30 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Masih Perlukah Memaksakan UN

Masih Perlukah Memaksakan UN

Realitas ini tentu sangat memprihatinkan apalagi di dunia pendidikan yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Faktanya pelaksanaan UN tahun 2008-2009 kemarin juga masih ditemukan 33 sekolah yang melakukan kecurangan.

PELAKSANAAN ujian nasional (UN) sejak awal memang  menuai kontroversi. Kini seolah-oleh menemukan antiklimaksnya ketika pada  14 September 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008. Dalam isi putusan ini,  tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. Dengan demikian MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas.

Sebagaimana diketahui, perjuangan panjang sebagian warga negara yang melakukan gugatan atas pelaksanaan UN 2006 menuai hasil mengembirakan. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan warga Negara  (citizen lawsuit) terkait pelaksanaan UN menyebutkan, pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang pelakanaan UN supaya bisa melindungi dan memenuhi hak anak sebagai warga negaranya. Pemerintah juga diminta untuk memenuhi terlebih dahulu upaya peningkatan kualitas guru, sarana, dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah untuk melaksanaan UN.

Ditambahkan pula, majelis hakim dalam pertimbangannya juga menyarankan agar pemerintah bersedia  berembuk dengan ahli pendidikan dan masyarakat untuk bisa mengevaluasi pelaksanaan ujian supaya bisa berjalan lebih baik. Menyikapi putusan ini, pemerintah kemudian mengajukan kasasi ke MA, karena pemerintah memandang pelaksanaan UN merupakan amanat PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pemerintah juga memandang bahwa pelaksanaan UN bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Fundamental Value Tentu kita bisa memahami maksud pemerintah mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan sehingga perlu pula dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), termasuk menerbitkan PP Nomor 19 Tahun 2005. Namun yang perlu dicatat adalah secara faktual terjadi kesenjangan mutu yang sangat menganga antarsekolah. Kesenjangan ini terkait dengan banyak hal, seperti ketersediaan sarana prasarana yang memadai, ketersediaan guru  berkualitas, partisipasi aktif masyarakat, produk kebijakan di tingkat daerah, dan sebagainya.

Belum lagi pada dataran teknis pelaksanaan UN masih perlu memerhatikan fundamental value. Pernyataan ekstremnya, untuk apa nilai rata-rata UN 10 jika pada prosesnya harus menanggalkan nilai-nilai kejujuran. Pelaksanaan UN di beberapa daerah masih cenderung mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab.

Dalam pengamatan penulis secara random, banyak sekolah (tentu saja juga orang tua siswa) yang paranoid dan sangat khawatir siswanya tidak lulus ujian dengan persentase tinggi. Ujian itu layaknya  îpalu sidangî yang akan dijatuhkan untuk memvonis apakah seorang siswa dianggap pandai sehingga layak  memperoleh predikat lulus, atau sebaliknya. 

Mengingat hasil unian ini berimplikasi pula pada eksistensi dan kredibilitas sekolah, setelah ditelisik lebih jauh ternyata paranoia ini tidak saja mengidap sekolah dan orang tua siswa, namun pemerintah daerah juga merasa perlu dan berkepentingan îmenjaga mukaî terkait pengelolaan pendidikan di wilayahnya. Selanjutnya sudah bisa ditebak, kebijakan apa yang kemudian diambil oleh pemerintah daerah terkait sukses UN ini.

Realitas ini tentu sangat memprihatinkan apalagi di dunia pendidikan yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Tapi apa mau dikata, faktanya pelaksanaan UN tahun 2008-2009 kemarin juga masih ditemukan sejumlah 33 sekolah yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaannya.
Masih segar dalam ingatan kita terhadap sekelompok guru yang menamakan dirinya Komunitas Air Mata Guru. Sebuah kelompok guru yang meskipun pahit telah berani mengikuti  nuraninya sebagai seorang pendidik, untuk melaporkan berbagai macam tindakan kecurangan dalam pelaksanaan ujian pada sekolah mereka di Medan dan daerah sekitarnya. Sayangnya, keberanian mereka mengungkap kecurangan ini menuai intimidasi. Mereka dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya hingga diberhentikan.

