23 Oktober 2009

» Home » Republika » Millennium Development Goals

Millennium Development Goals

Terlepas dari pro-kontra cara pemilihan menteri dan pejabat setingkat menteri untuk Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, terdapat hal yang menarik terkait arahan Presiden SBY ke depan. Beberapa calon menteri yang diaudisi, dengan gaya bahasa yang hampir senada menyatakan bahwa Presiden telah mengarahkan untuk pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) 2015.
Beberapa calon menteri bahkan ada yang secara detail menjelaskan isu MDGs yang nanti akan menjadi tanggung jawabnya. Pentingnya MDGs ini juga dipertegas oleh SBY pada saat pidato pelantikannya yang menyatakan bahwa Indonesia akan terus berada di garis depan, dalam upaya untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik dan sebagai pelopor dalam memperjuangkan Millennium Development Goals.

Dengan menjadikan MDGs sebagai visi ke depan, bukan tidak mungkin, presiden akan mengevaluasi kinerja menteri dengan menggunakan standar MDGs. Tulisan ini mencoba membahas garis besar konsep MDGs dan perkembangannya, kondisi pencapaian MDGs Indonesia serta permasalahan dan tantangan KIB II dalam pencapaian MDGs ke depan.

MDGs merupakan komitmen 189 negara di dunia yang dibuat dalam pertemuan PBB tahun 2000. Dalam pertemuan tersebut, ditandatangani Deklarasi Millennium oleh para kepala negara anggota PBB termasuk oleh presiden Indonesia saat itu, yakni Abdurrahman Wahid. Deklarasi Millennium juga dapat dikatakan sebagai janji negara-negara yang menandatangani untuk mengurangi separuh proporsi penduduk miskin di negaranya maupun dunia, memastikan semua anak menuntaskan pendidikan dasar, menghilangkan kesenjangan gender pada semua jenjang pendidikan, mengurangi dua pertiga angka kematian bayi, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyakit menular, memastikan kelangsungan lingkungan hidup, dan meningkatkan kerja sama global untuk pembangunan. Kesemuanya ada delapan tujuan yang selanjutnya diturunkan dalam 21 target dan diukur dalam 60 indikator.

Posisi MDGs Indonesia
Status MDGs Indonesia cukup bervariasi di antara beberapa tujuan dan target yang telah ditetapkan. Kemajuan yang paling signifikan terdapat pada aspek kesetaraan gender di dunia pendidikan, yang saat ini hampir sama dengan jumlah pria di dunia pendidikan dan mencapai index 100. Pencapaian yang juga cukup baik adalah dari segi tingkat partisipasi sekolah dasar yang meningkat dari 88,7 persen di tahun 1990 menjadi 94,7 persen ditahun 2008, yang diperkirakan akan dapat mencapai 100 persen pada tahun 2015. Akan tetapi, hal ini masih menyimpan masalah serius karena persentase murid yang menyelesaikan pendidikan SD masih sekitar 74,7 persen.

Belum lagi jika dikaitkan dengan kualitas SDM yang memerlukan pendidikan yang lebih baik. Saat ini baru 66,5 persen yang menempuh pendidikan SMP untuk anak se-usia SMP, jumlah yang jauh lebih kecil terdapat untuk anak se-usia SMA. Tidaklah heran kemudian jika Indonesia menempati peringkat ke-111 dalam Laporan Pembangunan Manusia tahun 2009, yang berarti lebih rendah dari Sri Langka (102) maupun Palestina (110), dua negara yang masih memiliki masalah keamanan yang berat.

Hampir sama dengan bidang pendidikan, capaian MDGs Indonesia di bidang kesehatan menunjukkan adanya kemajuan berupa penurunan kematian anak (usia 1-5 tahun) per seribu, dari 81 menjadi 44 dari target 32 untuk tahun 2015. Prestasi yang hampir sama juga dicapai dalam penurunan tingkat kematian bayi. Akan tetapi, bidang kesehatan belum menghasilkan prestasi yang memadai dalam penurunan angka kematian ibu per 100 ribu jiwa, yang saat ini masih 307 dari target 110 untuk tahun 2015. Tidak jauh beda dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit menular, seperti malaria, TBC, dan HIV/AIDS, juga menunjukkan hasil yang belum optimal. Demikian pula, halnya dalam aspek lingkungan hidup yang berkelanjutan, pencapaian target penyediaan air bersih, perlindungan hutan, penurunan pencemaran lingkungan, kualitas sanitasi, juga masih jauh dari target MDGs.

Permasalahan dan Tantangan KIB II
Arahan SBY yang sangat jelas kepada para menteri terkait pencapaian MDGs pada saat audisi, merupakan awal yang sangat baik dalam mengawali pemerintahan lima tahun ke depan. Untuk hal ini, diharapkan para menteri tidak memiliki kendala dalam mencari arah prioritas program kerja. Menteri koordinator terutama menko Kesra akan dapat dengan mudah mengarahkan para menteri untuk bekerja. Persoalannya kemudian adalah pada kejelian, ketelatenan, dan kesigapan menteri itu sendiri untuk mengupayakan jalan keluar guna menyelesaikan masalah.

Para menteri harus jeli mengidentifikasi akar permasalahan belum tercapainya target MDGs. Menteri KIB II harus berpikir strategis agar sumber daya yang digunakan tidak menjadi sia-sia. Roadmap terbaik yang paling mungkin untuk pencapaian target haruslah dimiliki oleh masing-masing menteri. Dalam hal ini,  roadmap yang dibuat mestilah jelas untuk menyelesaikan akar masalah dan tidak untuk mengatasi gejala sesaat, seperti kebijakan BLT selama ini. Hasil identifikasi tersebut bisa berupa kebijakan yang lama tanpa perubahan, dengan beberapa perubahan, atau kebijakan yang baru bersifat substantif dan bukan artisial.

Satu hal yang perlu diantisipasi adalah sikap jalan sendiri para menteri karena merasa dinilai secara sendiri-sendiri oleh presiden. Suatu akar masalah biasanya, membutuhkan penyelesaian yang bersifat lintas sektoral. Di sinilah, peran menteri koordinator diperlukan untuk menyamakan visi tentang akar masalah yang ada dan strategi bersama menyelesaikannya. Lemahnya koordinasi KIB jilid I jangan sampai terjadi, seperti halnya di satu sisi menteri Pertanian mendorong produktivitas dan kesejahteraan petani, di lain sisi pada saat yang sama menteri Perdagangan membuka keran impor produk pertanian yang sedang dikembangkan.

Ketelatenan menteri untuk menggerakkan perubahan dan perbaikan di departemen dan semua mitra kerjanya, merupakan hal penting dilakukan oleh menteri. Sekiranya menteri tidak bisa menggerakkan departemennya, sulit kiranya mengharapkan adanya perubahan pada pencapaian target MDGs. Target besar MDGs hanya bisa dicapai dengan kinerja birokrasi yang baik.

Oleh: Rizal Yaya
(Dosen FE-UMY)
Opini Republika 24 Oktober 2009