23 Oktober 2009

» Home » Kompas » "Quo Vadis" Honduras?

"Quo Vadis" Honduras?

Sebagai salah satu negara di Amerika Tengah, Honduras sebenarnya tidak banyak digunjingkan.
Meski kaya flora dan fauna, bahkan pada masa prasejarah diduga pernah hidup mamut dan megafauna di daerahnya, semua tidak menjadikan begitu mencolok dari negara lainnya.
Namun, konflik di negara yang pernah dijuluki republica bananeras (republik pisang) yang berbuntut kudeta presiden pada 28 Juni 2009 itu mengagetkan. Situasi menjadi lebih suram saat baik presiden yang dikudeta (Manuel Zelaya) maupun Roberto Micheletti sebagai presiden masih mengakui legalitas kekuasaannya. Bagaimana bisa keluar dari konflik seperti ini?


Legitimasi ganda
Secara fisik, berperawakan tinggi (190 sentimeter), selalu mengenakan topi cowboy, dan mengenakan jins, Manuel Zelaya tampil anggun. Meski tidak terlalu kuat dalam retorika untuk ”menghipnotis” massa, ia punya keyakinan, ide Aliansi Bolivariano (ALBA) seperti yang dikumandangkan Hugo Chavez perlu diwujudkan di Honduras.
Idealisme itu tidak dibiarkan begitu saja. Relasi internasional dibangun secara baik. Banyak kolega di Amerika Latin yang amat dekat dengannya. Karena itu, saat didepak dari kursi presiden pada 28 Juni lalu, organisasi negara- negara seperti ALBA, SICA, OEA, maupun kelompok Rio, bahkan hingga Uni Eropa dan PBB ada di baliknya. Micheletti pun dikecam pemimpin negara Amerika Latin dan diimbau mengembalikan kekuasaan itu kepada Zelaya.
Sayang, Zelaya ketiadaan dukungan internal. Lembaga yudikatif dan legislatif berseberangan jalan dengannya. Mereka menilai, Zelaya telah keluar dari sistem demokrasi yang telah dibangun sejak 1980 (J Castellanos, Honduras: Gobernabilidad Democrática y Sistema Político). Zelaya juga disinyalir berusaha ”mengutak-atik” konstitusi demi memperpanjang masa kekuasaan. Karena itu, pengalihan kekuasaan oleh Micheletti dianggap legal.
Tidak hanya itu. Zelaya diklaim terlalu otoriter terutama saat memberhentikan Panglima Militer Romeo Vásquez Velásquez dan Menteri Pertahanan Edmundo Orellana karena tidak mendukungnya dalam melakukan referendum. Ia dilihat tidak mampu menjadi pemimpin yang berwibawa karena itu perlu didepak dari kekuasaannya dan diasingkan ke Kosta Rika.
Tak ikhlas
Pada gilirannya, Roberto Micheletti, yang kini menjadi Presiden Honduras, tidak luput kritik. Ia disinyalir sebagai ”pemanfaat kesempatan” (usurpador).
Sebagai Ketua Parlemen, ia disanjung karena menggagalkan upaya manipulasi konstitusi. Namun, upaya konstitusional mendepak Zelaya dianggap dilakukan secara tidak ikhlas malah manipulatif. Ia tahu, pemberhentian presiden akan memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi presiden. Hal ini terjadi karena Elvin Ernesto Santos Ordóñez, yang adalah wakil presiden, sudah mengundurkan diri pada November 2008. Peluang empuk itu ada di tangan Micheletti sebagai Ketua Parlemen.
Tidak hanya itu. Kecurigaan pada Micheletti bahkan menguat saat ia secara otoriter menutup stasiun radio Globo dan stasiun televisi Canal 36 (El Pais, 28/9). Rakyat pun kian sadar, otoritarisme yang katanya hendak dilawan ternyata hanya diganti tindakan yang lebih tragis. Hak menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi sedang dilawan sendiri oleh Micheletti.
Kerendahan hati
Bagaimana bisa keluar dari konflik ini? Bagi Óscar Arias Sánchez, Presiden Kosta Rika yang menjadi mediator, solusi bisa terwujud jika kerendahan hati diberi tempat.
Itu berarti, Zelaya dan Micheletti perlu meminggirkan arogansi pribadi. Zelaya, misalnya, perlu sadar bahwa pengakuan internasional akan mandul bila tidak didukung kekuasaan legislatif maupun yudikatif, yang juga dibangunnya.
Sementara Micheletti semestinya tidak mengaburkan upaya penegakan konstitusi sebagai tameng melegitimasi kekuasaannya. Dengan umur gaek (66 tahun), ia tidak perlu melakukan tindakan yang mendatangkan penilaian sebagai pribadi haus jabatan. Sebaliknya, dengan besar hati, ia perlu mengembalikan masa jabatan itu kepada Zelaya yang akan mengakhiri jabatannya pada 27 Januari 2010.
Tidak hanya itu. Yang lebih mendasar adalah kematangan keduanya. Itu berarti infantilisme untuk merengek demi kekuasaan, tanpa memerhatikan nasib rakyat, perlu dijauhkan. Yang ada hanya upaya menjadikan Honduras negara yang disegani pemimpin yang memerhatikan rakyat.
Bagi Indonesia, legitimasi ganda bisa menjadi pembelajaran. Demokrasi tidak bisa dihidupi sekadar pemenuhan pasal-pasal konstitusi demi melegitimasi kekuasaan. Ia akan berujung pada legitimasi ganda yang membingungkan dan merugikan bangsa. Sebaliknya, diperlukan kerendahan hati dan kedewasaan moral untuk memberi tempat pada keikhlasan hati untuk menghidupkan ayat-ayat itu dalam praksis kehidupan.

Robert Bala Pemerhati Masalah Amerika Latin
Opini Kompas 23 Oktober 2009