18 November 2009

» Home » Bisnis Indonesia » Menyoal proyek pembangunan jalan raya Perlu sistem terintegrasi yang menghubungkan darat, laut, dan pelabuhan

Menyoal proyek pembangunan jalan raya Perlu sistem terintegrasi yang menghubungkan darat, laut, dan pelabuhan

Pembangunan infrastruktur darat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah selama ini lebih difokuskan ke arah pembentukan jalan-jalan tol baru dan jembatan.

Lihat saja dalam agenda yang dijadwalkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (DPU), dalam 100 hari ke depan, telah dijadwalkan peresmian jalan tol, yakni Tol Bogor Ring Road, Tol Kanci-Pejagan (Jawa Barat-Jawa Tengah), dan Tol Lingkar Luar Jakarta dari Kebon Jeruk menuju Penjaringan. Selain itu beberapa jembatan layang yang berada di Makassar, Medan, dan Cengkareng juga telah siap diresmikan.


Pemerintah, yang diwakili DPU, menyatakan bahwa tantangan ke depan adalah pembangunan jalan-jalan baru yang menghubungkan sentra produksi dengan pelabuhan. Tampak sekali bahwa orientasi pembangunan infrastruktur baru, terutama untuk infrastruktur darat lebih dikaitkan pada usaha pembangunan jalan-jalan baru, terutama jalan-jalan tol. Namun, apakah ini merupakan solusi yang diinginkan oleh pengguna jasa?

Jika kita runut kembali permasalahan utama yang dihadapi kalangan dunia usaha adalah hampir 40% biaya harus dikeluarkan untuk penggunaan transportasi karena minimnya infrastruktur transportasi darat. Sementara itu, infrastruktur transportasi darat yang mengedepankan pembangunan jalan raya ternyata justru memiliki cacat bawaan.

Jika diperhatikan, permasalahan pembentukan jalan-jalan baru selalu terkendala dengan permasalahan pembebasan lahan. Permasalahan klasik ini terjadi karena minimnya anggaran. Di satu sisi, pemerintah pun telah berkomitmen untuk mencegah terjadinya kembali alih fungsi lahan pertanian.

Padahal, upaya pembebasan lahan bersinggungan juga dengan konversi sebagian lahan pertanian. Ini seharusnya menjadi agenda tersendiri bagi pemerintah pada saat mencanangkan kebijakan yang terkoordinasi, tidak tumpang-tindih seperti ini.

Belum lagi soal pengutan liar yang berseliweran di jalan raya, baik itu yang menamakan diri sebagai aparat maupun preman yang menjadi calo jalanan. Selain itu pembangunan jalan raya baru juga dipastikan akan bertentangan dengan komitmen pemerintah terhadap isu lingkungan hidup.

Pasalnya, pembangunan jalan raya akan merangsang pertumbuhan penggunaan kendaraan bermotor baru. Hal itu berarti akan semakin meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan juga polusi udara.

Padahal pembangunan sistem distribusi barang yang baik tidak hanya terkait pembangunan jalan raya baru untuk memfasilitasi pergerakan kendaraan bermotor, tetapi lebih ke arah upaya untuk memperlancar arus pergerakan orang dan barang.

Artinya, pembangunan sistem distribusi yang baik adalah sebuah sistem terintegrasi yang dapat menghubungkan darat, laut, dan pelabuhan dalam satu sistem transportasi modern. Sistem itu nantinya harus pula dilengkapi dengan regulasi yang mendukung.

Alternatif pembangunan

Jika kesadaran baru itu telah terbangun, tidak bisa tidak, alternatif pembangunan infrastruktur transportasi tidak hanya berorientasi pada pembangunan jalan-jalan raya semata tetapi mulai beralih kepada pembangunan rel-rel kereta ganda untuk memperlancar arus barang, jasa ataupun manusia. Ini sejatinya menjadi tujuan utama untuk menghasilkan sistem distribusi yang terintegrasi dan efisien.

Sebenarnya pemerintah secara sadar telah memahami pentingnya sistem distribusi yang terintegrasi dan efisien. Hal ini dapat dibuktikan dengan telah dibuatnya pelabuhan darat (dry port) yang terhubung dengan rel kereta. Jalur kereta itu ditempatkan di kawasan Bandung sebagai tempat persinggahan terakhir barang di kawasan Jawa Barat sebelum akhirnya dikirim menuju pelabuhan.

Namun, dry port tidak dapat difungsikan hanya karena rel yang menghubungkan dry port dengan pelabuhan Tanjung Priok kurang dari 1 km dengan alasan terkendala pembebasan lahan. Padahal lahan yang dibutuhkan tidak seluas bila pemerintah memilih membangun jalan raya baru. Akibatnya, seluruh upaya pembangunan rel menjadi sia-sia.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah tidak mengupayakan berjalannya port tersebut? Mengapa pemerintah tetap mempertahankan paradigma usang dalam membangun infrastruktur transportasi darat dengan mengedepankan pembangunan jalan raya baru?

Dapat dibayangkan, berapa jumlah biaya yang dapat dihemat oleh dunia usaha dengan beroperasinya port ini. Jika itu terjadi berarti dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di mata dunia.

Dapat dipahami juga bahwa dengan ditinggalkannya paradigma usang pembangunan jalan-jalan raya baru, ada beberapa pihak yang akan dirugikan. Sebut saja pengusaha otomotif, pengusaha aspal, pengusaha angkutan barang, pengusaha BBM dan sebagainya.

Namun, perlu dipahami juga besarnya keuntungan dunia usaha secara keseluruhan berupa meningkatnya daya saing produknya dengan pembangunan jalur rel kereta. Pembangunan infrastruktur transportasi darat di luar jalan tol harus menjadi perhatian dan pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru sekarang.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid II ini harus tetap fokus mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan segelintir pemilik modal yang diuntungkan dengan pembangunan jalan raya baru.

Jadi sudah selayaknya, pemerintah berani meninggalkan paradigma usang dalam pembangunan infrastruktur transportasi darat yang mengedepankan pembangunan jalan raya baru. Sudah saatnya pemerintah memfasilitasi infrastruktur transportasi massal berupa pembangunan rel kereta.

Oleh Lena Herliana
Peneliti ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia

Opini Bisnis Indonesia 19 November 2009