10 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Makna SBY ke Australia

Makna SBY ke Australia

DI tengah kisruh politik dalam negeri yang tak kunjung usai akibat skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkunjung ke Australia sampai 11 Maret hari ini. Sejumlah menteri menyertai kunjungannya. SBY menerima tanda kehormatan Honorary Companion of the Order of Australia dari Gubernur Jenderal Persemakmuran Quentin Bryce AC atas jasanya memperkuat hubungan kedua negara, serta meningkatkan demokrasi dan pembangunan di Indonesia.

Lantas, apa arti kunjungan SBY kali ini? Kunjungannya ini bisa diartikan sebagai upaya mempertahankan sekaligus meningkatkan hubungan baik Indonesia-Australia.


Hubungan dua negara bertetangga itu dari waktu ke waktu berlangsung fluktuatif. Silih bergantinya pemerintahan di Australia (antara Partai Buruh, Liberal, dan Nasional) tampak jadi penyebab pasang surutnya hubungan diplomatik Jakarta-Canberra. Pengalaman sejarah menunjukkan, tatkala kemudi pemerintahan di Australia dipegang Partai Buruh, hubungan Jakarta-Canberra cenderung lebih baik ketimbang saat kendali pemerintahan Australia berada di tangan Partai Liberal ataupun koalisi Liberal-Nasional.

Kemauan dan kemampuan pemerintahan Partai Buruh ‘’mengelola’’ secara hati-hati dan arif setiap isu sensitif yang muncul, menjadi faktor penting yang membuat hubungan bilateral Indonesia-Australia cenderung lebih (tetap) baik saat Negeri Kanguru itu diperintah oleh Partai Buruh.
Penuh Hati-hati Contoh, ketika terjadi peristiwa berdarah di Gereja Santa Cruz di Dili, Timor Timur (Timtim) pertengahan November 1991 (saat Timtim masih berintegrasi ke dalam payung Republik Indonesia), pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri (PM) Paul Keating bersama Partai Buruhnya merespons peristiwa Santa Cruz tadi dengan penuh hati-hati, sehingga peristiwa tersebut tidak sampai menggoncang sendi-sendi hubungan bertetangga kedua negara tersebut.

Hal itu berbeda ketika isu Timtim kembali menguji hubungan Jakarta-Canberra tahun 1999. Waktu itu partai koalisi Liberal-Nasional pimpinan John Howard yang berkuasa di Canberra tidak hati-hati meresponsnya. Howard terlalu dalam dan tidak fair mencampuri proses jajak pendapat rakyat Timtim 30 Agustus 1999 yang dimenangi kelompok prokemerdekaan, sehingga Timtim lepas dari pangkuan RI dan berdiri sendiri menjadi sebuah negara merdeka bernama Republik Timor Leste.

Campur tangan Howard yang tidak fair itu menyebabkan hubungan Indonesia-Australia terjun bebas ke titik nadir. Hubungan diplomatik kedua negara nyaris putus. Baru setelah terjadi serangan teroris di Legian, Bali, Oktober 2002 yang menewaskan tak kurang 200 turis (warga) Australia, hubungan Jakarta-Canberra mengisyaratkan mulai normal kembali, ditandai salah satunya dengan penandatanganan Memorandum of Understanding on Combating International Terrorism. Nota kesepahaman ini menegaskan pentingnya kerja sama kedua negara memerangi terorisme internasional.

Bencana gempa dan tsunami Aceh akhir Desember 2004 ikut pula menggairahkan kembali hubungan kedua negara. Dalam hal ini pemerintah Australia mengucurkan bantuan bernilai ratusan juta dolar AS untuk ikut membantu rekonstruksi Aceh pascagempa.

Meski demikian, pulihnya hubungan Indonesia-Australia itu belum benar-benar menyentuh substansi hubungan baik dua negara, terasa masih mengambang, kurang greget, lantaran tidak sepenuhnya tulus terutama di pihak Australia. Pemberian suaka politik oleh pemerintah Australia kepada 42 warga Papua, yang diprotes keras oleh Indonesia, pada 2006 membuktikan masih mengambangnya hubungan baik kedua negara itu.

Baru, setelah berganti pemerintahan di Australia akhir November 2007 (dari Liberal-Nasional ke Buruh, dari PM Howard ke PM Kevin Rudd), hubungan baik Indonesia-Australia lebih memiliki greget. Tak berlebihan kalau Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith menyebut hubungan negerinya dengan Indonesia saat ini sebagai sebuah era baru.

Menurut Menlu Smith, era baru hubungan baik Indonesia-Australia tidak  berhenti pada tataran kerja sama tingkat bilateral saja melainkan juga kerja sama regional dan internasional seperti PBB.

Awal era baru kerja sama (hubungan) bilateral Indonesia-Australia kini ditandai salah satunya dengan penandatanganan Lombok Treaty 2008. Kesepakatan Lombok merupakan kerangka modern kerja sama di bidang pertahanan, keamanan, antiterorisme, keamanan maritim, penanganan bencana, dan penegakan hukum. Di dalam kesepakatan ini kedua belah pihak menyadari akan pentingnya saling menghargai dan mendukung kedaulatan, integritas wilayah, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik masing-masing.

Bentuk konkret kesepakatan ini salah satunya adalah penanganan isu perbatasan dan ancaman kejahatan transnasional seperti terorisme, penyelundupan manusia, dan illegal fishing (penangkapan ikan secara ilegal).
Sementara itu, era baru kerja samanya di tingkat regional ditandai salah satunya dengan intensifnya diplomasi Australia menyosialisasikan gagasan pembentukan Asia Pacific Community (APC) 2020. Pertengahan tahun 2009 lalu PM Kevin Rudd mengangkat Richard Woolcott (mantan Duta Besar Australia untuk Indonesia) sebagai duta khusus untuk menyambangi/keliling Amerika Serikat, India, China, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, dan segenap anggota lain ASEAN dalam rangka sosialisasi ide pembentukan APC 2020. Oleh PM Rudd, Indonesia dipandang sebagai negara inti untuk ikut-serta menulangpunggungi pembentukan APC. Karenanya, logis kalau rencana pembentukan APC masuk dalam agenda bahasan pertemuan SBY-Rudd sekarang.

Di luar itu, pertemuan SBY-Rudd akan membahas (rencana) kerja sama pembangunan kawasan Indonesia timur. Juga, membicarakan soal ekstradisi beberapa terpidana kasus korupsi yang kini tinggal di Australia. Salah satunya adalah Adrian Kiki Ariawan, terpidana seumur hidup kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Surya. Upaya ekstradisi Adrian terkendala oleh pengadilan di Australia yang mempersulit Indonesia untuk memulangkannya.

Agaknya, diperlukan diplomasi tingkat tinggi untuk mengekstradisi Adrian. Dan, momen pertemuan SBY-Rudd di Canberra nanti bisa dimanfaatkan untuk memperlancar upaya ekstradisi tersebut. Dalam hal ini SBY perlu negosiasi dengan Rudd untuk mempercepat proses ekstradisi Adrian. Jika negosiasinya itu berhasil, tentu hal itu akan memberi kontribusi penting bagi peningkatan hubungan baik Indonesia-Australia ke depan. Namun, jika gagal, tidak mustahil hal itu akan menjadi kerikil yang mengganjal bagi upaya meningkatkan hubungan baik kedua negara di kemudian hari.(10)

— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional Fisipol UMY, tinggal di Yogyakarta  

Wacana Suara Merdeka 11 Maret 2010