30 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Menyigi Akar Masalah Century

Menyigi Akar Masalah Century

AKHIRNYA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil audit tentang masalah pemberian bantuan pemerintah terhadap Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Menurut hasil audit badan itu, ada indikasi penyelewengan dana kurang lebih Rp 3,4 triliun dari dana  Rp 6,7 triliun tersebut. Pemerintah dan BI juga telah menyampaikan klarifikasi terhadap hasil audit tersebut.


Namun penelusuran terhadap akar masalah Bank Century khususnya dan bank-bank lain yang sedang dan akan terjadi serta bagaimana langkah seharusnya yang ditempuh tetap penting dilakukan agar kejadian serupa kasus Bank Century tak terulang.

Akar masalah perbankan di Indonesia pertama-tama bisa ditelusuri dari kebijakan umum tentang perbankan. Arah kebijakan perbankan tersebut adalah liberalisasi. Tonggak dari liberalisasi perbankan di Indonesia adalah dua kebijakan liberalisasi  yang monumental yaitu liberalisasi perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Oktober 1988 (ada yang menyebut Pakto 1988).

Kebijakan Liberalisasi I Juni 1983 antara lain membebaskan bank untuk menentukan suku bunga, baik suku bunga kredit maupun simpanan. Sebelumnya baik suku bunga simpanan maupun kredit ditentukan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Akibatnya bank-bank berlomba-lomba menawarkan suku bunga simpanan yang tinggi disertai berbagai macam iming-iming hadiah dan suku bunga kredit yang menarik tanpa mempertimbangkan kesehatan usahanya.

Sedangkan Paket Oktober 1988 melonggarkan syarat-syarat pendirian sebuah bank antara lain syarat minimal modal disetor yang sangat rendah. Tampaknya kebijakan ini tidak dipikirkan secara matang tentang masalah potensial yang akan timbul.

Akibatnya karena saking mudahnya orang mendirikan bank maka ada gurauan di tengah masyarakat waktu itu bahwa tukang kelontong pun bisa mendirikan bank. Akibat lebih lanjut adalah berdirinya banyak sekali bank, bahkan Indonesia waktu itu disebut negara yang terbanyak jumlah banknya, tetapi tidak diikuti dengan tingkat kesehatan bank yang baik. Maka setelah itu banyak bank-bank yang tutup dan beberapa diambil alih atau dibantu oleh pemerintah.

Setelah dua kebijakan yang monumental dan liberal tersebut yang ternyata menimbulkan berbagai masalah maka BI berusaha kembali memperketat aturan agar kondisi perbankan  sehat. Kebijakan yang terbaru adalah ditetapkannya cetak biru kebijakan perbankan yang disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Tetapi di samping banyak kebijakan pengendalian - termasuk API - yang belum dilaksanakan, kebijakan-kebijakan pengendalian yang sudah dilaksanakan untuk mengerem dampak negatif dari kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 pun tak sepenuhnya berhasil. Karena tampaknya sudah telanjur bahwa dampak negatif Kebijakan 1 Juni 1983 dan Pakto 1988 berlari lebih cepat dari kebijakan untuk menanggulanginya. Bisa diibaratkan BI seperti berlari mengejar layang-layang putus.

Akar kedua dari berbagai masalah perbankan di Indonesia adalah sifat industri perbankan sendiri yang rentan terhadap penyelewengan dan gejolak ekonomi serta keuangan. Beberapa sifat tersebut adalah: pertama, bank merupakan perantara antara mereka yang kelebihan dana dan disimpan dan mereka yang membutuhkan dana atau debitur. Jadi sebenarnya bank tidak mengelola modal atau uangnya sendiri.

Oleh karena itu dalam industri perbankan ketentuan internasional (yang ditetapkan oleh Bank for International Settlement atau BIS) untuk rasio modal sendiri terhadap total modal atau dikenal dengan capital adequacy ratio (CAR) hanya 8 persen. Angka 8 persen artinya bank cukup punya modal sendiri 8 persen dari total modal yang disetor. Akibatnya begitu ada rumor atau masalah ekonomi yang menyebabkan deposan menarik uangnya secara beramai-ramai maka bank akan mengalami kesulitan.

