23 Oktober 2009

» Home » Republika » Transformasi Spiritual Ibadah Haji

Transformasi Spiritual Ibadah Haji

Tidak terasa bahwa umat Islam akan segera memasuki bulan Dzulhijjah, di mana pada bulan ini umat Islam yang mampu secara materi (sehat jasmani dan rohani) berlomba-lomba menunaikan ibadah haji. Ibadah haji adalah puncak keberislaman seseorang. Ibadah haji yang ditempatkan dalam urutan terakhir dari lima rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa) disyariatkan sebagai penyempurna bagi keberagamaan seseorang.
Hanya saja, berbeda dengan ibadah  mahdhah yang lain, haji tidak bisa ditunaikan oleh setiap Muslim. Untuk melaksanakan ibadah haji, seorang Muslim dipersyaratkan memiliki kemampuan, baik secara fisik maupun secara finansial. Allah menyatakan dalam Alquran,  Dan ibadah haji ke Rumah (Allah) itu wajib bagi manusia karena Allah (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana (QS, 3: 97).

Sekiranya kita masuk ke 'ruang interior' ibadah haji, sesungguhnyalah di balik ritual haji yang sarat perlambang itu terdapat pesan-pesan spiritual yang seyogianya direnungkan oleh seluruh jamaah haji. Haji, menurut Ali Syariati, adalah drama kematian, sebuah teater perjalanan kembali kepada Allah. Ini karena setiap manusia sejatinya memiliki kerinduan untuk kembali kepada Allah. Dari Allah-lah manusia berasal, dan hanya kepada-Nya juga manusia kembali ( inna lillah wa inna ilahi raji'un ).

Abu Hamid al-Ghazali dalam buku  Asrar al-Hajj mempunyai pandangan yang menarik. Baginya, ada kemiripan antara pola pelaksanaan haji semenjak berangkat hingga pulang; dengan tata cara pelaksanaan yang mengiringi kematian seseorang hingga hari pembalasan. Dengan meninggalkan sanak keluarga, sejumlah kolega, dan semua rutinitas kesehariannya, jamaah haji berarti telah memutus keterkaitannya dengan dunia, seperti pada saat keberangkatannya ke alam kubur. Kendaraan yang ditumpanginya mengilustrasikan keranda yang mengantarkannya ke liang lahat. Sementara, bekal yang dibawanya seolah bekal amal saleh yang harus dibawa ke alam akhirat.

Bersamaan dengan melakukan niat, permulaan haji disimbolisasikan dengan pelepasan pakaian keseharian untuk diganti dengan pakaian ihram yang serbaputih, seperti lembar kain kafan yang biasa dibalutkan pada sesosok jenazah. Di sini, ibadah haji telah menjadi 'mangkuk peleburan' yang melucuti seluruh pakaian artifisial jamaah haji. Pakaian yang biasanya menjadi semat identitas seseorang mulai dari identitas sosial, ekonomi, politik, hingga budaya, pada saat ihram ini menjadi lumer.

Syed Ali Asyraf dalam Islamic Spirituality Foundations, mengharap agar fenomena pakaian ihram itu menjadi bahan kontemplasi. Bahwa tatkala ajal telah tiba, niscaya tidak satu pun orang yang akan membawa serta pakaiannya yang berjenis-jenis. Ia hanya diselimuti kain putih, persis seperti yang dikenakannya waktu ihram ini.

Lihatlah pemandangan Arafah tatkala wukuf berlangsung. Arafah dengan sinar mataharinya yang terik, penuh sesak dengan lautan manusia yang datang dari pelbagai penjuru dunia dengan warna kulit, bahasa, serta etnis yang berbeda. Jamaah haji terpecah ke dalam satuan-satuan pertobatan dengan terus-menerus menadaruskan bait-bait doa di bawah bimbingan para imam panutannya. Kondisi seperti itu mestinya dapat menerbitkan kesadaran akhirati.

Bahwa pemandangan Arafah adalah miniatur dari pemandangan Mahsyar; ketika bangkit dari kubur, umat manusia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar dengan panas matahari yang membakar; setiap umat berkelompok bersama para Nabi dan imamnya seraya menunggu vonis dari Tuhan apakah dirinya beruntung atau malah buntung ( khusran mubin ).

