dan kadang bisa ditelikung jika penegak hukumnya terkontaminasi virus korupsi, menjadikan masyarakat cenderung apatis dengan dalil "mari serahkan ke proses hukum".

Agaknya Mahkamah Konstitusi (MK) mencoba membuat sebuah terobosan penting. Sekat-sekat hukum formal yang selama ini menghambat pencapaian keadilan dibongkar oleh MK. Hari itu, Selasa, 3 November 2009, sebuah parade kebusukan dibuktikan di persidangan rakyat di MK.

Komitmen Presiden

Namun dalam kondisi "darurat keadilan" seperti ini, kami justru masih melihat Presiden hanya sebagai ahli pidato. Presiden belum menjadi pimpinan yang berbuat konkret untuk membenahi kerumitan persoalan yang terjadi di negaranya. Menggunakan kalimat "menyerahkan pada proses hukum yang berlaku" akan terdengar semakin menyakitkan rasa keadilan publik karena proses hukum itu sendiri diduga sudah terkontaminasi.

Rekaman penyadapan tentang rekayasa kriminalisasi KPK harusnya disikapi secara lebih substansial oleh Presiden. Bukan sekadar membantah dan berkata, "Nama saya dicatut," dan sangat dirugikan oleh rekaman tersebut. Ingat, ini bukan persoalan pribadi, tapi persoalan penegakan hukum. Persoalan salah satu pilar penting di sebuah bangsa. Persoalan Indonesia.

Tim Independen

Presiden RI memang telah membentuk sebuah tim independen yang beranggotakan delapan orang (2/10/2009). Sepintas, dorongan dan saran banyak pihak agar persoalan kriminalisasi tersebut diselesaikan oleh tim independen sudah terakomodasi. Tapi jika dicermati, Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto itu dinilai mempunyai persoalan mendasar.

Dari judulnya kita bisa pahami bahwa Keppres No 31/2009 mencoba mempersempit persoalan kriminalisasi KPK hanya pada dua orang. Dalam struktur berpikir hukum formal yang sempit, mungkin benar kasus ini hanyalah menjerat dua pimpinan KPK nonaktif. Namun logika ini cenderung disimplifikasi. Karena masalah yang sedang dihadapi hari ini adalah persoalan yang lebih kronis, yakni sebuah persekongkolan jahat antara pihak pemilik modal (penyuap) dengan pejabat tinggi di institusi penegak hukum.

Jika kasus sebesar ini bisa direkayasa, tidak ada jaminan proses hukum akan berjalan dengan benar ketika yang ingin dibungkam adalah rakyat biasa. Dari aspek materi, keppres ini justru merusak makna independensi tim. Independen dari apa? Pertanyaan ini sulit dijawab karena pada poin kedua keppres ternyata dicantumkan, "Tim berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden." Sejak kapan konsep independensi dianulir dengan kedudukan subordinat seperti tim ini? Sepatutnya Presiden lebih mendengar substansi keresahan masyarakat.

Mungkin benar, rakyat kecewa dan marah karena dua pimpinan KPK ditahan oleh kepolisian, tapi masalah ini bukan masalah dua pimpinan KPK semata. Persoalan ini adalah potret "busuknya" institusi penegak hukum kita. Terutama, ketika kepolisian dan kejaksaan dipimpin oleh orang-orang yang tidak dapat diyakini komitmen dan kebersihannya. Ketika penegak hukum sudah terkontaminasi virus, maka sebuah kejahatan dan korupsi mencapai kesempurnaannya. Saat inilah kebangsaan kita diinjak-injak dan dibajak oleh para koruptor.

Dengan kata lain, kita harus berani menegaskan, persoalan kriminalisasi KPK ini bukan hanya masalah Bibit dan Chandra, tetapi masalah rasa keadilan rakyat Indonesia. Nah, mungkinkah masalah serumit ini hanya bisa diselesaikan oleh tim delapan yang kewenangannya sudah teramputasi dari awal? Tentu saja tidak. Karena itu, sebagai otoritas politik eksekutif tertinggi yang juga punya kekuatan besar di Parlemen, Presiden perlu melakukan sesuatu yang lebih konkret. Dalam jangka pendek saat ini, berhentikanlah Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung, kemudian lakukan perombakan total di dua institusi ini.

Kapolri dan Jaksa Agung, meskipun tidak disebutkan dalam rekaman, tetap harus bertanggung jawab. Secara moral, hal ini berarti Kapolri tidak mampu menjaga komitmen dan integritas bawahannya. Demikian juga dengan Jaksa Agung.Tragedi di institusi adhyaksa bukan kali ini saja. Dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, sejumlah jaksa agung muda juga terbukti melakukan komunikasi dengan seorang makelar perkara. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemudian menyatakan jaksa dan makelar perkara tersebut bersalah melakukan korupsi.

Dengan kata lain, Jaksa Agung dinilai gagal mengawal pembersihan di institusinya, bahkan untuk pejabat yang hanya satu level di bawah Jaksa Agung. Lantas, untuk apa dipertahankan? Dalam jangka menengah dan jangka panjang, perombakan, restrukturisasi, atau bahkan reposisi kepolisian dan kejaksaan merupakan tugas berat Presiden. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden tidak bisa mengelak untuk memimpin pembersihan dan penataan dua institusi penegak hukum tersebut.

Karena berhasil atau gagal, komitmen atau main-mainnya Presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dilihat dari wajah kepolisian dan kejaksaan. Rakyat Indonesia niscaya mengharapkan pimpinan yang benarbenar bekerja. Bukan hanya soal citra. Do something Mr President! (*)

Febri Diansyah
Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW
Opini Okezone 5 November 2009