23 Oktober 2009

» Home » Kompas » PR Departemen Pertahanan

PR Departemen Pertahanan

Kabinet Indonesia Bersatu II baru saja terbentuk. Dalam bidang pertahanan, Departemen Pertahanan dituntut untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah penting.
Pertama, merumuskan kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan dan pengadaan alutsista; kedua, pemenuhan kesejahteraan prajurit; dan ketiga, merumuskan beberapa rancangan undang-undang bidang pertahanan.


Pembangunan kekuatan pertahanan akan menghadapi masalah keterbatasan anggaran. Sementara itu, perubahan lingkungan strategis mengharuskan Indonesia mempunyai kemampuan terkecil untuk dapat memberikan perlindungan kepentingan pertahanan. Pada periode sebelumnya, pemerintah mengeluarkan konsep kekuatan pokok minimum (KPM).
Tampaknya konsep KPM masih akan dipertahankan pada periode 2009-2014. Namun, operasionalisasi konsep KPM pada periode 2009-2014 belum akan menjadikan Indonesia mempunyai kekuatan deterrence yang andal. KPM 2009-2014 juga belum dapat menjadikan Indonesia melakukan peperangan modern yang sarat teknologi.
Prioritas tampaknya akan difokuskan pada pengembangan kekuatan pertahanan untuk melindungi perbatasan, pulau terluar, klaim wilayah, dan pemberontakan separatis bersenjata. Ini adalah pilihan yang realistis karena keterbatasan anggaran dan dihadapkan pada ancaman nyata yang mungkin akan dihadapi oleh Indonesia. Jadi, tampaknya pengadaan alutsista juga akan sangat terbatas.
Kesejahteraan prajurit
Kesejahteraan prajurit harus menjadi perhatian pemerintahan SBY. Secara politik, kesejahteraan prajurit merupakan tanggung jawab negara kepada TNI. Tanggung jawab ini lahir sebagai konsekuensi tuntutan terhadap prajurit TNI yang harus bersedia mengorbankan nyawa karena tugas. Kesejahteraan juga kompensasi dari hilangnya sebagian hak dasar prajurit, yaitu hak pilih sebagaimana dimiliki oleh warga negara yang lain. Kesejahteraan juga harus diberikan kepada prajurit karena mereka melambangkan eksistensi negara.
Beban Dephan untuk memenuhi anggaran gaji prajurit sangat besar. Mungkin perlu dipertimbangkan mekanisme subsidi lintas departemental. Kebutuhan perumahan prajurit mungkin bisa disediakan oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat, pendidikan mereka bisa melalui anggaran Depdiknas, dan pelayanan kesehatan prajurit bisa ditangani oleh Depkes.
Jika ini bisa dilakukan, beban Dephan akan menjadi lebih ri- ngan sehingga pengadaan alutsista bisa memperoleh alokasi dana yang lebih besar. Untuk mewujudkan ini, presiden perlu memerintahkan langkah-langkah operasional mekanisme pembiayaan kesejahteraan prajurit di luar Dephan melalui subsidi lintas departemental.
Seperti dinyatakan Andi Widjajanto (Kompas, 5/10/2009), pada periode 2004-2009, pemerintahan SBY tak berhasil melahirkan satu pun UU bidang pertahanan dan keamanan. Semua inisiatif rancangan undang-undang gagal menjadi undang-undang. RUU Keamanan Nasional (Kamnas) masih menyisakan perdebatan tentang hubungan kelembagaan antarinstitusi keamanan. Terdapat nuansa kental tentang egoisme sektoral masing-masing institusi dalam setiap debat tentang RUU Kamnas. Untuk itu, presiden perlu lebih intensif dan tegas melakukan konsolidasi ke semua departemen dan institusi bidang keamanan nasional tentang perlunya suatu UU tentang keamanan nasional.
RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara juga mengalami nasib yang sama. Pemerintahan harus lebih giat melakukan sosialisasi ke masyarakat, terutama untuk meluruskan kekhawatiran publik bahwa RUU ini merupakan upaya militerisasi masyarakat dan sumber-sumber nasional. Persepsi ini kuat sekali di kalangan khalayak umum. RUU ini sangat penting sebagai operasionalisasi sistem dan doktrin pertahanan semesta untuk mengatur secara absah penggunaan sumber-sumber nasional untuk kepentingan pertahanan negara.
Pemerintah juga harus melakukan revisi RUU Rahasia Negara. Dalam kaitan ini, kegagalan utama pemerintah adalah ketidakmampuan menjelaskan kepada publik bahwa tanpa UU itu negara justru akan dengan mudah menetapkan kerahasiaan. Se- mangat RUU Rahasia Negara harus merupakan kombinasi antara kepentingan vital negara dalam era peperangan informasi dan kebutuhan konsolidasi demokrasi dengan mempersulit negara menetapkan suatu kerahasiaan.
Pekerjaan rumah (PR) Dephan menumpuk di depan mata. Kemampuan untuk memajukan kepentingan nasional dalam lingkungan strategis yang berubah cepat, kepentingan demokratisasi, dan kepentingan membentuk TNI profesional memerlukan kerja keras semua pihak. Diperlukan kemauan politik dan langkah nyata pemerintah dan DPR untuk memenuhi tanggung jawab mereka dengan meningkatkan anggaran yang memadai untuk membangun kekuatan pertahanan, kebutuhan profesionalisme, dan kesejahteraan TNI.

Edy Prasetyono Dosen Ilmu Hubungan Internasional dan Manajer Riset dan Publikasi, FISIP Universitas Indonesia
Opini Kompas 23 Oktober 2009