29 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Menggali Identitas Diri Kepala Daerah

Menggali Identitas Diri Kepala Daerah

Hari-hari terakhir persoalan kepemimpinan menjadi perbincangan penting dari pusat hingga daerah. Kepala daerah di tingkat apa pun pada dasarnya adalah seorang pemimpin juga. Dia memimpin suatu bentuk manajemen dan administrasi tertentu, dalam hal ini adalah administrasi pemerintahan daerah.

Kita sering mendengar bahwa mempunyai jabatan atau menjadi pemimpin adalah suatu amanah, yaitu adanya pemberian kepercayaan dari masyarakat pada seseorang  untuk memimpin suatu kelompok dalam mencapai suatu tujuan.

Pemimpin dan kepemimpinan  adalah inti dari manajemen. Dalam suatu administrasi pemerintahan, baik itu pemerintahan daerah maupun pusat, tentunya ada dua pihak yang terlibat.

Sebagai pimpinan tentunya diharapkan mempunyai managerial skill yang memadai dengan lingkup tugasnya, seperti  misalnya mengetahui tugas-tugas seorang pemimpin serta tahu cara mengatur administrasinya. Baik itu yang berupa kebijakan-kebijakan ataupun orang orang yang ada dalam lingkup pemerintahannya.

Dengan demikian manajemen (dan administrasi) suatu pemerintahan daerah tidaklah steril dari pengaruh lingkungan ketika pemerintahan itu berada. Salah satu faktornya adalah karakter budaya dan manusia setempat.

Dengan pengertian seperti disebut di atas, maka seorang pemimpin seyogyanya mengaplikasikan suatu kepemimpinan yang mempunyai konteks dengan kearifan lokal sehingga dalam menjalankan kebijakan kebijakan yang diambil tidak berbenturan dengan nilai-nilai daerah setempat.

Untuk mencerdaskan sumber daya manusia kita, guna untuk mengolah sumber daya alamnya, Indonesia memang tidak menolak sistem pendidikan dari Barat, namun pengaruh pendidikan dari Barat ini jangan sampai menghapus nilai nilai budaya kita, karena banyak nilai-nilai budaya Indonesia  yang dapat kita gunakan sebagai pedoman dalam kepemimpinan bila kita mau untuk menggali dan serius untuk mempelajarinya.

Bila seorang pemimpin memasukkan unsur-unsur nilai budaya setempat, maka dapat kita harapkan kepemimpinan itu akan berjalan efektif karena kecil. Ini bahkan tidak akan terjadi penolakan dari masyarakat setempat, misalnya berkaitan dengan suatu kebijakan tertentu.

Ketika masyarakat sebagian besar masih tradisional, dengan pemikiran pemikiran dalam masyarakat yang tentunya juga masih menjunjung tinggi nilai budaya setempat, tentu diperlukan suatu bentuk kepemimpinan yang tidak hanya mengadopsi teori teori kepemimpinan dari Barat serta menerapkan apa adanya dalam praktik kepemimpinan.

Bukan berarti teori-teori tentang pemimpin dan kepemimpinan dari budaya Barat tidak baik. Teori-teori itu sudah baik karena berasal dari penelitian dan sudah dilakukan uji aplikasi pada berbagai bentuk kepemimpinan.

Dalam hal ini kita tidak meninggalkan berbagai teori yang sudah  dibuat itu, tetapi mencoba memberikan muatan lokal pada teori teori tersebut, supaya dalam tataran aplikasi praktis, teori-teori tersebut dapat berlaku efektif karena terdapat unsur kearifan lokal di dalamnya.

Diharapkan pemimpin dan kepemimpinan tersebut tidak ada kecanggungan untuk diterima dalam masyarakat.
Ajaran Ki Hajar Dalam masyarakat Jawa, kita mengenal beberapa macam ajaran kepemimpinan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Salah satu di antaranya adalah Ki Hajar Dewantar.

Beliau dikenal dengan ajaran yang mengemukakan tiga sifat yang sepatutnya dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Ajaran ini secara garis besar adalah pemosisian diri ketika berada di depan, di tengah serta di belakang dari kelompok yang dipimpinnya.

Di depan, seorang pemimpin harus dapat dijadikan panutan. Tentu tindakan-tindakan yang menjadi panutan adalah tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat.

Ajaran Ki Hajar Dewantara tersebut mempunyai maksud, memberikan pedoman pada para pemimpin atau calon pemimpin untuk mengetahui sifat sifat yang seharusnya dimiliki.

Hal tersebut juga akan kita dapatkan dari ajaran ajaran atau teori-teori dari berbagai sarjana Barat yang juga menyampaikan hal yang sama.

Ajaran yang disampaikan oleh tokoh pendidikan nasional kita ini juga mempunyai nilai-nilai yang bersifat universal, tetapi ajaran dari Ki Hajar Dewantara ini lebih mempunyai nilai nilai kearifan lokal karena ajaran mengenai sifat-sifat kepemimpinan ini dikemukakan oleh seseorang yang mempunyai keterikatan dengan budaya setempat.

Hal di atas hanyalah salah satu contoh dari bentuk ajaran kepemimpinan yang muncul dari pemikiran lokal. Tentunya ada banyak lagi bentuk ajaran ajaran kepemimpinan lokal yang dapat kita gunakan sebagai masuk dalam menjalankan kepemimpinan.
Tentunya kita harus lebih serius lagi untuk menggali khazanah budaya sendiri. (80)

—Bambang Kriswanto, mahasiswa pascasarjana Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
Wacana Suara Merdeka 29 Oktober 2009