05 November 2009

» Home » Kompas » Rekaman Hukum Indonesia

Rekaman Hukum Indonesia

Kartu sudah dibuka di atas meja. Berkat kemajuan teknologi informasi elektronik, dalam bilangan detik seluruh dunia—domestik maupun internasional—mengetahui isi perut penegakan hukum di negeri ini.
Selama lebih dari empat jam kita disuguhkan suatu reality show tentang isi dapur penegakan hukum dari sebuah negeri yang bernama Indonesia. Kok yang begitu bisa terjadi dan kok-kok yang lain.


Kekuatan publik
Kita tergagap bertanya-tanya, bagaimana efeknya terhadap publik? Publik itu tidak hanya terdiri dari orang yang tahu hukum, tetapi lebih banyak lagi orang yang awam dalam bidang hukum. Dengan demikian, para pemirsa yang tahu hukum tidak dapat memaksakan kepada semua orang untuk melihat pertunjukan rekaman itu seperti seorang ahli hukum melihatnya.
Jutaan pemirsa awam itu berhak menafsirkan dan memaknai apa yang baru saja dilihatnya. Itulah hak asasi mereka. Mereka tidak dapat dipaksa untuk memahaminya, seperti seorang yang tahu hukum memaknainya.
Pengaruh kekuatan publik atau opini publik terhadap hukum memang merupakan ranah wacana tersendiri dalam hukum. Kekuatan itu ada di masyarakat yang tak dapat ditepis dan diabaikan begitu saja oleh komunitas hukum, semata-mata berdasar keawaman mereka. Secara sosiologis, besar atau kecil opini itu akan berpengaruh terhadap hukum.
Lupakah kita terhadap peristiwa pemberlakuan UU Lalu Lintas Jalan 1992 (?) yang ditunda satu tahun. Di situ jelas tergambar kekuatan opini publik sehingga otoritas hukum bertekuk lutut. Masih banyak lagi kejadian dalam sejarah hukum dunia, di mana opini publik menjadi barometer dalam legislasi, ajudikasi, dan penerapan hukum.
Logika hukum dan logika umum
Sesungguhnya hukum itu amat esoterik, hanya dapat dipahami oleh orang yang memang belajar hukum. Banyak bahasa, istilah, konsep, dan doktrin hukum yang merupakan bunyi-bunyian yang asing di telinga masyarakat umum.
Mereka tidak mengetahui alasannya, mengapa si A tidak segera dimasukkan ke penjara? Mengapa si B tidak segera ditangkap dan lain-lain. Itulah logika awam mereka. Sebenarnya mereka tak benar-benar awam. Mereka cukup cerdas, tetapi dengan menggunakan logika akal sehat dan nuraninya sendiri. Di sana-sini terlihat kecerdasan ”awam” itu lebih tajam dari logika, alasan, dan penalaran hukum.
Maka, seperti Paul Vinogradoff, ia bicara tentang akal sehat dalam hukum. Jadi, janganlah hukum kita menjadi begitu arogan sehingga mengabaikan kekuatan, peran, dan pikiran publik. Maka segeralah berbagai kejadian yang mencolok itu diselesaikan dan jangan mengecewakan publik.
Sistem peradilan antikorupsi
Mengamati silang sengketa di antara sesama penegak hukum selama ini, pada hemat saya, ada suatu hal lebih besar yang terlupakan untuk disinggung dan dibicarakan, yaitu tentang sistem besar di mana keributan sekarang terjadi. Sistem itu dikenal sebagai criminal justice system. Baik polisi, jaksa, maupun KPK sama-sama bekerja berdasarkan sistem itu. Sistem itu memberi hak dan wewenang kepada para pelaku dalam sistem itu. Kewenangan itu memiliki potensi besar untuk bersinggungan dan berbenturan, seperti kewenangan untuk menyidik.
Maka, saya berpikir, apakah dalam jangka panjang kita tidak perlu membangun suatu sistem Indonesia sendiri yang lebih progresif, yang diharapkan lebih ampuh untuk memberantas korupsi.
Sistem itu adalah sistem peradilan antikorupsi (anticorruption justice system). Di dalam sistem itu saya membayangkan, semua kekuatan atau institut dalam pemberantasan korupsi hanya merupakan sekrup-sekrup dari mesin besar antikorupsi itu. Dengan demikian, jaksa, polisi, dan KPK sama-sama berdiri di atas satu panggung yang sama dan kokoh.
Maka, efek dari friksi-friksi yang terjadi di antara sesama ”sekrup mesin antikorupsi” dapat ditekan serendah mungkin. Dalam melaksanakan hak itu saya berpikir mereka harus senantiasa bergandeng tangan dan bekerja sama untuk memberantas korupsi.
Musuh kejaksaan, kepolisian, dan KPK adalah korupsi dan hanya korupsi.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Opini Kompas 6 November 2009