Kita tahu bahwa perjalanan ke tanah suci Makkah kerap terasa sangat meletihkan, baik secara fisik maupun psikis. Kelelahan fisik dalam menjalankan ibadah haji dan suasana duka karena jauh dari keluarga tercinta adalah refleksi dari penderitaan-penderitaan yang mungkin menandai situasi antara kematian dan kebangkitan. Perasaan sepi yang menimpa kita karena berada jauh dari keluarga dan kerabat, hendaknya mengingatkan kita akan kesepian dan kegalauan tatkala kita berada di alam kubur dengan sebatang kara.

Thawaf yang merupakan salah satu dari rukun dan kewajiban haji dengan perintah utama berputar mengitari Ka'bah adalah gambaran utuh dari aktivitas alam semesta yang senantiasa berputar mengelilingi 'arsy (singgasana) Tuhan. Al-Ghazali menegaskan bahwa yang melakukan gerak perputaran itu hakikatnya bukan tubuh, tetapi qalbu manusia yang haus berzikir untuk menajamkan visi ketuhanan yang kerap tertimbun oleh dorongan-dorongan duniawi. Tatkala mencium hajar aswad, di dalam hati seseorang mesti terpantul sebuah cita pengutuhan ikrar primordial untuk hanya taat kepada Allah.

Demikianlah. Ibadah haji merupakan kumpulan simbol yang apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar. Begitu juga, ibadah haji mestinya menjadi 'seremoni kematian' sejumlah sifat-sifat destruktif yang menggumpal padat pada diri seseorang prapenunaian ibadah haji.

Tak pelak lagi, dengan dasaran seperti itu, haji akan menjadi momentum paling tepat sebagai palung transformasi spiritual menuju tercapainya kesadaran tertinggi. Transformasi ini bisa terjadi hanya jika kita melakukan spiritualisasi manasik haji secara totalistik dan mendalam. Harapannya, dengan mereguk sebanyak-banyaknya air spritualitas ke dalam diri sendiri, kiranya ibadah haji akan memberikan efek secara sosial di tengah masyarakat.

Keberhasilan ibadah haji bukanlah merupakan hasil penjumlahan dari hitungan numerik-kuantitatifnya, melainkan pada seberapa jauh ia memiliki dampak positif-kualitatif terhadap peningkatan kepekaan spiritual dan sosial jamaah. Secara spiritual, mereka perlu untuk terus mendekat mesra dengan Tuhan. Sementara pada level sosial, mereka diminta dapat menebarkan kasih dan keselamatan bagi lingkungan sekitarnya.  Dus , kesuksesan ibadah haji hanya bisa diteropong pada perilaku yang bersangkutan pascahaji, apakah ia tampil menjadi seorang yang  muqsith atau justru  mufsid . Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil melepaskan sifat-sifat hewaniyah dan menimba seluas-luasnya sifat-sifat ketuhanan.

Sungguh, upaya pengabaian terhadap aspek-aspek spiritual ini hanya akan menyelusuhkan derajat ibadah haji pada struktur terbawahnya sebagai sebuah aktivitas fisikal-ornamental belaka, sementara Makkah tak ubahnya pusat perbelanjaan simbol-simbol kesalehan picisan yang hampa makna.

Lebih dari itu, pelaksanaan haji juga berimplikasi pada tatanan sosio-religius di Indonesia. Pada awalnya, ibadah haji menjadi bagian penting dari proses transmisi ide-ide reformasi Islam, dari Timur Tengah ke Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari biografi para tokoh pembaru yang menjadikan ibadah haji tidak hanya sebagai perjalanan ritual, tetapi juga perjalanan intelektual.

Dari perspektif sosiologis, pergi haji tidak hanya dianggap telah melaksanakan kewajiban keagamaan semata, tetapi juga sebagai jalan terbaik untuk meningkatkan pengetahuan seseorang tentang Islam. Karenanya, Makkah tidak hanya menjadi tujuan suci, tapi juga mencerminkan tempat di mana orang Islam dapat memperoleh pemahaman dasar tentang agama mereka.  Wallahu a'lam bisshawab .

Oleh: Mashudi Umar
(Redaktur Majalah Risalah NU Jakarta)
Opini Republika 23 Oktober 2009