18 November 2009

» Home » Seputar Indonesia » Mafia dan Penegakan Hukum

Mafia dan Penegakan Hukum

Aparat penegak hukum– Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)–tengah diperbincangkan begitu banyak orang.

Kondisi seperti ini belum pernah terjadi. Eskalasi perbincangan terjadi terutama sejak timbulnya ketegangan antara pimpinan KPK dan Markas Besar (Mabes) Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) serta aksi dukung-mendukung yang melibatkan banyak pihak. Kekisruhan itu membawa publik untuk membuka kembali ingatan mereka mengenai “mafia peradilan”.



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun merasa perlu menyatakan prioritas program 100 hari pemerintah adalah “memberantas mafia hukum” setelah pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Bibit-Chandra atau dikenal sebagai Tim Delapan. Itulah ingatan publik dan pengakuan pemerintah atas citra aparat penegak hukum yang ditampilkan oleh sikap dan perilaku para pimpinannya.Akibatnya, mereka pun menyeret institusi masingmasing semakin terpuruk.

Maraknya Mafia

Jika kita menyebut “mafia peradilan” atau mafia hukum,yang dimaksud pertama-tama adalah orang-orang yang melekat dalam aparat penegak hukum dan pengadilan. Mereka mempunyai wewenang untuk menangkap,menahan, menuntut,menyidangkan dan memutuskan perkara, serta melemparkan terdakwa ke penjara.

Karena itu, mereka bukanlah kelompok swasta (non-state) sebagai gangsterkejam yang melakukan perbuatan melawan hukum seperti pencucian uang, penggelapan pajak, perampokan bersenjata, perdagangan senjata api dan narkoba, bahkan pembunuhan terhadap pengkhianat atau pesaingnya. Demi menikmati kekebalan hukum (immunity) atau terbebas dari proses hukum (impunity),para gangsteritu menyogok polisi,jaksa, dan hakim maupun petugas keuangan dan pajak sehingga mereka menjadi orang-orang ”tak tersentuh”( untouchable).

Sebaliknya,“mafia peradilan” bersumber dari orang-orang yang berwenang yang melakukan penyelewengan (abuse of power) untuk melawan hukum dengan memeras, atau karena telah menjadi kebiasaan mereka menikmati uang sogokan dari tersangka dan terdakwa. Untuk kasus perdata menikmati dari tergugat atau penggugat. Tak hanya mendapat gaji dari anggaran negara, mereka juga menikmati penghasilan dari olah kasus atau perkara karena penyelewengan. Pemerasan dan penyogokan inilah “lahan basah”pemupukan kekayaan pribadi dari penyelewengan para petugas penegak hukum dan hakim.

Terus beroperasinya “mafia peradilan” itu pula yang “memaksa” pemerintah dan DPR menghasilkan UU dan pembentukan KPK. Namun, pembentukan lembaga baru ini telah memotong “lahan basah”kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi di atas Rp1 miliar. Apalagi UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah disahkan. Kita dibikin bertanya-tanya,bagaimana Ketua KPK Antasari Azhar, mantan Kapolres Jakarta Selatan Williardi Wizar, dan pengusaha Sigit Haryo Wibisono dapat disangka terlibat pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen tanpa jelas motifnya?

Gonjang-ganjing tak terelakkan ketika dua orang pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, disangka memeras dan menyalahgunakan wewenang. Selain dukungan publik pada KPK,Presiden pun membentuk Tim Delapan. Namun, rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan beberapa pejabat Kejagung dan menyebut pejabat Polri, telah menguak tabir dan membuat terang benderang belang mafia. Sementara itu, Williardi bersaksi di Pengadilan Jakarta Selatan.Tapi yang cukup mengejutkan adalah dia berani mencabut pernyataannya dalam berita acara pem e r i k s a a n (BAP) Polda Metro Jaya,bahkan menuding pimpinan Polri menjerat Antasari.

Tahun lalu Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI K e j a k s a a n Agung Urip Tri Gunawan tersandung jerat hukum. Dia tertangkap tangan menerima uang sogokan Rp6,1 miliar di rumah pengusaha Sjamsul Nursalim. Kemudian publik dihebohkan oleh kasus yang menimpa Prita Mulyasari dilaporkan melakukan “pencemaran nama baik” dan sempat mendekam dalam tahanan karena dijerat UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),tapi akhirnya terkuak dugaan bahwa para pejabat dan pegawai kejaksaan menikmati fasilitas RS Omni International. Publik pun kian geram.

Pembenahan Serius

Penggalan kasus-kasus itu bersumber dari korupsi.Penyelewengan telah memanen “lahan basah” pada setiap lembaga penegak hukum, mungkin juga KPK.Terkuaknya berbagai borok aparat penegak hukum seharusnya dapat diambil tindakan segera dan pembenahan serius. Jika benar pemerintah memprioritaskan program 100 hari untuk “memberantas mafia hukum”, mereka yang berperan memerosotkan citra dan kredibilitas penegak hukum perlu dibersihkan.

Selain perlu menemukan cara untuk menutup celah penyelewengan dalam penanganan kasus atau perkara. Dukungan politik terhadap KPK jelas sangat penting jika yang diharapkan adalah membasmi korupsi sebagai bagian dari gerakan publik. Namun, perilaku pejabat dan kinerja KPK perlu dipantau. Apalagi UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah disahkan dan Pengadilan Tipikor segera berlangsung di daerah-daerah.

Intinya adalah bagaimana mengubah ungkapan “kasih uang habis perkara” (KUHP) menjadi “kasih uang habislah Anda di pengadilan”( KUHAP).(*)

Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

Opini Seputar Indonesia 19 November 2009