Kedua, industri perbankan adalah industri kepercayaan. Artinya unsur kepercayaan baik dari deposan (yang menyimpan uang) maupun dari debitur (yang meminjam uang) sangat penting. Sekali kepercayaan terhadap sebuah bank luntur, akan sangat sulit untuk memulihkannya kembali dan hal tersebut akan merembet pada bank-bank lainnya.
Menarik Dananya Kita masih ingat ketika awal krisis tahun 1997 waktu itu banyak deposan yang menarik dananya dari bank dan memilih menyimpan uangnya di kotak penyimpanan uang atau safe deposit box. Banyak bank yang waktu itu mengalami kesulitan likuiditas sehingga mencoba ”merayu” deposan dengan meningkatkan suku bunga simpanannya. Rata-rata waktu itu suku bunga simpanan sampai mencapai 60 persen. Tetapi tampaknya meskipun dirayu dengan suku bunga tinggi tingkat kepercayaan deposan tidak begitu saja pulih. Deposan- waktu itu - tidak juga mau mengembalikan dana yang disimpannya di kotak penyimpanan uang ke rekening tabungan di bank. Baru setelah pemerintah mengumumkan akan menjamin simpanan di bank lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maka kepercyaan deposan kembali pulih.

Ketiga, bisnis perbankan adalah bisnis yang secara langsung bersentuhan dengan uang. Maka hal tersebut akan memancing tindakan-tindakan kejahatan dari berbagai pihak untuk menyelewengkan uang bank untuk kepentingan pribadi. Akar ketiga dari masalah perbankan di Indonesia adalah lemahnya pengawasan oleh BI terhadap bank umum. Dalam kasus Bank Century, hasil audit BPK mengungkapkan bahwa pengawasan BI terhadap  Century sangatlah lemah.

Lemahnya pengawasan terlihat dalam beberapa hal: pertama,  Century sebenarnya merupakan bank hasil merger dari beberapa bank yang kurang sehat yaitu Bank Danpac, Bank Piko, dan Bank CIC. Setelah merger, mestinya BI mengawasi secara ketat  Century karena sejak awal merupakan gabungan bank-bank yang kurang sehat tetapi tampaknya itu tidak dilakukan.

Kedua, mestinya BI juga menerapkan secara ketat fit and proper test kepada mereka yang duduk di manajemen  Century. Tetapi tampaknya hal tersebut juga tidak dilakukan. Hat tersebut terbukti dari berbagai tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh pihak manajemen Century antara lain: pemberian kredit tanpa prosedur yang benar, penerbitan L/C fiktif, penggunaan uang nasabah untuk investasi di usaha dan surat berharga yang buruk, penggelapan uang nasabah, dan lain-lain.

Ketiga, dari hasil audit BPK juga terungkap bahwa Century selama periode tahun 2005 - 2008 telah melakukan pelanggaran berbagai ketentuan perbankan tetapi tidak mendapatkan sanksi atau teguran dari BI.

Lemahnya pengawasan BI ini ada yang menyatakan karena BI ”terpecah” tuganya yaitu antara tugas utama menjaga stabilitas nilai rupiah (dalam arti inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil) dengan tugas tambahan yaitu mengawasi perbankan. Pernah ada wacana bidang pengawasan bank diserahkan ke badan bernama Otoritas Jasa Keuangan yang sampai sekarang belum didirikan.
Aturan Bail Out Akar keempat dari masalah perbankan pada umumnya dan Bank Century pada khususnya adalah belum jelasnya aturan tentang talangan bagi bank yang bangkrut (bail out). Dalam pertimbangan untuk membantu Century, baik BI maupun pemerintah bersikukuh bahwa bangkrutnya Century sifatnya sistemik, artinya jika tidak dibantu maka akan menyeret sekitar 23 bank lain.

Tetapi tidak pernah dijelaskan apa kriteria sistemik dalam kasus tersebut. Tampaknya kriteria sistemik - yang merupakan salah satu bagian dari UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang sekarang digodok DPR - merupakan salah satu bagian krusial sehingga UU tersebut belum disahkan.
Implikasi Pertama, bagaimanapun perbankan harus diatur secara ketat karena liberalisasi terbukti berdampak negatif dan sifat-sifat bank yang rentan gejolak dan penyelewengan. Maka API harus segera dilaksanakan.

Kedua, segera bentuk lembaga OJK dan serahi tugas untuk mengawasi bank sehingga pengawasan akan lebih efektif. Ketiga, kriteria dampak sistemik bangkrutnya sebuah bank perlu diperjelas dalam UU JPSK sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.(10)

— Nugroho SBM, staf pengajar FE Undip dan peneliti pada Pusat Studi Dampak Kebijakan atau Regulatory Impact Assessment (RIA) Center Undip
Wacana Suara Merdeka 1 Desember 2009