DI tengah kisruh politik dalam negeri yang  tak kunjung usai akibat skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono (SBY) berkunjung ke Australia sampai 11 Maret hari ini.  Sejumlah menteri menyertai kunjungannya. SBY menerima tanda kehormatan  Honorary Companion of the Order of Australia dari Gubernur Jenderal  Persemakmuran Quentin Bryce AC atas jasanya memperkuat hubungan kedua  negara, serta meningkatkan demokrasi dan pembangunan di Indonesia.
Lantas, apa arti kunjungan SBY kali ini? Kunjungannya ini bisa diartikan  sebagai upaya mempertahankan sekaligus meningkatkan hubungan baik  Indonesia-Australia. 
Hubungan dua negara bertetangga itu dari waktu ke waktu berlangsung  fluktuatif. Silih bergantinya pemerintahan di Australia (antara Partai  Buruh, Liberal, dan Nasional) tampak jadi penyebab pasang surutnya  hubungan diplomatik Jakarta-Canberra. Pengalaman sejarah menunjukkan,  tatkala kemudi pemerintahan di Australia dipegang Partai Buruh, hubungan  Jakarta-Canberra cenderung lebih baik ketimbang saat kendali  pemerintahan Australia berada di tangan Partai Liberal ataupun koalisi  Liberal-Nasional. 
Kemauan dan kemampuan pemerintahan Partai Buruh ‘’mengelola’’ secara  hati-hati dan arif setiap isu sensitif yang muncul, menjadi faktor  penting yang membuat hubungan bilateral Indonesia-Australia cenderung  lebih (tetap) baik saat Negeri Kanguru itu diperintah oleh Partai Buruh.  
Penuh Hati-hati Contoh, ketika terjadi peristiwa berdarah di Gereja Santa Cruz di Dili,  Timor Timur (Timtim) pertengahan November 1991 (saat Timtim masih  berintegrasi ke dalam payung Republik Indonesia), pemerintah Australia  di bawah Perdana Menteri (PM) Paul Keating bersama Partai Buruhnya  merespons peristiwa Santa Cruz tadi dengan penuh hati-hati, sehingga  peristiwa tersebut tidak sampai menggoncang sendi-sendi hubungan  bertetangga kedua negara tersebut. 
Hal itu berbeda ketika isu Timtim kembali menguji hubungan  Jakarta-Canberra tahun 1999. Waktu itu partai koalisi Liberal-Nasional  pimpinan John Howard yang berkuasa di Canberra tidak hati-hati  meresponsnya. Howard terlalu dalam dan tidak fair mencampuri proses  jajak pendapat rakyat Timtim 30 Agustus 1999 yang dimenangi kelompok  prokemerdekaan, sehingga Timtim lepas dari pangkuan RI dan berdiri  sendiri menjadi sebuah negara merdeka bernama Republik Timor Leste. 
Campur tangan Howard yang tidak fair itu menyebabkan hubungan  Indonesia-Australia terjun bebas ke titik nadir. Hubungan diplomatik  kedua negara nyaris putus. Baru setelah terjadi serangan teroris di  Legian, Bali, Oktober 2002 yang menewaskan tak kurang 200 turis (warga)  Australia, hubungan Jakarta-Canberra mengisyaratkan mulai normal  kembali, ditandai salah satunya dengan penandatanganan Memorandum of  Understanding on Combating International Terrorism. Nota kesepahaman ini  menegaskan pentingnya kerja sama kedua negara memerangi terorisme  internasional. 
Bencana gempa dan tsunami Aceh akhir Desember 2004 ikut pula  menggairahkan kembali hubungan kedua negara. Dalam hal ini pemerintah  Australia mengucurkan bantuan bernilai ratusan juta dolar AS untuk ikut  membantu rekonstruksi Aceh pascagempa. 
