18 November 2009

» Home » Republika » Rekomendasi Tim Delapan

Rekomendasi Tim Delapan

Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Chandra M Hamzah-Bibit Samad Rianto atau Tim Delapan mengakhiri masa tugasnya. Setelah dua pekan melakukan serangkaian verifikasi terhadap fakta-fakta terkait kisruh kasus hukum Chandra-Bibit, Selasa (17/11), Tim Delapan menyampaikan hasil akhir verifikasi kepada presiden. Bahkan, beberapa kalangan meminta rekomendasi tersebut disebarluaskan secara terbuka kepada masyarakat setelah diserahkan kepada presiden. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk akuntabilitas publik.

Rekomendasi ini memiliki nilai strategis dalam kaitan memberikan klarifikasi melalui fakta-fakta mengenai kasus hukum yang menimpa Chandra-Bibit. Seperti diketahui, kasus yang populer dengan sebutan 'Buaya versus Cicak' ini telah menyedot perhatian masyarakat luas sehingga mengarah pada lahirnya distrust atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum dan proses law enforcement di Indonesia.

Arah rekomendasi
Sedikitnya terdapat dua hal yang menjadi fokus kerja Tim Delapan. Pertama, mengungkap fakta hukum. Penyidik menjerat Chandra-Bibit dengan dua tuduhan tindak pidana, yakni pemerasan terhadap Anggodo dan penyalahgunaan wewenang dalam kaitan mencabut pencekalan Anggoro. Untuk kedua hal tersebut, dalam kesimpulan sementara Tim Delapan, dinyatakan bahwa penyidik dinilai tidak memiliki cukup bukti untuk melanjutkan kasus ini dan menjerat keduanya dengan delik pidana.

Untuk kasus pertama, Tim Delapan memandang bukti yang dimiliki penyidik sangat lemah karena fakta penyerahan uang terhenti pada Ary Muladi, dan pada saat yang sama pihak penyidik gagal menunjukkan bukti aliran dana sampai ke pimpinan KPK. Atas dasar ini, penyidik Polri kemudian mengarahkan sasaran pada tuduhan penyalahgunaan wewenang, yang oleh Tim Delapan lagi-lagi dianggap sangat lemah karena pihak penyidik menggunakan 'pasal karet'. Bahkan, dalam konteks kebijakan, langkah Chandra-Bibit yang diklaim sebagai penyalahgunaan wewenang sejatinya lazim dilakukan oleh pimpinan KPK sejak dulu.

Kedua, Tim Delapan mencoba menelusuri dugaan adanya rekayasa kasus hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum, dalam hal ini Polri dan Kejagung. Disinyalisasi terdapat grand design yang dilakukan secara sistematis dan sistemis untuk mengerdilkan KPK, melalui upaya kriminalisasi pimpinan KPK. Dugaan rekayasa ini kian membuncah manakala Mahkamah Konstitusi (MK) memublikasikan rekaman percakapan Anggodo dengan (yang diduga) oknum penegak hukum. Jika ini terbukti, Tim Delapan merekomendasikan pemberian sanksi tegas terhadap aparatur penegak hukum yang melakukan rekayasa tersebut.

Sikap tegas terhadap pelbagai bentuk manipulasi dan rekayasa hukum diharapkan, dapat menjawab skeptisisme atau keraguan masyarakat terhadap prosedur hukum yang dilakukan institusi penegak hukum. Sulit dibayangkan jika terjadi distrust di tengah-tengah masyarakat pencari keadilan terhadap fungsi penegakan hukum di Indonesia. Jika hukum tidak lagi dipercaya dan masyarakat tidak lagi menjadikan hukum sebagai panglima, akan terjadi ironi negara hukum.

Oleh karena itu, ending dari rekomendasi penuntasan kasus Chandra-Bibit secara garis besar diarahkan kepada perlunya penyelenggaraan reformasi institusi penegak hukum, meliputi Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan LPSK, termasuk pemberantasan mafia hukum dan mafia kasus. Kesimpulan ini menunjuk posisi Tim Delapan yang independen dan objektif. Hal ini sejalan dengan kewenangan yang diembannya, yakni melacak fakta-fakta di lapangan sekaligus menyuguhkan tawaran langkah strategis bagi presiden, untuk mengatasi polemik hukum yang kian meresahkan masyarakat ini.

