09 Februari 2010

» Home » Republika » Refleksi Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010 Pers setelah Sebelas Tahun

Refleksi Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010 Pers setelah Sebelas Tahun

SEJAK Indonesia memiliki Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, 23 September 1999, penampilan pers Indonesia makin mengesankan. Setiap media pers bebas menyiarkan informasi sesuai dengan moto dan nilai-nilai yang dimiliki. Setiap media pers berlomba-lomba menggali fakta yang tersembunyi dan menyampaikannya kepada khalayak. Setiap pers bahkan berusaha bergerak lebih cepat untuk menyampaikan informasi penting.

Kondisi ini melahirkan berbagai hal positif. Jurnalisme berkembang menjadi alat ekspresi. Khalayak makin membutuhkan media pers. Media pers pun memperoleh keuntungan materi yang tidak sedikit. Kendati begitu, media pers perlu waspada terhadap tiga hal, yaitu kebenaran berita, wacana berita, dan pemanfaatan berita.

Kebenaran Berita

Khalayak mengharapkan media pers menyiarkan kebenaran. Para wartawan merasa senang kalau bisa menulis berita tentang kebenaran. Mereka bisa memuaskan obsesinya sebagai pelaku informasi.

Tentu masalahnya bukan keengganan media pers untuk menyiarkan kebenaran, melainkan pada ukuran kebenaran. Apa sebenarnya yang menjadi ukuran kebenaran yang harus disiarkan? Menurut jurnalisme, seperti disebut Ashadi Siregar, ukuran kebenaran itu meliputi ontologis, punya konteks, dan eksis dalam kehidupan publik (2009:3). Benar secara ontologis bermakna kejadian yang diberitakan memang ada secara riil. Ia bisa dilihat dan bisa pula diobservasi. Lebih dari itu, ia punya narasumber yang bisa memberikan keterangan. Jadi, media pers tidak boleh menyiarkan kejadian yang tidak pernah terjadi atau fiksi.

Dari kebenaran berkonteks bisa diambil dua petuah, yaitu konteks hukum formal dan kepantasan kemanusiaan universal. Konteks hukum formal adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Artinya, kejadian itu harus dianggap benar oleh hukum positif. Sedangkan kepantasan kemanusiaan universal adalah kepantasan menurut kemanusiaan yang berlaku universal. Tegasnya, kejadian yang dianggap benar bukan saja oleh kepantasan menurut kemanusiaan di Indonesia, melainkan juga oleh kepantasan menurut kemanusiaan yang berlaku di dunia.

Sementara itu, kebenaran dalam kehidupan publik berarti kebenaran yang terdapat dalam kehidupan orang banyak, bukan dalam kehidupan pribadi (private). Sebab, media pers selalu berurusan dengan kepentingan orang banyak. Keberadaan media pers untuk memenuhi kebutuhan informasi orang banyak.

Soal kejadian yang riil, berkonteks hukum positif, dan kepantasan kemanusiaan universal, media pers sudah menjalankan dengan cukup baik. Yang agak sulit dipenuhi media pers secara utuh adalah kebenaran dalam kehidupan orang banyak. Tidak jarang media pers tergelincir menyiarkan kebenaran dalam kehidupan pribadi. Akibatnya, media pers cenderung menyiarkan berita sensasional.

Wacana Berita

Media pers semakin terampil menciptakan wacana lewat berita yang mereka siarkan. Sekalipun wacana itu merupakan makna yang tersirat, khalayak bisa menangkapnya dengan baik. Lihatlah, misalnya, wacana yang dikandung berita tentang kasus Bibit-Chandra pada akhir 2009. Berkat wacana yang dikandungnya, masyarakat berempati kepada mereka. Begitu tingginya empati itu sehingga mereka melakukan tekanan kepada lembaga penegak hukum untuk membebaskan Bibit-Chandra.

Memang tidak mudah menciptakan wacana yang dikandung berita. Ia harus melewati sebuah proses yang disebut framing. Prosesnya juga tidak gampang. Seorang wartawan harus memilah dan memilih fakta secara tepat sehingga bisa ditempatkan pada struktur berita dengan pas. Sudah begitu, fakta tersebut harus ditempatkan dalam konteks kepentingan publik atau cita-cita sosial yang luhur tentang masyarakat.

Setiap berita penting selalu mengandung wacana. Misalnya, berita tentang kasus Bank Century. Ada berita yang mengandung wacana ''supaya UU tentang perbankan perlu diamandemen". Ada lagi berita yang mengandung wacana ''siapa pun yang menebar kesalahan harus dihukum". Bahkan, ada berita yang mengandung wacana ''koalisi partai diperlukan, tetapi tidak untuk melindungi kejahatan".

Dengan wacana-wacana itu, media pers sudah menghargai keberadaan khalayak. Media pers sudah memberikan kesempatan kepada khalayak untuk memilih wacana yang pantas mereka terima. Tetapi, kemampuan khalayak untuk menyeleksi wacana tersebut tidak sama. Karena itulah, media pers diimbau untuk tidak terlalu banyak melemparkan wacana lewat berita yang mereka siarkan. Kalau wacananya terlalu banyak, khalayak bisa jadi bingung untuk menentukan wacana utama yang harus mereka anut.

Pemanfaatan Berita

Dalam persaingan media pers yang ketat seperti sekarang ini, bukan mustahil wartawan tergoda untuk menjadikan berita yang ditulisnya sebagai daya tarik bagi pemasangan iklan. Dia ''menjual" beritanya kepada pihak yang bisa menjadi sumber keuangan medianya. Dia seolah-olah sudah ikut mengurusi bisnis media pers. Kalau ini benar-benar terjadi, sesungguhnya dia sudah menjadikan media tempatnya bekerja sebagai lembaga ekonomi.

Ini tentu saja sah. Sebab, menurut jurnalisme, salah satu posisi media pers adalah sebagai lembaga ekonomi. Tetapi, media pers jangan hanya memosisikan diri sebagai lembaga ekonomi semata. Mereka perlu juga memosisikan media mereka, katakanlah, sebagai lembaga sosial. Kalau tidak, khalayak akan kecewa dan tidak mau lagi mengkases media pers tersebut.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa di masa sulit seperti ini, keberpihakan media pers kepada bisnis media sudah benar. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa media pers yang sangat kuat pun mengutamakan aspek bisnisnya? Media pers yang dianggap berkualitas pun, secara perlahan idealismenya luntur karena mengutamakan aspek bisnisnya. Tetapi, sikap seperti itu sebenarnya menampakkan wajah media pers yang tidak manusiawi. Media pers tidak lagi menganggap khalayak sebagai manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia. (*)

*). Ana Nadhya Abrar , pengajar Fisipol UGM, Jogjakarta
Opini Republika 9 Februari 2010