05 November 2009

» Home » Jawa Pos » ''People Power" dari Facebookers

''People Power" dari Facebookers

OLEH keputusan polisi menangguhkan penahanan Bibit-Chandra bukan semata-mata disebabkan adanya pemutaran rekaman sadapan telepon Anggodo di Mahkamah Konstitusi, tetapi karena sebelumnya sudah didorong oleh desakan rakyat lewat berbagai ruang publik. Inilah people power yang berpotensi mengambrukkan kekuasaan. People power itu bisa berupa deretan unjuk rasa di berbagai kota, opini rakyat lewat media, dan yang tak bisa diremehkan adalah penggalangan sikap Facebookers yang melebihi jumlah 500.000.
Diam-diam, Facebookers ikut menggairahkan ruang publik. Seperti dikemukakan filsuf Jurgen Habermas, ruang publik bisa hidup bila diisi dengan wacana, diskursus, debat, dan pertemuan-pertemuan. Hidupnya ruang publik itu akhirnya memberikan peluang untuk meraih cita-cita kehidupan bersama yang berujung kepada kesejahteraan.

Facebookers menjunjung kekuasaan komunikatif. Maksudnya, satu kekuasaan yang terkonstruksi dari jaringan-jaringan komunikasi masyarakat sipil. Jaringan itu bisa dilihat lewat media, misalnya, internet. Jika lebih berperan, tentulah kekuasaan komunikatif tersebut punya kekuatan untuk mengarahkan keputusan-keputusan pemerintah. Termasuk di sini ketika lahir keputusan menangguhkan penahanan dua pimpinan nonaktif KPK.

Jangan kaget jika Facebookers juga berlatih demokrasi deliberatif, yakni kondisi di mana legitimitas hukum tercapai karena terbangun dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Dalam kata lain, jika perundangan lahir karena terpengaruh diskursus-diskursus yang terjadi di masyarakat, maka terbentuklah demokrasi deliberatif.

Jadi, sekarang jangan remehkan kekuatan maya. Ada seorang Facebooker menulis, ''Dunia maya tak lagi jadi kekuatan gaib. Gerakannya riil. Jejaring sosial berubah jadi jejaring politik. Kaum Facebooker mengubah konstalasi nasional. Bergembiralah wahai Facebookers!"

Ada alasan untuk bergembira, begitu tulis Facebooker itu, dukungan luar biasa dari Facebookers membuat kasus-kasus itu mendapat perhatian sampai di tingkat nasional. Selain kasus (baca: skandal) Bibit-Chandra, ada kasus Prita. Advokasi dan dukungan Facebookers membuat Prita dibebaskan.

Maka, benar kata Holtz-Bacha bahwa diskusi internet, walau itu masih mentah sebagai rumor politik, menjadi elemen penting dalam alam demokrasi. Apalagi jika saluran-saluran resmi terkesan mandul atau dimandulkan. Ini persis kondisi Indonesia saat skandal Bibit-Chandra menyeruak ketenangan masyarakat.

Alternatif DPR

Silakan simak, adakah anggota DPR yang mempersoalkan penahanan Bibit-Chandra? Semestinya, justru anggota DPR yang paling menyuarakan ketidakadilan itu, tetapi para wakil rakyat yang terhormat justru menikmati kenyamanan mereka setelah gaji dipastikan naik awal tahun depan.

Sungguh, DPR kita belum akil balig. DPR tanpa keakilbaligan tak mampu membendung tindakan monologis pemerintah. Pada akhirnya, rakyat adalah the other bagi para anggota DPR. Celakalah negara yang punya DPR semacam itu. DPR yang jauh dari keakilbaligan tentu merugikan masyarakat saat kebijakan publik diluncurkan. Setidaknya, kekuasaan komunikatif menjadi melemah.

Jika merujuk kepada pemikiran Habermas, semestinya di DPR terdapat kekuatan-kekuatan demokratis yang saling berkomunikasi dan berwacana untuk meraih cita-cita hidup bersama. Bagi Habermas, aktivitas berkomunikasi dan berwacana itulah hakikat politik. Berpolitik bukan melulu memperebutkan kekuasaan.

Politik ala Habermas itu tak akan terwujud jika masing-masing orang tak mau membebaskan dari kesempitan diri yang kekanak-kanakan. Merujuk kepada Immanuel Kant, politik semacam itu mensyaratkan akil balig atau dalam setiap upaya menunjukkan kemauan menuju keakilbaligan.

Pada ruang publik, misalnya, keakilbaligan itu bisa dilihat dari seberapa jauh kebebasan publik diterapkan. Ukuran kebebasan publik adalah kemampuan pribadi tidak lagi berpikir ''aku", tetapi sudah lebih luas dengan memikirkan ''kami atau kita". DPR adalah satu wujud ruang publik, dan sekarang bisa diukur seberapa sering mereka berpikir ''kami atau kita"?

Kian jelas, skandal Bibit-Chandra lebih memosisikan anggota DPR kepada ''aku" ketimbang ''kita". Yang terutama ''aku" harus makmur dulu, baru memikirkan ''kita". Barangkali benak mereka sudah teracuni asumsi bahwa tanpa kemakmuran diri, sulit memikirkan kemakmuran orang banyak!

Tentu saja yang menjadi pertanyaan pertama atas keironian DPR itu adalah adakah manfaatnya bagi rakyat? Bagaimanapun, mereka dipilih rakyat demi perbaikan nasib rakyat kebanyakan, bukan nasib segelintir rakyat atau anggota DPR itu sendiri.

Ingkari Kedaulatan Rakyat

Kenyataannya, anggota DPR cenderung mengingkari kedaulatan rakyat. Hakikat kedaulatan rakyat adalah memberikan mandat kepada politisi untuk menjabat dan memenuhi kewajiban mereka sebagai wakil rakyat. Semestinya mereka bertanggung jawab kepada rakyat yang diwujudkan dengan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri sendiri atau kelompok. Meminjam istilah Soekarno, para anggota DPR seharusnya berperan sebagai ''penyambung lidah rakyat''.

''Penyambung lidah rakyat'' merupakan proyeksi Soekarno. Proyeksi itu muncul dari perasaan dan tugasnya sebagai pemimpin. Dia berperasaan dirinya sebagai rakyat sekaligus dimiliki rakyat. Keterkaitannya justru berbalik, lantaran dia dimiliki rakyat, maka tak ada perbedaan keduanya. Soekarno yang pemimpin hakikatnya juga seperti rakyat kebanyakan. Sebagai pemimpin, Soekarno bertugas mengartikulasikan sesuatu yang justru tidak bisa diartikulasikan oleh rakyat. Kata Soekarno, rakyat adalah saudara-saudaraku yang lidahnya tidak bisa berbicara bagi mereka sendiri. Atas dasar itu, dirinya bertugas merumuskan ide-ide rakyat, mengkristalisasi, dan memadatkannya.

Tampaknya, fungsi ''penyambung lidah rakyat" DPR itu akan diisi Facebookers. Awas, Facebookers siap membantai perilaku penguasa yang menyimpang. Kalau saja kasus Bank Century, misalnya, terus didiamkan, mungkin saja Facebookers yang bakal meributkan. Mereka sekarang sudah punya kekuatan, mereka kini menjelma menjadi people power. (*)

*) Toto Suparto , peneliti di Puskab Jogjakarta
Opini Jawa Pos 5 November 2009