05 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Batas-batas Keterbukaan Penyadapan

Batas-batas Keterbukaan Penyadapan

Dialog yang ditayangkan televisi dan radio, buah penyadapan itu, secepat kilat menyeruak ke mana-mana. Inilah era keterbukaan. Semua kini bisa dibuka, transparan, seolah nyaris tak ada yang bisa ditutupi. 

Sidang Mahkamah Konstitusi Selasa (3/11) memperdengarkan sejumlah rekaman yang berisi penyadapan pembicaraan terutama antara Anggodo dengan sejumlah orang. Kontan saja, media pasti melakukan liputan karena memiliki nilai news value yang tinggi, sebagian di antaranya menyiarkan secara langsung (live).

Segenap penjuru masyarakat pun sontak mendengarkan, radio atau menonton televisi. Banyak orang tertegun, tidak habis pikir, berkonsentrasi, atau berusaha fokus mendengar radio atau melihat televisi, karena ini sungguh sesuatu yang menarik. Kualitas hasil sadapan aparat ini pun tergolong sangat bagus, dapat diperdengarkan dengan suara audio yang jelas.

Dialog yang ditayangkan televisi dan radio, buah penyadapan itu, secepat kilat menyeruak ke mana-mana. Inilah era keterbukaan. Semua kini bisa dibuka, transparan, seolah nyaris tak ada yang bisa ditutupi. Kalau kini di negeri ini ada Komisi Informasi Publik (KIP) yang mendorong keterbukaan lembaga-lembaga publik dan aparatur pemerintahan, tampaknya yang terjadi di Mahkamah Konstitusi Selasa (3/11) adalah contoh konkret transparansi itu.

Ini merupakan sesuatu yang menarik dalam konteks keterbukaan informasi. Hampir beragam situasi para pelaku, terutama Anggodo dalam berbagai kesempatan, dapat disadap, dan kemudian diperdengarkan dengan jelas oleh media, terutama televisi dan radio, lengkap dengan cara bertutur, logat, dialek dan bahkan back-ground pembicaraan termasuk bunyi ring back tone (RBT)/nada tunggu telepon seluler.
Seberapa Terbuka? Mungkin muncul pertanyaan awam, apakah semua boleh dibuka, atau apakah sebenarnya ada batas-batasnya? Atau pertanyaan usil serta canda menyertai juga, jangan-jangan pembicaraan antarkita kelak juga bisa disadap dan suatu ketika bisa diperdengarkan seperti itu.

Dalam khasanah jurnalisme, tentu sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan publik dan masyarakat luas, sejauh itu demi kemanfaatan bagi kebaikan bersama, keterbukaan semacam itu tidaklah menjadi masalah. Sebaliknya sesuatu yang menyangkut privasi seseorang, bersifat pribadi, haruslah media menghormatinya, karena itu bukanlah wilayah publik. Contoh sederhananya adalah: gaji menteri yang beberapa waktu juga muncul di media, tentu publik boleh mengetahui. Akan tetapi jika berurusan dengan untuk keperluan apa sajakah gaji menteri itu dibelanjakan, publik tidak berhak mengetahui.

Kembali ke soal pengungkapan hasil sadapan atas pelaku tindak pidana yang sekarang sedang menghangat di seputar dua lembaga: KPK dan Polri, tentu ini adalah urusan publik. Apalagi jelas-jelas KPK dan Polri adalah lembaga publik yang dibentuk untuk melayani masyarakat. Para pejabat KPK dan Polri, tak luput juga Kejaksaan Agung, tidak terlepas dari keharusan berperilaku terbuka dalam beragam masalah untuk kepentingan kebenaran bagi publik.

Sebagai lembaga yang berpengalaman dalam soal sadap-menyadap karena keduanya  juga memiliki aparat intelejen dan penyidik, serta juga memiliki kewenangan untuk itu, maka mungkin yang terjadi di persidangan Mahkamah Konstitusi Selasa lalu adalah buah dari kerja keras mereka pula untuk mencoba membongkar sebuah perkara yang menjadi sorotan publik.