Sikap Depdiknas pun setali tiga uang. Alih-alih melindungi para guru tersebut malah ikut menyudutkan mereka. Padahal dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak memperoleh perlindungan atau memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Jangan Dipaksakan Demikianlah fakta yang sudah telanjang diketahui masyarakat terkait pelaksanaan UN dalam beberapa tahun belakangan ini. Sekali lagi, kita bisa mengerti ketika pemerintah menilai bahwa ujian tersebut bisa meningkatkan motivasi belajar. Namun sayangnya, motivasi itu muncul hanya di akhir tahun ajaran menjelang ujian, bukan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Inilah yang diprotes oleh pemerhati pendidikan Arief Rahman, ”Apakah proses pembelajaran seperti itu, di mana siswa merasa terpaksa giat belajar hanya karena takut tidak lulus UN yang ingin dibanggakan pemerintah dari kebijakan ujian itu? Kebijakan pemerintah tentang ujian ini memang perlu ditinjau ulang supaya bisa dilaksanakan secara benar,” ujarnya.

Di sisi lain, Komisi X DPR RI pun berulang kali mendesak pemerintah agar mengevaluasi pelaksanaan ujian yang terus saja menuai kontroversi. Melihat aspirasi kuat yang berkembang di masyarakat dalam menolak, ditambah putusan PN atas gugutan warga negara tersebut, serta dikuatkan melalui putusan kasasi MA, tidak pada tempatnya jika pemerintah terus memaksakan diri melaksanakan ujian itu sebagai penentu kelulusan siswa.

UN, sekali lagi bukan variabel dominan dalam mendongkrak mutu pendidikan. Jauh lebih dominan dari itu adalah peningkatan kualitas guru, sarana prasarana, pengembangan kurikulum, dan kemudahan warga negara untuk memperoleh hak didik sebagaimana di atur dalam UU dengan biaya yang sangat terjangkau.

Karena itu, sudah seharusnya pemerintah menihilkan kepentingan politik dalam urusan UN ini. Pendidikan bukanlah proses uji coba layaknya penelitian di laboratorium yang benar dan salahnnya memiliki probablitas berimbang. Akan tetapi pendidikan merupakan proses pendewasaan hakiki seorang manusia agar dia mampu mewujud menjadi îmanusia seutuhnyaî (insan kamil, dalam terminologi agama).

Karena yang dituju adalah perwujudan menjadi manusia seutuhnya,  sangat tidak layak jika keberhasilan pendidikan hanya diukur secara parsial dari tingginya nilai kognitif. Mencermati sejumlah pertimbangan terkait substansi nilai pendidikan, aspirasi masyarakat, terjadinya sejumlah kecurangan, sikap resmi DPR, dan terakhir dikuatkan dengan putusan lembaga peradilan tertinggi yang menolak pelaksanaan UN, pertanyannya, masihkah pemerintah bersikukuh memaksakan pelaksanakaannya?

Tentu kita sangat berharap pemerintah bisa secara arif mengambil kebijakan yang tidak merugikan masyarakat, apalagi aspek pendidikan yang sangat vital dalam proses membangun kualitas bangsa. Harapan ini seiring dengan terselesaikannya sejumlah permasalahan pendidikan, seperti pemenuhan sarana prasarana yang memadai, tercukupinya kebutuhan guru yang profesional, dan sejumlah permasalahan lain yang selama ini mengemuka dan belum terselesaikan. Akhirnya, kita juga berharap pemerintah tidak lagi salah langkah dalam mengambil kebijakan pendidikan sehingga tercapai harapan kualitas  yang selama ini dicita-citakan.(10)

— Nuridin SAg MPd, dosen Fakultas Bahasa Unissula, Ketua II Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah YBWSA
Wacana Suara Merdeka, 1 Desember 2009