18 Mei 2010

» Home » Kompas » Kepemimpinan Transformatif

Kepemimpinan Transformatif

Di Multazam, sambil merapatkan tubuh ke dinding Kakbah, yang pertama terlintas dalam doaku adalah Indonesia: ”Ya Allah, jadikan negeriku tempat yang aman. Berkatilah warganya dengan kemakmuran dan kebahagiaan. Tumbuhkanlah para pemimpin yang lebih besar dari dirinya sendiri.”
Seperti Ismail yang siap disembelih, ucapan Sherif Haramaian yang menerima rombongan kami terasa tajam menusuk kalbu, ”Indonesia tempat bermukim seperlima pemeluk Muslim dunia dengan segala kekayaan alamnya, terlalu penting untuk dilupakan dan terlalu menjanjikan untuk disia-siakan.”
Ada percik kebenaran dalam ucapannya. Sekadar berbekal minyak, Arab Saudi nan tandus dengan kepemimpinan otoritarian, toh masih sanggup menghadirkan kesejahteraan bagi warganya. Ketika Raja Fahd dibuatkan istana di sebuah bukit pinggir kota Madina, masih tersisa kearifan tradisional yang menggugah keinsyafannya. ”Bagaimana mungkin saya tinggal di atas bukit, sedangkan rakyatku bermukim di bawah sana.”


Sedangkan Indonesia, negeri subur dengan kepemimpinan demokratis yang seharusnya memuliakan daulat rakyat, bayangan yang segera terlintas adalah barisan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang miskin muruah dan perlindungan. Dalam pesawat yang membawa pulang, seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang mengalami gangguan ingatan—yang menurut para pramugari merupakan fenomena yang lumrah—secara ngelantur menyebut Indonesia sebagai ”Ibu Pertiwi yang tega menyembelih anak-anaknya sendiri”.
Setelah demokratisasi berjalan sebelas tahun tanpa perbaikan kualitas hidup, mestinya terbit kesadaran lain bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan. Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik yang memperhadapkan tirani dengan keadilan. Kebebasan tanpa keadilan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur.
Antiteori
Jauh-jauh hari, para pemikir demokrasi seperti Alexis de Tocqueville mewanti- wanti kemungkinan munculnya bentuk tirani yang lain dalam demokrasi, yakni tirani mayoritas. Namun, dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, yang muncul tetap saja tirani minoritas, yakni tirani pemodal yang bersekutu dengan oligarki kepartaian.
Jika persoalan demokrasi kita adalah defisit keadilan, bukan kebebasan, isu utamanya bukan pergantian elite dan prosedur politik, melainkan pada kapasitas transformatif dari kekuasaan. Bagaimana mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Malangnya, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi di Indonesia belum menyentuh aspek ini sehingga upaya reformasi tidak menghasilkan perubahan substansial.
Dalam hal ini, watak kepemimpinan memainkan peran penting. Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, perlu dicatat bahwa tidak ada pemimpin yang cocok untuk segala musim. Seperti dikatakan oleh Montesquieu dan Max Weber, kepemimpinan merupakan suatu fungsi yang dinamis yang beragam dalam watak, lingkup, dan kepentingannya, tergantung pada perkembangan masyarakat. Konsekuensinya, kekuasaan dan lokus tindakan seorang pemimpin ditentukan oleh watak personal dan kondisi yang berkembang di lingkungan politiknya.
Masa krisis dan kekacauan jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar dibanding pada masa normal dan stabil. Masa seperti ini, menurut Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib politik.
Namun, perkembangan antiteori sekali lagi terjadi di Indonesia. Krisis terus memagut, tetapi pemimpin-pemimpin karismatik tak kunjung muncul, atau hanya sesaat muncul untuk kemudian ditelan arus zaman. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Yang muncul justru pemimpin yang mengagungkan gebyarnya lahir, tanpa nurnya keberanian, keadiluhungan, kebenaran dan keadilan, apa yang disebut Buya Syafi’i Maarif, kecenderungan ”kepura-puraan ” dan gejala ”mati rasa”. Seyogianya setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan adalah penggembala yang menuntun dan memperjuangkan orang- orang yang dipimpinnya.
Dalam suatu kesempatan, setelah dirinya dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meninggalkan pos Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengeluarkan pernyataan getir, ”Ke depan, tak boleh ada lagi pemimpin yang mengorbankan anak buahnya.”
Kegetiran SMI itu menyiratkan adanya krisis karakter dalam kepemimpinan kita. Apalagi setelah opini sebagian besar media dan pengamat tidak menggugat mengapa SMI tega ”dikorbankan” dan kritik pun bertubi-tubi ke Ketua Harian Sekretaris Bersama Partai Koalisi.
Krisis kepemimpinan yang terjadi di era reformasi ini karena lebih mengandalkan sumber daya ”alokatif” ketimbang ”otoritatif”. Bahkan, yang terjadi adalah feno- mena munculnya pemimpin-pemimpin dengan tipologi mirip Ken Arok yang rela mengorbankan/mengkhianati atasan ataupun rekan seperjuangan dan seiring mereka. Ken Arok yang satu akan merekrut ”Ken Arok-Ken Arok” lainnya.
Titik nol
Jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru. Pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru. Jalan buntu menghadang kita. Itulah sebabnya mengapa New Deal harus diperjuangkan seiring dengan kemunculan new dealers.
Kita harus memulai langkah perubahan dari titik nol. Dari titik pemahaman awal di mana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues).
Seperti kata Vaclav Havel, ”Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri”.
Dengan jiwa para pemimpin yang kerdil apalagi ”mati rasa”, kekayaan alam hanya akan menjadi sumber kutukan.
Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Opini Kompas 19 Mei 2010