05 November 2009

» Home » Jawa Pos » Socrates dan Mafioso Hukum

Socrates dan Mafioso Hukum

SULIT dipercaya! Ternyata ruang penegakan hukum kita hingga kini masih dihuni para mafioso bajingan. Rekaman sadapan KPK berdurasi 4,5 jam yang diperdengarkan pada Sidang MK Selasa siang (3/11) mempertontonkan sindikasi busuk yang sangat menggelikan. Hampir semua komponen penegak hukum terindikasi terlibat dalam sindikasi itu hanya demi menyelamatkan seorang koruptor. Dan, yang lebih menggelikan lagi, lembaga KPK pun disasar sebagai terget penghancuran.

Akal sehat siapa pun sulit mengingkari bahwa isi rekaman tersebut benar-benar memperlihatkan adanya sindikat mafia. Pertama, ada upaya bersama yang disusun rapi untuk melindungi kejahatan dan pelakunya (korupsi yang dilakukan Anggoro Widjoyo). Kedua, target yang disasar untuk diserang dan dideligitimasi adalah lembaga penegak hukum dan aparatnya (KPK dan Bibit-Chandra) yang memang sangat ngotot mengusut kasus tersebut.

Ketiga, ada kisah suap-menyuap yang coba dipakai sebagai alat penjinak aparat KPK. Keempat, aktor yang terlibat adalah kombinasi berbagai kekuatan besar (pengusaha, polisi, jaksa, pengacara, oknum Lembaga Perlindungan Saksi, broker) yang memiliki kemampuan untuk membuat hitam-putih sebuah kasus.

Kelima, disebut-sebut pula presiden di samping sejumlah pejabat teras kepolisian dan kejaksaan, serta keterlibatan media massa. Keenam, terdapat pembagian tugas yang relatif jelas, siapa kerja apa, berikut dana operasionalnya segala untuk mendukung skenario yang dipesan the big boss (Anggoro lewat Anggodo). Ketujuh, ada intrik the end justifies the means ala Machiavelianisme dengan cara merekayasa kasus untuk menghabisi musuh. Bahkan, ada rencana penghilangan nyawa yang ditujukan krpada Chandra Hamzah.

Kisah mafioso itu mengingatkan saya kepada pesan agung filsuf eudaimonia dan guru kebajikan, yakni Socrates. Kata Socrates, celakalah sebuah negeri yang penghuninya tidak respek kepada hukum. Anda tahu apa sebabnya? Hukum, kata Socrates, adalah landasan hidup bersama yang paling utama jika kita ingin meraih/menikmati keadilan, kedamaian, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan.

Karena itu, menurut Socrates, setiap pengabaian terhadap hukum, sekecil apa pun -entah dengan cara melanggar, memandulkan, ataupun memanipulasinya- merupakan tindakan keji yang sangat berbahaya bagi eksistensi sebuah bangsa. Begitu hukum tercabik-cabik, kehancuran sudah di depan mata karena yang akan terjadi adalah kesewenang-wenangan, penindasan, ketidakdilan, dan merajalelanya kebiadaban.

***

Socrates tidak berkhotbah. Dia bertindak dan memberikan contoh, bahkan mempertaruhkan nyawa demi kewibawaan hukum di Athena. Seperti diketahui, Socrates mengalami kasus yang mirip dengan yang dialami Bibit dan Chandra. Konspirasi yang dibuat Kaum Sofis dan pimpinan religi Olympus telah menghantar Socrates sebagai pesakitan di pengadilan Athena. Pokok soalnya adalah: (i). Kritik pedas Socrates yang tiada henti terhadap kiprah kelompok filsuf Sofis yang cenderung memanfaatkan kehormatan dan keahlian mereka sebagai ahli retorika untuk memengaruhi kaum muda Athena kepada cara hidup yang tidak terhormat. Kepandaian retorika, bukannya dipakai sebagai jalan menemukan kebenaran, tetapi digunakan sebagai alat kelicikan: membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

(ii). Penolakan Socrates atas kebenaran ''wangsit ilahi'' yang disampaikan pimpinan religi Olympus. Konon, para pimpinan religi Olympus bertanya kepada para dewa tentang siapa orang yang paling bijak di Athena dan jawabannya, Socrates-lah orangnya. Socrates menolak ''wangsit'' itu dan tidak mau ditokohkan sebagai orang yang paling bijak.

Atas sikapnya yang demikian, Socrates dituduh oleh kelompok Sofis dan pimpinan Olympus sebagai ''penjahat'' berbahaya yang berujung ke pengadilan. Meski para kerabat, teman, dan murid-muridnya membujuk dan menawarkan jasa untuk menghindari ''pengadilan sesat'' itu, Socrates menolak keras semua tawaran itu dengan mengatakan: (i). Pantang bagiku untuk melecehkan hukum di negeriku, (ii). Karena aku tahu hukum, wajib bagiku menjalankan dan menghormatinya. (iii). Hanya orang lalim yang tidak mewujudkan apa yang dia tahu dalam perbuatan, dan yang terakhir, (iv). Hidup terhormat lebih utama daripada materi.

Pesan Socrates itu ada baiknya menjadi renungan bersama semua komponen bangsa, mulai para pemimpin hingga masyarakat akar rumput. Kita sudah merasakan ragam ''penderitaan'' akibat bermain-main dengan hukum; sulit mendapatkan kepercayaan dunia internasional, investor enggan menanamkan modal, penderitaan dan kemiskinan meluas akibat korupsi, dilecehkan sebagai bangsa liar, serta masih banyak lagi dampak buruk yang berbiak dari ketakacuhan terhadap hukum.

Saatnya kaum elite di negeri ini, khususnya pimpinan dan aparat penegak hukum, harus mampu menjadi contoh. Peristiwa yang memalukan (seperti dalam rekaman yang disadap KPK) harus menjadi kasus yang terakhir. Oleh karena itu, perlu langkah segera dari pemerintah/presiden untuk melakukan pembersihan di institusi kepolisian dan kejaksaan. Tidak perlu reposisi lembaga. Yang perlu dibenahi adalah aparat dan sistem pengawasannya.

Tidak ada manfaatnya reposisi lembaga jika aparat dan sistem pengawasannya tidak berubah. Biarkan institusi kepolisian dan kejaksaan tetap independen seperti saat ini karena imparsialitas penegakan hukum harus tetap terjaga. Saya kira tidak ada salahnya jika sistem pengawasan yang dijalankan di KPK diterapkan juga di kepolisian dan kejaksaan. (*)

*). Bernard L. Tanya , dosen Fakultas Hukum Undana, Kupang
Opini Jawa Pos 5 November 2009