29 Oktober 2009

» Home » Republika » Islam dalam Pandangan Barat

Islam dalam Pandangan Barat

Banyak orang Barat belum pernah menapakkan kaki di negeri Arab atau dunia Islam, tetapi mereka mendapat kesan tentang Islam dan Muslim melalui media masa saja atau melalui hubungan langsung dengan berbagai macam kelompok pendatang Muslim yang tinggal di negeri mereka. Sebagai contoh, kelompok pendatang Muslim Maroko di Belanda, pendatang Muslim Aljazair di Prancis, pendatang Muslim Pakistan dan India di Inggris, serta pendatang Muslim Turki di Jerman. Mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang Islam melalui kejadian-kejadian ekstrem, seperti serangan teroris pada 11 September di Amerika Serikat atau kejadian-kejadian di tempat lain. Pengalaman dan kesan dari kejadian-kejadian tersebut sering mengarah pada negatif dibanding positif. Sering kali, bukanlah Islam yang dipahami, tetapi lebih pada perilaku Muslim yang dibiaskan sebagai gambaran Islam karena mereka bertindak 'atas nama Islam', tetapi sesungguhnya mereka sama sekali tidak mewakili mayoritas Muslim.
Pandangan Islam di kalangan masyarakat umum di Eropa atau Barat pada umumnya, sekarang ini, lebih sering dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di dekat rumah atau tetangga dibanding dengan perkembangan negara-negara Muslim yang nun jauh di sana. Di Eropa, pandangan terhadap Muslim dan Islam pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh pemikiran lekat yang disarikan dari konflik para penguasa Kristen dan Islam di abad pertengahan. Namun, situasi hari ini di Barat telah berkembang jauh dan sangat berbeda. Meskipun beberapa pemikiran-pemikiran tradisional yang kaku dan bias masih timbul, banyak elemen-elemen baru yang bermain di dalamnya. Konflik baru telah banyak bermunculan. Walaupun mereka tidak ada hubungannya dengan Islam, pantulan kuatnya mengacu ke hubungan Barat serta dunia Islam dan Muslim secara umum.

Tentu, penjajahan negara-negara Barat terhadap Timur Tengah dan wilayah negara lain telah meninggalkan jejak di antara masyarakat bangsa bekas penjajahannya. Sejauh keprihatinan usai periode penjajahan, konflik Arab-Israel adalah faktor yang teramat penting yang memengaruhi hubungan. Pada awalnya, konflik ini hanyalah semacam nasionalisme tentang perselisihan tanah Palestina. Namun, dalam perkembangan waktu, hal ini mendapatkan dimensi-dimensi lain secara gamblang, yakni konflik antara Yahudi dan Muslim, bukan sebaliknya hanya antara Arab dan Yahudi Israel. Pendudukan Israel dan aneksasi Jerusalem telah menambah dimensi agama masuk ke dalam konflik juga. Dukungan kuat Barat secara terus-menerus terhadap Israel, kemudian sikap Barat yang sering dilihat Arab dan Muslim sebagai kebijakan standar ganda terhadap Timur Tengah telah mengakibatkan permusuhan di dunia Islam dan Arab terhadap Barat. Masalah ini, aslinya, adalah permusuhan nasionalisme, namun kemudian ditambah oleh dimensi lain yang meluas menjadi permusuhan Muslim melawan Barat, yang akhirnya memunculkan banyaknya operasi teroris dan kekerasan lainnya oleh organisasi, seperti Alqaidah, Taliban, dan sebagainya. Campur tangan Barat di negara-negara Islam, seperti Irak dan Afghanistan, kemudian kehadiran Barat di jantung wilayah Muslim semenanjung Arab menambah peran dalam memunculkan kebencian dan konflik ini.  

Sekarang ini, terdapat elemen baru, yaitu kuatnya keberadaan imigran Muslim di Eropa dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Keberadaan mereka amat sangat memengaruhi pendapat orang Eropa terhadap Islam dan Muslim pada umumnya. Banyak imigran ini datang dari pelosok desa miskin atau bahkan termiskin di negara mereka sehingga mereka hanya berpendidikan rendah daripada negara di mana mereka berimigrasi. Sering mereka juga tidak mempunyai posisi bersaing dalam hal ekonomi. Meskipun perlu dicatat bahwa ada beberapa pengusaha yang berhasil di antara anak keturunan mereka. Di Belanda, rata-rata pengangguran imigran Maroko sangat tinggi dibanding dengan kelompok imigran lainnya dan ini sebanding lurus dengan tingkat kriminalitas mereka. Karena alasan tersebut, mereka memicu perilaku negatif dalam sektor kehidupan tertentu yang dicap oleh penduduk asli Belanda dan secara tidak langsung juga terhadap Islam. 

Di tahun-tahun terakhir ini, Islam secara meningkat telah menjadi subjek perdebatan di Eropa: serangan teroris Muslim pada target-target di Amerika Serikat, London, dan Spanyol; tekanan kepada remaja putri untuk memakai jilbab, penggalangan pemuda untuk jihad internasional; penemuan buku-buku pelarangan homoseksual di masjid-masjid tertentu; kesetaraan pria dan wanita; pembiaran terselubung kekerasan rumah tangga; dan kriminalitas yang diatasnamakan ajaran agama Islam.

Pada tahun 2004, sutradara film Belanda Theo van Gogh dibunuh. Ekstremis pembunuh Muslim meninggalkan sebuah catatan yang menyebutkan dialah yang membunuhnya karena van Gogh secara terbuka mengkritik Islam. Hal ini membawa perubahan di Belanda: para politikus dan para pengikut lainnya dalam debat umum diancam dan bahkan secara sporadis muncul kejadian-kejadian, seperti serangan ke masjid, gereja, dan sekolah-sekolah. Fenomena ini lalu menimbulkan pertanyaan, apakah Islam dalam bentuknya seperti sekarang ini adalah selaras dengan nilai-nilai inti demokrasi dan praktik kehidupan di Belanda. Digabungkan dengan keprihatinan masalah integrasi, seperti penguasaan bahasa Belanda yang tetap rendah, pernikahan antaretnis yang rendah di mana lebih dari 70 persen pemuda Turki dan Maroko menikah dengan pasangan asli dari negara mereka, angka putus sekolah yang tinggi, dan buruknya lulusan sekolah di antara populasi Muslim, semua masalah ini telah memantik panasnya kehidupan sosial dan diskusi di parlemen.

Meskipun Pemerintah Belanda dan organisasi masyarakat sipil berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menerapkan kebijakan integrasi, satu hal masih tetap problematis, yaitu ancaman pemisahan antara Muslim dan non-Muslim. Ancaman ini semakin dibakar oleh fundamentalis Muslim yang mengambil keuntungan dari ketidakpuasan di antara imigran generasi kedua dan ketiga yang sangat lamban berintegrasi. Para fundamentalis Muslim tidak ingin menjadi bagian dari bentuk masyarakat seperti sekarang ini, tetapi lebih menempatkan diri mereka di luar dari itu dan bahkan menolak standar demokrasi dan aturan hukum Belanda yang berlaku. Namun, beruntungnya, kelompok semacam ini hanyalah pinggiran dan kebanyakan Belanda Maroko atau Maroko Belanda dan orang dari kelompok etnis yang lain tentu menerima nilai-nilai Belanda. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa individu dan kelompok pinggiran dapat menyebabkan banyak kerusakan.

Nikolaos van Dam
(Duta Besar Belanda untuk Indonesia)
 Opini Republika 29 Oktober 2009