21 Juni 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Perlindungan Nyata Buruh Migran

Perlindungan Nyata Buruh Migran

KISAH pilu buruh migran atau TKI/ TKW Indonesia di luar negeri, termasuk nasib tragis Ruyati binti Sapubi yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, bukanlah hal baru dan tidak ada jaminan hal itu tidak terulang pada masa mendatang jika kebijakan pemerintah terhadap buruh migran juga belum berubah. Selama ini kebijakan pemerintah kita terhadap buruh migran hanyalah mendorong sebanyak-banyaknya mereka untuk bekerja di luar negeri.

Lalu mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa karena mendatangkan devisa yang cukup besar ke Indonesia. Remitansi atau upah yang dikirim para TKI ke Indonesia berupa devisa atau valuta asing setahunnya tak kurang dari 8,6 miliar AS atau sekitar Rp 100 triliun. Devisa sebesar itu turut menjaga keseimbangan neraca pembayaran internasional Indonesia  dan juga perekonomian Indonesia dari dampak gejolak perekonomian global.

Namun upaya mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya TKI ke luar negeri juga membawa ekses. Relatif banyak TKW kita yang bekerja di berbagai negara menjalani hukum mati  tanpa ada upaya serius pemerintah untuk mengupayakan pembelaan dan perlindungan hukum. Perhatian serius baru diberikan misalnya menjelang pilpres. Kita ingat kasus Siti Hajar, TKW yang dianiaya di Malaysia tahun 2009, pemerintah terlihat gigih membelanya, bahkan SBY menelepon pimpinan negari jiran itu.

Tapi pembelaan itupun ternoda oleh pernyataan Presiden SBY tatkala menanggapi kasus Siti Hajar. Dia mengatakan telah berjumpa dengan sedikitnya 50 TKI yang baru saja tiba dari Arab Saudi dan hanya 3 orang yang bermasalah (detik.com, 11/06/09). Kesalahan pernyataan itu adalah ketika ia menganggap 3 sebagai jumlah kecil. Semestinya sekecil apapun kalau itu menyangkut nyawa tetaplah harus dianggap sebagai sesuatu yang besar.
Sebelumnya kita juga ingat menjelang Pilpres 2004 muncul kasus penyiksaan TKW Nirmala Bonat di Malaysia. Perhatian pemerintah begitu serius menanggapi, termasuk para capres. Tetapi setelah itu, tak ada lagi yang peduli terhadap persidangan yang harus dihadapi oleh Nirmala Bonat selama 4 tahun. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun kepada Yim Pek Ha, majikan yang menyiksa TKW itu pada 2004 tapi dikurangi menjadi 12 tahun.

Kelemahan MoU

Jika ditelusur akar permasalahan sebenarnya dari berbagai kasus penyiksaan, hukuman mati, ataupun pelanggaran HAM lain yang dialami TKI maka hal tersebut terletak pada lemahnya perjanjian kerja sama (memorandum of understanding/ MoU) penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan pemerintah ”pengimpor” tenaga kerja kita. Dalam MoU tentang penempatan TKI sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang ditandatangani di Bali, 14 Mei 2009 tampak bahwa Indonesia tak berdaya menghadapi Malaysia. Dalam MoU disebutkan bahwa majikan dari TKI diberi keleluasaan menahan paspor.

Keleluasaan menahan paspor inilah yang memicu tingginya kasus penganiayaan terhadap TKI khususnya yang bekerja sebagai PRT di Malaysia. Mengapa penganiayaan terhadap Siti Hajar di Malaysia tahun 2009 bisa berlangsung selama 34 bulan itu adalah juga karena kewenangan majikan menahan paspor.

Wanita pembantu itu tidak bisa lari karena peraturan keimigrasian di negeri jiran tersebut ekstraketat. Jika ingin melindungi TKI dari berbagai kasus, khususnya penyiksaan maka MoU harus direvisi. Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar yang tidak semestinya bersikap inferior terhadap bangsa dan negara lain, termasuk Malaysia.
Masalah lain adalah tidak adanya pasal-pasal perlindungan atau proteksi terhadap TKI.

Studi yang dilakukan Migrant Care (2008) yang membandingkan pernjanjian bilateral penempatan TKI yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara dan yang dibuat Filipina dengan 14 negara mitranya menemukan fakta menarik. Dokumen perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara penerima TKI tak satupun memuat kata ”perlindungan”. Sementara yang dibuat oleh Filipina dengan 14 negara mitranya penuh dengan kata ”protection” mulai pasal perekrutan, penempatan, sampai tanggung jawab negara pengirim dan penerima. (10)

— Nugroho SBM, dosen Fakultas Ekonomi Undip Semarang