Seolah juga ‘’jagoan’’ mereka dikeluarkan dan harus bahu membahu, terutama juga karena imbasnya menyangkut reputasi kedua lembaga yang mereka naungi. Kedua institusi yang sama-sama penting dalam soal pemberantasan tindak pidana dan tindak korupsi yakni KPK dan Polri.

Menyangkut hasil sadapan yang kemudian dapat diperdengarkan luas oleh puluhan bahkan ratusan media terutama karena kini banyak juga media berjaringan dengan puluhan radio di daerah, tentu salah satunya karena sekarang inilah memang era transisi media, sebuah keadaan yang memungkinkan beralih era ketertutupan ke kebebasan media. Ini juga buah dari era reformasi yang digulirkan dan kini benar-benar terbuka.

Tidak ada pihak mana pun yang berhak melarang seseorang berbicara, berpendapat. Yang dapat melarang hanyalah jika ada perundangan atau produk hukum yang memang merupakan bagian dari pengaturan bersama.

Bahkan jika beberapa waktu yang lalu Kapolri Bambang Hendarso Danuri pun meminta untuk tidak menyebut-nyebut cicak dan buaya, itu hanyalah imbauan, karena memang dari sisi hukum pernyataan itu tidak kemudian dapat serta merta menutup pembicaraan seseorang untuk menyebut-nyebut cicak dan buaya. Apalagi jika kemudian memang cicak itu sendiri juga sebuah gerakan untuk menyelamatkan institusi KPK. Tak ada seorang pun yang dapat dilarang untuk membela KPK. Bahkan Presiden SBY juga pernah mengemukakan, dirinyalah yang berada paling depan jika ada yang berusaha membubarkan KPK.
Bolehkah Dipublikasi? Yang menarik apa yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi adalah percakapan asli dari pihak-pihak yang berperkara karena memang tanpa sepengetahuan mereka, pembicaraan mereka disadap. Tentu saja, logat asli, dialek dan gaya berbicara mereka ditampilkan natural, apa adanya. Ini sebenarnya bagi audiens televisi dan radio adalah semacam tontonan: reality show, sesuatu yang juga sedang ngetren di beberapa stasiun televisi.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai institusi hukum tampaknya merasa harus ‘’turun tangan’’ untuk ikut menyelesaikan perkara besar di negeri ini, karena memang akhir-akhir ini hal itu menjadi sorotan dan perhatian publik, terutama sejak penahanan Bibit dan Chandra Hamzah, petinggi KPK. Dukungan terhadap upaya pembebasan kedua tokoh KPK itu pun mengalir deras, dari facebook, hingga unjuk rasa terbuka.

Sebenarnya hasil penyadapan dan perkembangan dari penyelidikan suatu perkara boleh saja dibuka, terutama karena Polri, KPK dan Kejaksaan Agung misalnya juga harus mempertanggung-jawabkan kinerjanya secara terbuka kepada publik. Ini tentu berkaitan dengan lamanya suatu kasus akan terungkap jika harus menunggu sebuah perkara dapat diselesaikan dan baru dipublikasikan. Pertimbangan lain salah satu pengungkapan harus dilakukan adalah sekaligus menjawab adanya keraguan publik, jika perkara tertentu dipublikasikan relatif lama menunggu ketuntasan penyelidikan dan persidangan.

Tentu saja hal di atas harus disertai catatan, beberapa hal yang bersifat pengecualian misalnya jika dapat dianggap menghambat pengembangan penyelidikan. Termasuk para pihak menghormati asas praduga tak bersalah, karena seseorang yang terlibat masalah hukum, belum tentu seluruhnya kemudian memang dapat terbukti bersalah dan kemudian harus menjalani hukuman. (35)

—Dr Adi Nugroho, staf pengajar Program S2 Komunikasi, Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 5 November 2009