18 November 2009

» Home » Solo Pos » Belajar reformasi polisi dari negara lain

Belajar reformasi polisi dari negara lain

Dinamika perkembangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua pimpinan nonaktif KPK kini antara lain mengarah pada seruan dilakukannya reformasi di tubuh Polri.
Pengakuan Kapolri bahwa Polri saat ini dalam kondisi tersudut akibat kasus-kasus aktual yang tengah terjadi, harus kita hargai. Namun terlihat ada perilaku unsur di tubuh Polri yang mengesankan mereka seolah-olah ”tidak bisa salah” dan tidak pantas dipersalahkan, juga harus diperhatikan. Salah satunya adalah kasus anggota Brimob Polda Sumatra Selatan, Ervan, yang menuliskan dalam status Facebook-nya bahwa, ”Polri tidak butuh masyarakat, masyarakat yang butuh Polri ...” menunjukkan bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan kepolisian, khususnya dalam bidang pembentukan mental dan kepribadian personel. Masyarakat memang butuh Polri, tapi bukan berarti Polri bisa seenaknya memperlakukan masyarakat.


Pentingnya reformasi ini makin kuat dengan adanya rekomendasi dari Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Bibit-Chandra atau Tim 8 yang antara lain meminta dilakukannya reformasi institusional lembaga penegak hukum di antaranya Polri. Seruan reformasi serupa juga sudah lebih dulu dimunculkan oleh berbagai pihak. Terkait dengan upaya ini, tak ada salahnya kita belajar dari negara-negara lain yang pernah mengalami masalah serupa.
Korupsi dan penyalahgunaan wewenang juga terjadi di lembaga kepolisian negara-negara maju. Namun kondisi itu bisa diperbaiki berkat tindakan cepat pemerintah masing-masing seperti membentuk komisi khusus yang mengidentifikasi permasalahan, kemudian melakukan tindakan dan program pencegahan yang bertahan hingga sekarang.
Salah satunya terjadi di Kota New York, AS. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang sempat merebak di kepolisian kota itu pada dekade 1970-an dan 1980-an disikapi dengan pembentukan dua komisi khusus yaitu Komisi Knapp dan Komisi Mollen yang mengidentifikasi perilaku menyimpang para anggota dan pejabat kepolisian. Selanjutnya komisi itu memberikan solusi untuk mencegah terjadinya penyimpangan itu.
Menarik untuk memperhatikan pendapat Kepala Polisi New York, Patrick V Murphy yang menjadi salah satu penanggung jawab upaya reformasi di lembaganya. Seperti dikutip Tim Newburn, peneliti dari lembaga penelitian kepolisian Kementerian Dalam Negeri Inggris dalam tulisannya Understanding and Preventing Police Corruption: Lessons from the Literature (1999), Murphy menyepakati temuan Komisi Knapp yang menyangkal teori lama bahwa ”institusi kepolisian selalu bersih, yang buruk adalah oknum.”
”Teori apel busuk dalam wadah bersih sudah tak terpakai lagi sekarang. Polisi yang korup tidak terlahir sebagai penjahat atau orang bermoral buruk yang bersikap berbeda dari rekan-rekannya yang jujur. Tugas dari pihak pemberantas korupsi adalah juga memeriksa wadah apel itu, bukan cuma apelnya - organisasinya, bukan cuma personelnya - karena polisi yang korup itu dibentuk, bukan dilahirkan,” tegas Murphy.
Karena itu, upaya reformasi harus didukung penuh oleh lembaga dan personel kepolisian sendiri. Lembaga kepolisian, dalam hal ini Polrzi, juga harus bersedia menerima ”orang luar” yang akan membantu proses reformasi mereka demi menjadi lembaga kepolisian profesional yang sesungguhnya. Keberadaan ”orang luar” ini mau tidak mau harus diterima karena masyarakat sebagai stakeholder atau ”pemegang saham” yang membiayai operasional Polri melalui pajak akan selalu menuntut adanya figur netral yang berperan vital dalam penyusunan dan pelaksanaan strategi reformasi, termasuk dalam upaya pemberantasan aneka praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Kasus Hong Kong
Contoh riil keterlibatan pihak luar institusi kepolisian untuk membantu reformasi itu terjadi di Hong Kong. Di wilayah yang hingga tahun 1997 menjadi koloni Inggris ini pernah terjadi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang sangat luas di kepolisian di era 1960-an dan 1970-an.
Raymond HC Wong, Ketua Komisi Independen Antikorupsi (ICAC) Hong Kong dalam makalahnya yang berjudul Policing the Police: the Challenges (2003), menggambarkan maraknya praktik korupsi di kepolisian Hong Kong. Saking parahnya, salah satu pejabat tingginya kala itu yang berkebangsaan Inggris, Peter Godber, pada 1973 bahkan kabur ke luar negeri saat tengah disidik atas dakwaan korupsi.Harta yang dikumpulkannya dari praktik itu mencapai 4,3 juta dolar Hong Kong atau sekitar Rp 5,1 miliar. Kasus ini memicu aksi demo besar-besaran yang memaksa pemerintah bertindak cepat dan salah satunya dengan membentuk ICAC— KPK-nya Hong Kong.
Seperti diakui Wong, tidak mudah bagi ICAC untuk menjadi ”polisi bagi polisi” karena adanya perlawanan yang cukup kuat dari banyak pejabat kepolisian yang ”tidak rela” hampir tiap hari ada personel polisi yang dipanggil dan diperiksa. Butuh waktu bertahun-tahun sampai antara ICAC dan kepolisian terjalin rasa saling percaya dan kemitraan.
Pihak kepolisian sendiri ikut aktif membersihkan diri dengan membentuk kelompok kerja pencegahan korupsi pada 1982. Kelompok yang dipimpin salah seorang deputi senior kepala polisi antara lain beranggotakan unsur dari ICAC itu bertugas mengidentifikasi bidang-bidang kerja kepolisian yang rawan korupsi dan menghasilkan rekomendasi untuk pencegahannya.
Namun seperti ditegaskan Wong, hasil kerja keras itu baru bisa dinikmati sekarang. Menurut Wong, salah satu survei sebuah organisasi kepemudaan lokal terhadap para anggotanya menunjukkan bahwa kini Hong Kong Police Force sudah menjadi lembaga yang paling tepercaya di antara enam lembaga utama politik dan sosial seperti parlemen dan media. Bahkan menurut dia, Sekjen Interpol Ronald Noble memuji kepolisian Hong Kong lembaga kepolisian paling bersih dan profesional di dunia dan Hong Kong adalah ibukota antikorupsi dunia.
Memang membandingkan skala Hong Kong dengan Indonesia akan terasa kurang adil. Kepolisian Hong Kong hanya beranggotakan sekitar 20.000 personel atau setara dengan personel di Polda Metro Jaya.
Namun contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa dengan kemauan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan kerelaan Polri untuk introspeksi dan kesediaan menjalankan reformasi secara menyeluruh dan riil di segala bidang dan di semua wilayah, akan terbangun citra Polri yang diidam-idamkan. Yaitu sebagai Bhayangkara sejati yang senantiasa menjadi teladan bagi masyarakat seperti tersebut dalam salah satu Tri Brata.
- Oleh : R Bambang Aris S, Wartawan SOLOPOS

Wacana Solopos
19 November 2009