30 November 2009

» Home » Republika » Kekuasaan dan Kekerasan di Mindanao

Kekuasaan dan Kekerasan di Mindanao

Oleh Siti Sarah Muwahidah
(Peneliti pada MAARIF Institute for Culture and Humanity)

Senin sore 23 November 2009, saya sedang menghadiri pameran foto yang diadakan organisasi jurnalis pro perdamaian Mindanao (PECOJON: The Peace and Conflict Journalism Network). Acara ini merupakan awal dari rangkaian acara Week of Peace di Zamboanga City yang bertema  Think Mindanao, Feel Mindanao and Bring Peace to Mindanao .

Menurut rencana, acara pameran  dilanjutkan dengan diskusi, dan diperkirakan selesai pukul 20.00 waktu setempat. Tetapi di tengah-tengah acara, mendadak seluruh jurnalis telah menghilang dari ruangan. Mereka tergesa pergi untuk mencari tahu kebenaran kabar buruk yang menimpa kawan-kawan sesama jurnalis di Manguindanao. Sugguh ironis, awal minggu damai yang seharusnya menumbuhkan harapan, terguncang oleh pembantaian di provinsi tersebut. Inikah yang dinamakan  Feel Mindanao ?

Walaupun kekerasan hampir menjadi rutinitas di Mindanao, pembantaian yang memakan korban lebih dari 55 jiwa itu tercatat sebagai peristiwa kekerasan terburuk yang terkait dengan pemilu. Beberapa mayat menunjukkan tanda-tanda kekerasan fisik, pemerkosaan, juga mutilasi. Beberapa tubuh juga ditemukan dalam bangkai mobil-mobil yang ikut dikubur. Korban pembantaian didominasi oleh perempuan dan wartawan.

Rombongan bermobil yang terdiri atas sejumlah perempuan anggota klan Mangdudatu, pengacara, dan wartawan tersebut bertujuan mengantar Genalyn, istri Esmael Mangdudatu (wakil wali kota Buluan), untuk mendaftarkan suaminya dalam pemilihan gubernur Manguindanao yang akan datang. Esmael Mangdudatu berencana mencalonkan diri, walaupun telah tersiar kabar bahwa gubernur Maguindanao yang telah menjabat selama tiga  periode pemerintahan terakhir, Andal Ampatuan, menginginkan salah satu anaknya, Andal Ampatuan Jr. sebagai penggantinya. Kompetisi politik ini diduga kuat menjadi motif utama pembunuhan massal di pagi kelabu itu.

Klan Ampatuan merupakan klan yang paling berkuasa di Mindanao saat ini. Beberapa posisi strategis dan pimpinan pemerintahan beberapa kota di Mindanao diduduki oleh anggota keluarga besar Ampatuan. Bahkan, Zaldy Ampatuan, salah satu putra Andal Ampatuan merupakan Gubernur ARMM (Autonomous Region of Muslim Mindanao) sejak 2005. Selama ini tidak ada politikus yang berani berkompetisi dengan keluarga ini, karena klan Ampatuan dikenal sering melakukan intimidasi dan tak segan membunuh demi mempertahankan dan memperluas kerajaan politik mereka.

Klan Ampatuan mulai menyebarkan jaring-jaring kekuasaannya di Mindanao sekitar tahun 2000. Walaupun pusat kekuasaan mereka ada di Provinsi Maguidanao, pengaruh Ampatuan menyebar dari Lanao del Sur sampai Tawi-Tawi. Lemahnya  law enforcement di Filipina memberikan kesempatan merajalelanya kekuasaan klan Ampatuan. Sementara itu, Presiden Filipina, Gloria M. Arroyo, dituding sebagai  supporter terkuat klan ini.