Menanti sikap presiden
Nah, setelah rekomendasi diserahkan kepada presiden, episode berikutnya adalah menanti tindakan presiden. Seperti dinyatakan Adnan Buyung Nasution (15/11) bahwa implementasi dari rekomendasi Tim Delapan sepenuhnya diserahkan kepada presiden. Masyarakat menanti langkah apa yang akan ditempuh presiden. Apa pun keputusan presiden rentan menimbulkan reaksi publik. Presiden harus cermat memilah dan menimbang mana yang paling kecil menimbulkan resistensi.

Namun demikian, banyak pihak berharap kali ini Presiden SBY tidak lagi ragu-ragu dan segera mengambil sikap tegas berdasarkan rekomendasi yang dibuat Tim Delapan, bentukannya. Hal ini mendesak dilakukan agar kasus ini tidak berlarut-larut dan mengganggu stabilitas Nasional. Kali ini SBY benar-benar akan diuji sikap kepemimpinan dan kenegarawanannya.

Faktanya, belum lagi rekomendasi diserahkan kepada presiden, alih-alih terjadi perang urat syaraf antara Tim Delapan vis a vis Polri dan Kejagung. Pandangan Tim Delapan yang meniscayakan penghentian kasus Chandra-Bibit ditampik pihak penyidik (Polri dan Kejagung), seraya bersikukuh melanjutkan kasus dengan dalih alat bukti telah mencukupi dan tidak ada suatu alasan atau faktor apa pun yang dapat menghentikannya, termasuk rekomendasi Tim Delapan.

Sikap ini dinilai terlampau dini dan kurang menghargai fatsun politik, mengingat belum adanya sikap resmi dari presiden. Pernyataan ini dipandang bernuansa pelecehan terhadap presiden yang notabene secara hierarki merupakan atasan Kepala Polri dan Jaksa Agung. Oleh karena itu, pilihan yang paling tepat saat ini adalah menunggu sikap presiden atas dasar rekomendasi Tim Delapan.

Terdapat beberapa kemungkinan langkah yang akan ditempuh presiden dalam kasus ini. Pertama, menerima sepenuhnya rekomendasi yang dibuat Tim Delapan. Jika pilihan ini yang diambil, presiden akan meraih dukungan luas dari masyarakat. Paling tidak, pilihan ini diharapkan dapat kembali mengangkat citra pemerintah dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Kedua, mengabaikan rekomendasi Tim Delapan. Apa pun alasannya, keputusan ini hampir dipastikan akan melahirkan reaksi negatif dan sikap skeptis masyarakat terhadap law enforcement. Jelas, ini tidak menguntungkan bagi keberlangsungan negara hukum yang kita anut. Bahkan, lebih jauh dikhawatirkan akan melahirkan perlawanan rakyat dalam bentuk people power.

Ketiga, kompromi atau jalan tengah. Dalam pengertian, presiden tidak sepenuhnya menerima atau menolak rekomendasi. Dalam hal ini, sejauh presiden mampu menunjukkan iktikad baik dan menawarkan solusi yang tidak melukai rasa keadilan masyarakat, tampaknya pilihan ini bisa menjadi solusi.

Walhasil, kita berharap presiden bersikap bijak dalam menyikapi kasus ini. Kita juga tentu sepakat bahwa inilah momentum terbaik bagi presiden untuk melakukan reformasi hukum pada semua lini. Ke depan, tidak ada lagi konflik atau ketegangan di antara lembaga penegak hukum di Indonesia. Kita menghendaki hukum benar-benar tegak berdiri di negeri ini biar langit runtuh sekalipun.
Oleh: Dr Ahmad Tholabi Kharlie (Lektor Kepala pada Universitas Islam Negeri Jakarta)

Opini Republika 19 November 2009