29 Oktober 2009

» Home » Republika » Membangun Kembali Nasionalisme Kaum Muda

Membangun Kembali Nasionalisme Kaum Muda


Hai pemuda dan pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang mengatakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian. Jangan terima! Kita ini bukan sekadar pupuk. Kami lebih dari pupuk. Di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu. Dan, dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa kami (Bung Karno, 1958).


Sudah 81 tahun ini, Sumpah Pemuda terkumandangkan di republik tercinta ini semenjak 28 Oktober 1928. Semangat yang dikobarkan para pemuda idealis pada masa itu telah membuka lembaran baru dalam sejarah perubahan bangsa. Sebuah perubahan yang mampu mengantarkan bangsa ini untuk melepaskan belenggu penjajahan yang telah menjerat bangsa beratus tahun. Bangsa kembali tegak dan melakukan perlawanan secara sengit demi merebut hak kemerdekaannya. Dalam titik ini, nasionalisme yang dibangun oleh para penggagas Sumpah Pemuda mampu menggerakkan kekuatan bangsa menjadi satu kekuatan yang utuh sehingga mampu terlepas dari belenggu penjajah pada 17 Agustus 1945.

Nasionalisme, bila kita telisik dalam konteks historis, telah menjadi ideologi yang memengaruhi kehidupan publik, bahkan pribadi manusia yang majemuk. Disadari atau tidak, ideologi nasionalisme-lah yang telah mengubah tatanan dunia sekarang ini. Sejak sekitar abad ke-17, mulai dari Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat serta hampir seluruh penduduk dunia menjadikan nasionalisme sebagai kekuatan ideologinya (M Ali: 2004).

Nasionalisme di Indonesia juga telah telah meruntuhkan klaim-klaim dinasti lokal dan regional serta komunitas-komunitas berdasarkan agama, etnis, suku, dan identitas lainnya. Semua merasa sepakat untuk menjadikan 'tiga jimat'--yang diproklamasikan pada 28 Oktober 1928, yakni satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa--sebagai perekat dan pemersatu perjuangannya. Identitas tidak lagi tampak dan dijadikan pedoman penghayatan persatuan, namun semua identitas masing-masing dileburkan dan dijadikan satu identitas yang bernama Indonesia. Slogan-slogan perjuangan, kemerdekaan, revolusi, tolak penjajahan, dan realisasikan kemerdekaan menjadi sebuah slogan yang selalu membara dan mampu meruntuhkan kekuatan mana pun yang mencoba merusaknya. Dengan kata lain, nasionalisme telah menjadi ideologi perjuangan bangsa, seperti halnya para negara-negara dunia lainnya. Sukses Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya sama halnya dengan negara-negara besar dunia yang telah menjadikan nasionalisme sebagai jiwa dan roh perjuangannya.

Keruntuhan
Dalam konteks sekarang, nasionalisme yang dibangun para founding fathers dulu itu, ternyata sekarang tidak mampu lagi menggerakkan bangsa ini. Nasionalisme hanya sebuah omong kosong yang tidak berarti apa-apa. Ia hanya dijadikan sebagai tema-tema dalam diskusi, seminar, talk show, dan forum-forum lainnya. Ia mati suri dan hanya menjadi slogan yang tak lagi memihak pada kaum tertindas. Namun, dia menjadi slogan yang membesarkan kaum elite tertentu saja. Para politikus bicara nasionalisme hanya untuk menaikkan posisinya dalam lingkungan publik, menarik simpati masyarakat yang hanya demi kepentingan sesaatnya, atau bahkan untuk mengelabui masyarakat kecil. Demikian juga para ekonom, businessman, dan para kaum elite lainnya yang hanya menjadikan nasionalisme sebagai kedok mencari kekayaan sendiri.