Andal Ampatuan Sr, patriakh klan Ampatuan, merupakan mantan pimpinan paramiliter yang propemerintah. Komitmennya dalam memerangi kelompok separatis Muslim telah membuat pemerintah dengan senang hati menyerahkan tampuk kekuasaan ARMM terhadap klan tersebut. Keluarga ini juga dikenal merupakan kunci sukses Arroyo dalam memenangi pemilunya yang kedua tahun 2004.  Perkongsian politik di antara mereka diduga keras merupakan alasan di balik sikap lunak pemerintah terhadap perekrutan  private army keluarga tersebut yang diduga mencapai 500 orang. Pasukan pribadi tersebut dipersenjatai dan dibiayai oleh uang pemerintah, uang rakyat.

Pertarungan politik dan perselisihan antarkeluarga bukan hal yang baru di Filipina, terutama di Mindanao. Maraknya kepemilikan senjata api dan lemahnya penegakan hukum ditambah dengan  banyaknya tentara sewaan membuat pertarungan politik menjadi makin sulit dikontrol. Pendeknya, perseteruan politik selalu berkait kelindan dengan  culture of violence yang telah mengurat akar di Mindanao. Ketidakpercayaan terhadap keadilan hukum positif membuat pertikaian antarkeluarga atau antarsuku sering diakhiri dengan rangkaian kekerasan dan pembunuhan yang umum disebut 'rido'.

Korban umumnya terbatas pada anggota klan yang bertikai, tetapi dalam beberapa kasus besar, rido juga membahayakan dan kadang memakan korban masyarakat tak berdosa di sekitar mereka. Rido bisa dipicu oleh masalah kecil seperti cinta segitiga dan sengketa properti. Sementara rido yang disebabkan oleh perselisihan politik bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kedua belah pihak baru akan berhenti saling serang setelah merasa kerugian keluarga mereka telah terbayar dengan seimbang.

Pembantaian di Maguindanao beberapa waktu lalu bukanlah bagian dari rido. Sentimen agama juga tidak terdapat di sana karena kedua klan mengklaim dirinya sebagai Muslim. Sejauh ini Ismael Mangdudatu, dari pihak korban, telah menyatakan bahwa dia akan mempercayakan penanganan kasus ini pada pemerintah. Tetapi, tampaknya jika pemerintah Filipina tidak bergerak dengan cepat dan memastikan penegakan hukum yang adil, kemunculan rido tidak akan bisa dicegah karena keluarga korban akan mengklaim pembalasan. Hal ini tentu akan memperburuk masalah dan berdampak negatif bagi masyarakat luas.

Rido bukan hanya menimbukan korban jiwa, tetapi juga kerusakan rumah, lahan pertanian, dan fasilitas publik. Riset The Asian Foundation pada 2007 tentang Rido menunjukkan bahwa pertikaian dan rentetan kekerasan selama Rido mempengaruhi mandeknya pembangunan kesejahteraan masyarakat di sekeliling keluarga yang bertikai. 

Saat ini seluruh masyarakat Filipina mengawasi langkah pemerintah dalam menyelesaikan kasus pembantaian Maguindanao. Kasus ini merupakan tes besar bagi Arroyo, apakah ia masih akan memprioritaskan aliansi politik dibanding penegakan keadilan. Tekanan bagi Arroyo makin intens karena kecaman telah datang dari berbagai organisasi internasional, termasuk PBB dan Uni Eropa.

Mayoritas masyarakat Mindanao berharap bahwa tragedi berdarah ini bisa menjadi akhir kekuasaan klan Ampatuan di wilayah ini. Sudah terlalu banyak korupsi dan kekerasan yang mereka lakukan selama memimpin pemerintahan. Rumah-rumah besar klan Ampatuan terlihat ironis di tengah permukiman penduduk di provinsi termiskin di Mindanao ini.

Penegakan hukum yang adil, ditindaknya politikus yang korup dan penolakan tegas terhadap kekerasan tentunya akan berkontribusi positif terhadap perdamaian dan pembangunan di Mindanao. Tanpa adanya ketiga hal tersebut gerakan-gerakan penebar perdamaian di kepulauan ini terasa berjalan sangat lambat.

Opini Republikas 1 Desember 2009