30 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Memimpikan Majenang Jadi Pemkot

Memimpikan Majenang Jadi Pemkot

Majenang adalah sebuah kota kecamatan yang dulunya merupakan eks-kawedanan. Majenang terletak di jalur nasional yang sangat strategis, yakni jalur perbatasan Jateng-Jabar bagian selatan. Pada masa lalu, keadaannya hampir sama dengan Banjarpatroman, sebuah kota paling timur Provinsi Jabar.

Setelah Banjarpatroman menjadi daerah otonom mandiri dan berstatus sebagai pemerinta kota, keadaannya mulai jauh berbeda. Banjar menjadi kota mungil, bersih, tertata rapi, dengan fasilitas umum memadai, jauh meninggalkan Majenang.

Jika Majenang ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom, misalnya pemkot atau pemkab maka bisa tumbuh sejajar dengan kota tetangganya tadi. Bahkan tidak mustahil keduanya menjadi kota kembar.

Sebaliknya, jika tidak ditingkatkan statusnya, Majenang dan kecamatan-kecamatan sekitarnya hanya akan menjadi objek pasar Pemkot Banjar.

Kesejahteraan masyarakatnya pun akan semakin tertinggal dibanding daerah lain yang telah dimekarkan.

Berbicara Majenang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi kecamatan-kecamatan di sekitarnya, yakni Dayeuhluhur, Karangpucung, Wanareja, Cimanggu, dan Cipari (Damangkawaguci).

Masyarakat Damangkawaguci sudah terbiasa menyebut Majenang sebagai identitas asal-usul ketika berada di luar daerah. Warga Karangpucung, yang tinggal di Jakarta  mengaku sebagai orang Majenang.

Warga Cimanggu yang berjualan sayuran di Bogor juga akan mengaku  dari Majenang. Hal senada  diungkapkan warga Damangkawaguci lain yang tinggal di luar kota.

Penyebutan nama Majenang oleh masyarakat Damangkawaguci sudah berlangsung turun-temurun sejak jaman baheula dan menjadi kebiasaan hingga kini.

Perkumpulan pelajar dan mahasiswa kedaerahan yang eksis di kota-kota besar menggunakan kata Majenang dalam nama perkumpulannya.

Di Jakarta, ada Himpunan Warga Majenang (Hiwama) yang anggota dan kepengurusannya berasal dari Damangkawaguci.
Berdasarkan fakta itu, sebutan Majenang bukan hanya milik orang Kecamatan Majenang saja tetapi sudah jadi milik warga Damangkawaguci.

Beberapa pelayanan publik yang sebelumnya masih dilakukan di Cilacap, sekarang sudah  dilaksanakan di Majenang, untuk masyarakat di 10 kecamatan di Cilacap bagian barat.

Di antaranya pembayaran pajak kendaraan bermotor (samsat), yang tahun 2008 menghasilkan Rp 24,6 miliar, tahun 2009 diprediksi Rp 26 miliar. Pelayanan kesehatan RSUD yang tahun 2008 menghasilkan Rp 6,6 miliar, 2009 diprediksi menjadi Rp 9,6 miliar.

Pelimpahan peran pelayanan publik oleh Pemkab Cilacap ke Majenang diikuti oleh pihak swasta yang mengembangkan usahanya di wilayah ini.

Jasa-jasa perdagangan restoran, supermarket, industri pengolahan kayu tersebar di jalan negara dari Karangpucug sampai perbatasan Jateng-Jabar.
Pertimbangan Pemilihan lokasi untuk berbagai bidang itu bukan tanpa alasan. Kemudahan akses dan kelancaran mobilitas, serta prospek yang baik dalam pertumbuhan perekonomian menjadi pertimbangannya.

Mengapa Kabupaten Cilacap yang merupakan kabupaten terluas di Jawa ”enggan” memekarkan dirinya? Padahal bila dilihat dari luas wilayahnya sangat dimungkinkan untuk mekar, tidak hanya menjadi dua, bahkan bisa tiga.

Ada dua opsi untuk pemekaran Cilacap bagian barat, yakni:
Enam kecamatan yang asalnya dari wilayah Damangkawaguci. Luas wilayah dan jumlah penduduk sudah mencukupi.

Di kawasan inilah potensi sumber daya alam tidak terbaharukan cukup memadai. Potensi alam di kawasan ini terdiri atas kawasan dataran rendah, sedang, dan tinggi/ pegunungan.

Masing-masing memiliki keunggulan komparatif yang saling bersinergi. Daerah otonom baru dengan enam kecamatan ini paling sesuai untuk mencapai kesejahteraan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Lalu, 10 kecamatan, yakni sebagian dari Damangkawaguci plus Sidareja, Kedungreja, Patimuan, dan Gandrungmangu. Wilayah itu memiliki kode wilayah interlokal Majenang (0282).

Dalam hal urusan pajak kendaraan bermotor, Pengadilan Agama, hingga perbankan semuanya merujuk di Majenang. Dengan demikian tidak diragukan lagi Majenang sebagai calon ibu kota kabupaten. Terlebih Sidareja sebagai daerah langganan banjir dan hanya akan menciptakan kota buntu seperti Cilacap.

Masyarakat juga harus diberi kesempatan ikut mengawasi jalannya studi kelayakan. Studi itu harus dilaksanakan oleh pihak berkompeten, dan jangan sampai ada kebohongan publik dan ilmiah. Data yang disajikan harus terukur dengan parameter jelas dan metode shahih. (10)

-- Ir Unang Kusnanto, Ketua Koalisi Masyarakat Peduli Pemekaran Kabupaten (Kompak)
Wacana Suara Merdeka 1 Desember 2009