10 Januari 2010

» Home » Okezone » Potensi Maritim Nasional: Berkah atau Petaka?

Potensi Maritim Nasional: Berkah atau Petaka?

Dengan luas lautnya yang dua-pertiga lebih dari besar dari daratannya, Indonesia tak pelak lagi merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic state) bahkan sesungguhnya negara kepulauan terbesar di dunia.

Karenanya, cukup beralasan menjadikan lautan sebagai salah satu sumber, jika tidak mau disebut sebagai sumber utama, perekonomian bangsa ini. Ketangguhan bidang maritim telah terbukti ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi pada 1997. Potensi maritim nasional adalah satu-satunya bidang yang tidak terkena dampak negatif. Sumber daya maritim kita, mulai dari perikanan, energi dan mineral, wisata bahari, dan lain sebagainya, tidak berbau utang luar negeri. (Kata pengantar Wakil Presiden Hamzah Haz untuk buku Laode M Kamaluddin, Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2002). Dalam bahasa lain, potensi maritim nasional adalah berkah.

Petaka

Sayangnya, potensi tadi belum sungguh-sungguh dilirik sebagai basis perekonomian nasional oleh kita sebagai suatu bangsa. Di sini potensi berubah menjadi petaka. Contohnya, hingga hari ini kita tidak punya satu pun pelabuhan laut yang betul-betul berkelas dunia seperti PSA, Singapura, atau Tanjung Pelepas, Malaysia. Tanjung Priok, yang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia, tidak pernah bisa bebas dari kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal.

Dalam istilah bisnis kepelabuhanan, Pelabuhan Singapura dan Tanjung Pelepas disebut hub port. Isu hub port di Indonesia marak dibicarakan kalangan pemangku kepentingan kepelabuhanan belakangan ini. Karena ketiadaan hub port, 3 juta twenty-foot equivalent unit (TEU) kargo peti kemas mengalir keluar dari Indonesia setiap tahunnya, dan hampir sebagian besar singgah sebentar atau transshipment di Port of Singapore untuk selanjutnya didistribusikan ke tujuan akhirnya di berbagai belahan dunia. Jika kita asumsikan, pelabuhan Negeri Singa itu mendapat USD150 per TEU, maka kita akan kehilangan devisa USD450 juta per tahun.

Memiliki hub portberarti Indonesia bisa menutup kehilangan devisa yang tidak sedikit itu. Di samping itu, tentu akan mendapat berbagai keuntungan lainnya. Ini berarti kebutuhan akan hub port merupakan kebutuhan yang sangat strategis bagi kita. Ada kisah menarik di balik dibukanya Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) oleh Pemerintah Malaysia yang menggambarkan betapa strategisnya sebuah hub port bagi satu negara. PTP dibangun ketika Malaysia dipimpin Mahathir Mohamad alias Dr M Terletak persis di seberang Singapura, tepatnya di Johor Baru, pelabuhan ini sebetulnya tidak terlalu berhubungan dengan ekonomi domestik Malaysia.

Ia jauh dari kota besar atau kawasan industri besar karena letaknya yang di ujung selatan Malaysia. Ini berarti hanya akan ada sedikit barang Malaysia yang bisa keluar dari pelabuhan itu dan juga terlalu kecil barang yang akan diimpor lewat pelabuhan itu. N amun, Dr M tetap membangunnya. Dioperasikan pertama kali pada 1999 dan secara resmi diluncurkannya pada 2000, kini Pelabuhan Tanjung Pelepas merupakan salah satu pelabuhan penting di kawasan Asia dengan throughput tahunan mencapai 5 juta TEU. Tiga puluh persen saham PTP dipegang Maerks dan Evergreen, dua raksasa pelayaran dunia, dan menjadikan pelabuhan itu sebagai homebasenya.

Bukan hendak menafikan dinamika yang terjadi di kalangan pemangku kepentingan kepelabuhanan mengenai hub port di Indonesia, semua wacana yang ada tidak akan berarti apa-apa jika presiden tidak memiliki political will untuk membangun hub port di Tanah Air. Hub port adalah kebutuhan yang amat sangat strategis, ia bukan “makanan” nya Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan, apalagi direksi Pelindo atau Otoritas Pelabuhan yang sedang dipersiapkan pembentukannya.