Meski demikian, pulihnya hubungan Indonesia-Australia itu belum  benar-benar menyentuh substansi hubungan baik dua negara, terasa masih  mengambang, kurang greget, lantaran tidak sepenuhnya tulus terutama di  pihak Australia. Pemberian suaka politik oleh pemerintah Australia  kepada 42 warga Papua, yang diprotes keras oleh Indonesia, pada 2006  membuktikan masih mengambangnya hubungan baik kedua negara itu. 
Baru, setelah berganti pemerintahan di Australia akhir November 2007  (dari Liberal-Nasional ke Buruh, dari PM Howard ke PM Kevin Rudd),  hubungan baik Indonesia-Australia lebih memiliki greget. Tak berlebihan  kalau Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith menyebut hubungan  negerinya dengan Indonesia saat ini sebagai sebuah era baru. 
Menurut Menlu Smith, era baru hubungan baik Indonesia-Australia tidak   berhenti pada tataran kerja sama tingkat bilateral saja melainkan juga  kerja sama regional dan internasional seperti PBB. 
Awal era baru kerja sama (hubungan) bilateral Indonesia-Australia kini  ditandai salah satunya dengan penandatanganan Lombok Treaty 2008.  Kesepakatan Lombok merupakan kerangka modern kerja sama di bidang  pertahanan, keamanan, antiterorisme, keamanan maritim, penanganan  bencana, dan penegakan hukum. Di dalam kesepakatan ini kedua belah pihak  menyadari akan pentingnya saling menghargai dan mendukung kedaulatan,  integritas wilayah, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik  masing-masing. 
Bentuk konkret kesepakatan ini salah satunya adalah penanganan isu  perbatasan dan ancaman kejahatan transnasional seperti terorisme,  penyelundupan manusia, dan illegal fishing (penangkapan ikan secara  ilegal). 
Sementara itu, era baru kerja samanya di tingkat regional ditandai salah  satunya dengan intensifnya diplomasi Australia menyosialisasikan  gagasan pembentukan Asia Pacific Community (APC) 2020. Pertengahan tahun  2009 lalu PM Kevin Rudd mengangkat Richard Woolcott (mantan Duta Besar  Australia untuk Indonesia) sebagai duta khusus untuk  menyambangi/keliling Amerika Serikat, India, China, Jepang, Korea  Selatan, Indonesia, dan segenap anggota lain ASEAN dalam rangka  sosialisasi ide pembentukan APC 2020. Oleh PM Rudd, Indonesia dipandang  sebagai negara inti untuk ikut-serta menulangpunggungi pembentukan APC.  Karenanya, logis kalau rencana pembentukan APC masuk dalam agenda  bahasan pertemuan SBY-Rudd sekarang. 
Di luar itu, pertemuan SBY-Rudd akan membahas (rencana) kerja sama  pembangunan kawasan Indonesia timur. Juga, membicarakan soal ekstradisi  beberapa terpidana kasus korupsi yang kini tinggal di Australia. Salah  satunya adalah Adrian Kiki Ariawan, terpidana seumur hidup kasus korupsi  Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Surya. Upaya  ekstradisi Adrian terkendala oleh pengadilan di Australia yang  mempersulit Indonesia untuk memulangkannya. 
Agaknya, diperlukan diplomasi tingkat tinggi untuk mengekstradisi  Adrian. Dan, momen pertemuan SBY-Rudd di Canberra nanti bisa  dimanfaatkan untuk memperlancar upaya ekstradisi tersebut. Dalam hal ini  SBY perlu negosiasi dengan Rudd untuk mempercepat proses ekstradisi  Adrian. Jika negosiasinya itu berhasil, tentu hal itu akan memberi  kontribusi penting bagi peningkatan hubungan baik Indonesia-Australia ke  depan. Namun, jika gagal, tidak mustahil hal itu akan menjadi kerikil  yang mengganjal bagi upaya meningkatkan hubungan baik kedua negara di  kemudian hari.(10) 
— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal  di Yogyakarta  
Wacana Suara Merdeka 11 Maret 2010