PUTARAN kedua pilkada langsung mulai kembali  bergulir pada April ini. Model pemilihan kepala daerah yang diterapkan  sejak Juni 2005 tersebut, tahun ini berputar lagi di 244 daerah (7  provinsi dan 237 kabupaten/ kota) di seluruh Indonesia. 
Termasuk di antaranya 17 kabupaten / kota di Jawa Tengah. Setelah lima  tahun berjalan, sistem pemilihan langsung itu mulai banyak dikritik dan  dipersoalkan efektivitasnya. 
Pemilihan langsung di tingkat provinsi bahkan sudah diantisipasi untuk  diubah melalui draf RUU Pemilihan Gubernur oleh DPRD. Alasannya,  gubernur merupakan wakil pemerintah pusat dan pilgub menelan anggaran  yang sangat besar.
Memang landasan konstitusional pilkada langsung tidak seperti pilpres  yang diatur dalam amandemen UUD 1945. Pilkada langsung diadakan  berdasarkan kesepakatan pemerintah dan DPR atas amanat UUD, yaitu agar  pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis dan jurdil (jujur  dan adil).
Dari komitmen bersama itu kemudian disusun regulasinya. Terbitlah UU  Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian mengalami  dua kali perubahan. Perubahan pertama melahirkan UU Nomor 8 Tahun 2005  dan perubahan kedua diwujudkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008. Peraturan  pemerintahnya juga mengalami perkembangan, dari PP Nomor 6 Tahun 2005 ke  PP Nomor 17 Tahun 2005, PP Nomor 25 Tahun 2007, hingga PP Nomor 49  Tahun 2008.
Kedudukan, fungsi, dan kewenangan KPU dan panwas sebagai penyelenggara  pilkada kemudian juga diatur dalam perundang-undangan tersendiri, yaitu  UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Belakangan Mahkamah  Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 93, 94, dan 95 sebagai jawaban atas  judicial review yang diajukan Badan Pengawas (Bawas) Pemilu. 
Tak Sinkron
Persoalan pilkada muncul dari sejumlah faktor yang saling terkait dan  terakumulasi, sehingga menjadi problem sistemik yang akut. Faktor-faktor  itu secara garis besar mencakup aspek regulasi dan penyelenggaraan,  anggaran dan logistik, serta kualitas kandidat dan perilaku pemilih.
Awal kekisruhan muncul dari regulasi pilkada yang tidak sinkron,  overlapping, dan multitafsir. Satu saja diktum regulasi tidak sinkron  dengan peraturan lain sudah cukup untuk membuat kekacauan di beberapa  sektor. Misalnya perbedaan ketentuan cara pemberian suara dalam Pemilu  2009 dan pilkada. Pemungutan suara dalam Pemilu 2009 dilakukan dengan  cara mencontreng, sementara UU Nomor 32 Tahun 2004 masih mengintroduksi  cara mencoblos.
Mencontreng dipilih sebagai cara yang dianggap lebih maju dan beradab,  karena mencoblos sudah ditinggalkan oleh banyak negara. Mencontreng juga  terbukti lebih menghemat waktu dan biaya. Indeks harga barang untuk  mencoblos (paku dan bantalan) bisa tiga kali lebih tinggi daripada harga  alat tulis untuk mencontreng.
Contoh lain adalah perbedaan ketentuan mengenai identitas pemilih. Dalam  Pemilu 2009, pemilih cukup membawa surat undangan, bahkan MK  membolehkan dengan KTP untuk memenuhi hak konstitusional warga negara  sekaligus menyelesaikan kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Tetapi UU  Nomor 32 Tahun 2004 masih mensyaratkan pemilih menggunakan kartu  pemilih. 
Perbedaan ketentuan ini bukan saja berimbas pada biaya pilkada yang  menjadi lebih mahal, tetapi juga memengaruhi tingkat partisipasi  pemilih. Di lain pihak, sistem administrasi kependudukan kita masih  belum tertib, sehingga DPT selalu berpotensi menimbulkan masalah. Single  identification number (SIN) sebagai basis pembuatan KTP elektronik baru  ditargetkan mulai diproses tahun depan.
Di tingkat implementasinya pun, regulasi pilkada sering bermasalah.  Misalnya, beberapa peraturan KPU Pusat dianggap tidak mampu menjabarkan  pasal-pasal sumir dalam undang-undang atau bahkan menimbulkan  multitafsir. Kasus kegagalan calon perseorangan dalam Pilkada Kota  Semarang diakibatkan oleh persoalan ini.
Sengketa antara KPU dan Bawas Pemilu juga dipicu oleh pemahaman yang  tidak sama terhadap regulasi pilkada. Dua institusi penyelenggara ini  memberikan contoh yang kurang baik dalam soal konsultasi dan koordinasi.  Mereka seharusnya berkonsolidasi agar perbedaan persepsi tidak  menggoyahkan sistem, mekanisme, dan aparat di bawahnya. 
Problem berikutnya yang melekat dalam pilkada adalah kesan biaya  penyelenggaraan yang mahal. Di Jawa Tengah misalnya, anggaran pilkada di  17 kabupaten / kota tahun ini bervariasi antara Rp 7 miliar dan Rp 30  miliar. 
Anggaran Rp 7 miliar diperlukan KPU Kota Pekalongan sebelum pengunduran  jadwal pilkada pada Juni mendatang karena hanya ada satu pasangan calon.  Penundaan dipastikan menambah biaya karena pertambahan logistik  pemilih, akomodasi, dan honorarium petugas. Sedangkan anggaran Rp 30  miliar dipatok KPU Kota Semarang. (10)
— A Zaini Bisri, wakil ketua Pengurus Nasional Mapilu-PWI dan penulis  buku Pilkada Langsung: Problem dan Prospek (2006) - katalog Australian  National University (ANU) 
Wacana Suara Merdeka 9 April 2010