Berkaca pada kisah Malaysia membangun Pelabuhan Tanjung Pelepas, political will presiden juga diharapkan dalam penetapan lokasi hub port akan dibangun dan seberapa banyak hub port akan dibangun di Indonesia. Presiden bisa saja mengikuti saran dari berbagai kalangan yang sudah dikemukakan selama ini, misalnya di Jakarta atau Sabang. Atau, presiden bisa menetapkan lokasi yang sama sekali baru, di luar wacana yang ada selama ini sejauh ia memiliki visi akan pentingnya pembangunan hub port di Indonesia.

Contoh lainnya, sampai sekarang kita tidak punya perusahaan pelayaran nasional yang bisa disejajarkan dengan Neptune Orient Line (NOL)-nya Singapura untuk trayek luar negeri. Djakarta Lloyd, yang disebut-sebut sebagai flag carrier (mungkin pertimbangannya karena perusahaan ini merupakan BUMN) ternyata hanya memiliki beberapa gelintir kapal pengangkut peti kemas. Itu pun bertonase kecil. Jangan lupa, di negara kepulauan terbesar di dunia ini, sampai sekarang sektor perbankannya masih menganggap bisnis maritim, khususnya pelayaran, sebagai bidang usaha yang berisiko tinggi.

Sehingga, mereka mengenakan tingkat suku bunga yang sangat tinggi, lebih dari 10 persen. Padahal, di negeri jiran Malaysia dan Singapura suku bunga untuk kalangan pelayaran berkisar antara 7–8 persen. Sebetulnya, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membangun bidang maritim di Tanah Air. Tapi, mungkin karena kita telah tercerabut begitu jauhnya dari akar jati diri sebagai negara bahari, semua kebijakan itu hampir-hampir tidak banyak berpengaruh. Misalnya, Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.

Sejak dikeluarkan peraturan tersebut hingga saat ini tidak juga bisa mendorong pihak perbankan untuk lebih mendukung pelaku usaha pelayaran dengan memberikan kredit berbunga rendah. Selain mengeluarkan inpres tersebut, pada tahun yang sama pemerintah juga telah meratifikasi International Convention on Maritime Liens and Mortgage (Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage, 1993) melalui Peraturan Presiden No 44 Tahun 2005. Tapi, tetap saja pihak perbankan tidak mengubah perlakuannya kepada industri pelayaran dalam negeri.

Namun, sedikit berita menggembirakan terbesit juga dari bisnis ini dengan makin tingginya porsi pelayaran nasional dalam mengangkut muatan di dalam negeri. Hingga saat ini porsi itu telah mencapai 46 persen. Dulu, kue ini dimakan pelayaran asing hingga 90 persen. Semua ini terjadi karena diadopsinya kebijakan cabotage (angkutan dalam negeri dilakukan kapal berbendera Indonesia) dalam Inpres No 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.

Keamanan dan Keselamatan Maritim

Keamanan dan keselamatan maritim nasional juga memiliki catatan yang cukup buram. Kecelakaan kapal silih berganti terjadi, dengan contoh teranyar adalah karamnya KM Dumai Express 10 di perairan Kepulauan Riau beberapa waktu lalu dengan menelan korban tewas lebih dari 40 orang. Akar dari masalah ini adalah tidak jelasnya manajemen keamanan dan keselamatan maritim di Indonesia.

Untuk itu, sistem keselamatan dan keamanan maritim nasional perlu direformasi karena sistem yang ada saat ini telah gagal dalam memberikan rasa selamat (safe) dan aman (secure) kepada pemangku kepentingan maritim di Tanah Air. Reformasi itu meliputi, antara lain, penyerahan penuh seluruh pemeriksaan statutory kapal kepada badan klasifikasi. Selama ini pemeriksaan statutory baru sebagian kecil dilimpahkan kepada badan klasifikasi. Namun, sebagian besar pemeriksaan masih dilaksanakan Departemen Perhubungan melalui marine inspector-nya.

Untuk keamanan maritim, reformasi yang diperlukan adalah penetapan tentang siapa yang paling berhak dalam menegakkan keamanan maritim. Sebetulnya menurut UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran kewenangan, keamanan maritim ada di tangan coastguard. Ada baiknya instansi lain yang melakukan penegakan hukum di laut berlapang dada untuk menyerahkan kewenangannya kepada coastguard. Tentu perlu ada amendemen terhadap berbagai undang-undang yang memberikan kewenangan kepada instansi-instansi lain itu.(*)

SISWANTO RUSDI,
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Opini Okezone 10 Januari 2010