29 Oktober 2009

» Home » Okezone » Dream(ing) Team Hukum Kabinet SBY?

Dream(ing) Team Hukum Kabinet SBY?

Perihal siapa yang menjadi pembantu presiden di kabinet sebagai pejabat menteri atau setingkat menteri hampir terjawab tuntas. Setelah melalui fit and proper test ala Presiden SBY, mereka akhirnya ditetapkan dalam bentuk pelantikan.

Ada tawa dan duka menyelimuti banyak catatan tentunya. Mulai dari posisi yang tidak pas untuk orang-orang tertentu dan posisi tertentu serta adanya pergantian pada last time secara mendadak. Semuanya mewarnai pemilihan anggota kali ini. Warna-warna tersebut juga terlihat pada jajaran pejabat menteri dan setingkat menteri yang mengurus perihal penegakan hukum dan hak asasi manusia. Paling tidak terlihat dari pola penunjukan pada Menteri Hukum dan HAM ataupun Jaksa Agung yang akan menemani Presiden selama lima tahun ke depan.
Politisi Hukum

Posisi menteri hukum dan HAM yang akhirnya jatuh ke tangan politisi tentu juga menjadi catatan. Dorongan publik agar SBY lebih memilih orang profesional daripada politisi sangat besar. Namun, Presiden SBY tetap saja lebih menjatuhkan pilihannya pada sosok politisi untuk jabatan ini. Entah untuk alasan apa? Yang jelas, ini melanjutkan "tradisi" kepemimpinan jabatan hukum yang lebih berbau politisi.

Presiden SBY seakan lupa pada kejadian ketika dia memilih politisi dibandingkan profesional pada posisi ini. Hasilnya cukup berantakan. Dia terpaksa harus mengganti sang menteri di tengah jalan karena banyaknya isu tidak sedap di balik perilaku anggota kabinetnya itu. Hal yang tentunya ikut menurunkan tingkat kepercayaan publik akan kemampuan departemen yang mengawal proses birokrasi penegakan hukum dan keadilan.

Tentu, paparan tadi tidak bermaksud mengatakan bahwa karena politisi lagi, pasti akan mengulang kesalahan pendahulunya. Pastinya, ada logika yang keliru kalau mengatakan semua politisi berperilaku sama. Namun, politisi punya kemungkinan lebih besar untuk terjebak pada kebijakan politis. Padahal, jika dicatat, ada banyak sekali problem yang sudah dan sedang terjadi di kementerian yang kebanyakan berkaitan dengan tendensi politik maupun kepentingan politis.

Isu proses pembuatan undangundang (UU), misalnya. Departemen ini cukup banyak terlibat pada proses pembuatan UU di negeri ini karena sistem pembuatan UU masih melibatkan eksekutif pada pembahasan dan kebanyakan diwakili oleh kementerian ini. UU Mahkamah Agung yang saat ini diributkan dan jadi ribet dengan usia 70 tahun hakim agung tentunya adalah sumbangan kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

Bahkan, UU Pengadilan Tipikor yang saat ini selesai tetapi menyimpan beberapa cacat tersembunyi juga akibat andil departemen ini. Proses "rusak"-nya draf perbaikan UU Tindak Pidana Korupsi juga berasal dari departemen ini. Masih harus diingat pula, UU Komisi Yudisial dan berbagai UU lain yang terkatung-katung adalah akibat adanya dugaan "campur tangan" politis penyelesaiannya.

Besarnya tendensi politik pada wilayah penyusunan UU perihal hukum bukan hal yang baru. Karenanya, ketika lagi-lagi disematkan jabatan ini kepada politisi, ada ketakutan besar akan ada pengulangan kejadian, yakni kejadian ketika warna politik ada dalam penyusunan UU yang berkaitan dengan penegakan hukum.

Keabsahan Jaksa Agung

Hal lain yang tidak kalah menarik adalah jabatan Jaksa Agung yang belum jelas karena hingga saat ini belum ditunjuk dan dilantik. Belum ditunjuk dan dilantiknya jabatan Jaksa Agung ini tentu saja mendatangkan hal yang tidak sepele, yakni keabsahan tindakan Jaksa Agung yang ada saat ini.