Melihat realitas tersebut, menurut penulis, bangunan nasionalisme telah runtuh dan tidak mampu lagi mengembalikan wibawa bangsa ini. Ketika bangsa ini dicabik-cabik oleh gempuran krisis moneter, bahkan krisis mutidimensional yang telah menjungkirbalikkan bangsa, tidak ada seorang pun kaum elite yang mau bertanggung jawab dan mau mengorbankan semua apa yang dimilikinya untuk bangsa ini. Namun, yang terjadi adalah perebutan kekuasaan dan saling 'membunuh' antara kawan sendiri. Implikasinya, tatanan sosiokultural, sosiopolitik, sosioekonomi, dan sosiokemasyarakatan tak kunjung berangsur pulih, tetapi bertambah parah dan menyedihkan. Bahkan, sampai sekarang ini, kekuasaan masih dimaknai sebagai 'kue yang enak' yang diperebutkan dengan pertumpahan darah, bukan sebagai tugas suci untuk memulihkan kembali tatanan bangsa dan membela kaum lemah dan tertindas.

Posnasionalisme
Dalam dunia global sekarang ini, term posmodernisme telah menjelajah dan menghinggapi setiap perilaku masyarakat. Posmodernisme ini telah menjadi pola pikir yang mampu memberikan identitas tertentu terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu. Untuk itu, menarik apa yang dikatakan oleh Leah Greenfeld bahwa nasionalisme sangat terkait erat dengan modernisme. Andaikan dunia ini menjadi posmodernisme secara tidak langsung, itu akan juga terbawa posnasionalisme. Bagi Leah Greenfeld dalam bukunya Nationalism: Five Roads to Modernity, National Identity is, fundamentally a matter of difnity, dengan gamblang menjelaskan bahwa posnasionalisme tercipta secara sosial (socially constructed) yang berkait erat dengan harga diri (dignity), memberikan rasa bangga, memiliki karakter, meningkatkan status, membuat manusia nyaman, menciptakan rasa memiliki, mengatasi kepentingan egoistik, dan lain sebagainya. Pandangan Leah Greenfeld memberikan inspirasi bagi kita bahwa nasionalisme yang telah mendarah daging dalam diri manusia tergantung manusia mampu membawa ke arah mana nasionalisme yang telah ada tersebut. Nasionalisme menjadi kekuatan yang inheren yang memberikan bentuk dan karakter yang luar biasa, yang bila digerakkan mampu membawa perubahan yang luar biasa pula.

Inilah tantangan yang harus diperhatikan oleh bangsa ini. Bagaimana tantangan modernitas yang telah mendarah daging itu mampu dijalankan dengan prinsip nasionalisme yang tinggi? Karena, kita tidak akan kuasa menolak kuatnya arus modernitas yang telah masuk dalam diri bangsa ini. Sehingga, mau tidak mau, kita harus menciptakan nasionalisme secara inheren dalam nilai-nilai modernitas.

Sinergitas ini nanti mampu melahirkan kembali bentuk tatanan dan prinsip nasionalisme yang sejalan dengan arus dunia modern. Karena, bila arus dunia modern tidak ditata dengan kekuatan nasioanalisme yang tinggi, yang terjadi hanya akan meningkatkan kesenjangan sosial dan bahkan merusak tatanan moralitas manusia.

Namun, dengan sinergitas nasionalisme, tentu akan memberikan nilai lebih pada arus modernisme hingga tercipta kekuatan perkawanan dan solidaritas sosial yang tinggi. Yang kuat akan selalu peduli dan memerhatikan yang lemah.

Dengan kata lain, terjadi kohesi sosial yang apik, yang sejalan dengan konsep nasionalisme yang telah dibangun para founding fathers kita tahun 1928 dulu. Semoga momentum Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2005, kali ini akan memberikan nilai lebih pada diri bangsa ini, terlebih dengan terciptanya dunia baru dengan adanya sistem pemerintahan baru. Semoga posnasionalisme menjadi terealisasikan secara empiris dengan bersatunya bangsa, baik dari tingkat elite, bangsawan, politisi, ekonom, maupun semua elemen bangsa lainnya.

Sebuah kekuatan yang akan membuang jauh-jauh sikap egois dan mengutamakan bentuk sikap nasionalisme kebangsaan.

Muhammadun AS
(Peneliti Cepdes Jakarta) 
Opini Republika 28 Oktober 2009