Merujuk ke Pasal 22 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mencantumkan bahwa (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena (a) meninggal dunia, (b) permintaan sendiri, (c) sakit jasmani atau rohani terus menerus, (d) berakhir masa jabatannya, (e) tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; (2) pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan presiden.

Artinya, seorang presiden memang tidak bisa seenaknya melakukan pemberhentian atas diri Jaksa Agung terkecuali dengan adanya kondisi-kondisi itu. Namun, menariknya, ada poin (d) yang menjelaskan posisi berakhirnya masa jabatan. Padahal, jika diteliti, tidak ada satu pun pasal maupun penjelasan, baik pada UU No 16 Tahun 2004 maupun keppres pengangkatan Jaksa Agung, yang menjelaskan perihal berapa tahun masa jabatan seorang Jaksa Agung.

Karena itu, mau tidak mau, masa jabatan Jaksa Agung haruslah dilekatkan pada masa jabatan presidennya. Artinya, ketika Presiden SBY berakhir masa jabatan kepresidennya tahun 2004-2009, pada saat itu juga masa jabatan Jaksa Agung-nya berakhir. Harusnya, Presiden SBY juga segera memilih dan melantik Jaksa Agung baru untuk mengisi kekosongan akibat berakhirnya masa jabatan sebagaimana yang tertera pada Pasal 22 poin (d) tersebut.

Jikapun Presiden SBY memilih memperpanjang masa jabatan Jaksa Agung, tetap saja dibutuhkan keppres perpanjangan masa jabatan untuk Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya tersebut. Tanpa keppres, bisa berakibat fatal pada tindakan yang diambil Jaksa Agung.

Yang dikhawatirkan sesungguhnya adalah Presiden SBY merasa sangat "nyaman" dengan sepak terjang Kejaksaan Agung di bawah Jaksa Agung saat ini. Presiden merasa tanpa perlu mengganti Jaksa Agung, jabatan ini tetap saja dipegang oleh Jaksa Agung yang ada sekarang dengan model penunjukan berbau previllege. Padahal, ada banyak catatan yang harusnya dibuka lebar ketika melihat posisi di jabatan ini.

Dream(ing) Team?

Jika Presiden SBY kembali melanjutkan tradisi pilihan politisi pada jabatan hukum dan seakan memberikan previllege model pengangkatan Jaksa Agung saat ini, besar peluangnya potret penegakan hukum akan kembali seperti yang sudah ada saat ini. Langgam penegakan hukum akan kembali sebagaimana model yang biasa kita lihat antara tahun 2004- 2009.

Padahal, harus kita akui penegakan hukum dan HAM pada masa-masa pemerintahan periode pertama Presiden SBY belum memuaskan. Jika pola yang ada kembali dipertahankan, kemungkinan besar ketidakpuasan itu akan terus berlanjut. Sesungguhnya, masih ada satu peluang untuk keluar dari pola biasa-biasa ini, yakni ketika Presiden SBY mau mereposisi paradigma penegakan hukum dan HAM yang sudah dimiliki saat ini.

Terkhusus, memperbaiki kemampuan dan kemauan pemerintah untuk mendorong penegakan hukum dan HAM ke jalur yang lebih bebas hambatan. Presiden SBY mampu menekan Menteri Hukum dan HAM maupun Jaksa Agung untuk memberikan lompatan-lompatan berarti dengan evaluasi dan koordinasi kebijakan secara terarah.

Misalnya saja, Presiden SBY memperbarui kembali janji untuk memimpin penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang diikrarkannya pada periode pertama kepemimpinannya melalui Inpres No 5 Tahun 2004. Presiden SBY punya peluang untuk mengulanginya dengan memperbaiki sistem monitoring dan evaluasi yang ada serta memperkuat daya jelajah dan daya jangkau rancangan aksi nasional (RAN) seperti RAN pemberantasan korupsi maupun RAN HAM.

Keterbatasan sosok pimpinan kementerian hukum dan HAM maupun kejaksaan akan tertutupi jika Presiden SBY mereposisi paradigmanya. Jika itu dilakukan, besar kemungkinan tim hukum ini dapat menjadi the dream team penegakan hukum. Bukan hanya menjadi the dreaming team penegakan hukum.(*)

Zainal Arifin Mochtar
Dosen Hukum dan Direktur Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM Yogyakarta