19 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Tantangan Ekonomi Kabinet Baru

Tantangan Ekonomi Kabinet Baru

Sehari setelah dilantik, SBY akan mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB-2). Baik bagi SBY maupun Boediono, pemerintahan ini merupakan yang terakhir. Bagi SBY ini merupakan pemerintahan kedua, sementara bagi Boediono —sebagaimana dikatakan saat mencalonkan diri sebagai wapres— ini adalah periode terakhir pengabdiannya kepada negara.



Dengan keyakinan bahwa keduanya akan harus meninggalkan catatan emas dalam pengabdian mereka, tentu mereka akan bekerja keras untuk memenuhi janji-janji saat kampanye sekaligus akan membangun landasan kuat bagi Indonesia untuk berkembang jauh lebih pesat pada masa depan.

Kebijakan ekonomi memang tidak hadir di ruang hampa. Keberhasilannya sangat tergantung pada sistem ekonomi politik yang dipilih dan dianut dalam mengelola negara ini.

Semantara pilihan sistem ekonomi politik ini tidaklah independen melainkan dipengaruhi oleh pengalaman dan sejarah dalam bernegara, sistem pemerintahan dan banyak variabel sosial, politik, dan budaya.

Dengan tetap meyakini berbagai variabel ini akan memengaruhi dalam setiap usaha pencapaian hasil. Setidak-tidaknya ada empat tantangan besar yang merupakan masalah strategis yang harus diatasi oleh KIB-2 ini.

Pertama, pertumbuhan penduduk. Sebelum kita mampu mengelola penduduk menjadi sumber daya yang produktif, masalah berkaitan dengan ledakan pertumbuhan penduduk jelas merupakan sumber utama dan akar segala permasalahan ekonomi. Perjalanan Indonesia untuk menuju pertumbuhan penduduk nol (Zero Population Growth: ZPG) masih sangat panjang.

Roadmap ZPG yang akan tercapai pada 2040-an saat ini justru menghadapi tantangan besar karena pertumbuhan penduduk rata-rata masih 1,3 persen. Bahkan belakangan ada kekhawatiran pertumbuhan penduduk ini akan meningkat kembali. Karena itu KIB-2 ini perlu memberi perhatian khusus agar program pengendalian pertumbuhan penduduk kembali ke jalur ZPG 2040.

Kedua, kelangkaan dan importir netto energi. Indonesia sebagai importir netto untuk energi tak terbarukan memang sudah terjadi. Walaupun masih ada kemungkinan ditemukan sumber-sumber minyak baru, perkiraan cadangan minyak Indonesia paling banter hanya sampai 10-15 tahun ke depan. Artinya, sungguh nyata ancaman kelangkaan energi ini dan bayang-bayang menjadi importir netto tersebut semakin nyata.

Solusi Strategis

Dalam jangka pendek posisi ini akan menempatkan Indonesia dalam ketidakberdayaan menghadapi perkembangan harga energi selama satu dasawarsa ke depan, karena akan ditentukan oleh pasar internasional. KIB-2 harus melihat perkiraan ini sebagai tantangan strategis. Karena itu harus merintis ke arah jalur solusi strategis, terutama berkaitan dengan pergeseran pemanfaatan energi tak terbarukan ke energi terbarukan.

Walaupun demikian, karena energi terbarukan juga tidak tak terbatas, perlu ada perhatian dan kajian yang seirus akan dampak dari kecenderungan kontrak-kontrak jangka panjang berkaitan dengan pengelolaan energi terbarukan ini. Jangan samapi kontrak-kontrak tersebut justru merugikan Indonesia dalam jangka pajang.

Ketiga, kemunculan ancaman impotir netto pangan. Krisis energi bertautan sangat erat dengan kemungkinan munculnya krisis pangan, ketika sumber-sumber pangan juga menjadi sumber-sumber energi alternatif. Kenaikan harga energi dan pangan yang mengawali krisis ekonomi 2008 lalu jelas menjadi pengalaman berharga, betapa kedua komoditas strategis tersebut saling bertautan.

Bagi Indonesia, masalah ini tentu sangat relevan. Dengan penduduk yang saat ini sudah mencapai sekitar 225 juta orang dan akan mencapai 270-an juta pada 2025 mendatang tentu membutuhkan pangan yang sangat besar. Ketergantungan pada pada beras di satu pihak dan pertumbuhan beras yang mulai menurun mejadi sebab lain akan kekhawatiran krisis pangan domestik.

Pekerjaaan besar KIB-2 untuk mengurangi tekanan ancaman impor pangan ini adalah dengan membangun basis pangan tidak lagi hanya di Jawa dan tidak lagi hanya pada beras tetapi ke luar Jawa dan sekaligus diversifikasi pangan.

Dengan kepemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 hektar di Jawa, Jawa tidak lagi bisa diharapkan sebagai satu-satunya lumbung pangan bagi Indonesia. Strategi besar harus didesain untuk membangun dasar tersebut.

Pendalaman Industri

Keempat, proses deindustrialisasi. Munculnya ’’raksasa baru’’ Asia yakni China dan India, selain beberapa ’’new industrialized countries’’ seperti Vietnam, semakin menyakinkan kita bahwa proses deindustrialisasi sedang terjadi di Indonesia.

Ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam proses kehilangan daya saing. Indikatornya jelas, selain investor mulai tidak tertarik menanamkan modal mereka di Indonesia, tidak jarang pula investor yang sudah di Indonesia memindahkan investasi mereka ke negara Asia yang sedang tumbuh tersebut.

Walau laporan tahunan IMD Yearbook Competitiveness menempatkan Indonesia di urutan ke-42, tetapi posisi tersebut masih jauh di bawah China (2) dan India (30). Persoalan strategi pendalaman industri menjadi keharusan untuk dilakukan berkaitan dengan upaya meningkatkan daya saing tersebut.

Pada perspektif yang lebih pragmatis, solusi atas berbagai masalah strategis tersebut dilakukan dengan merumuskan kebijakan untuk mencapai target-target konkrit dan terukur seperti yang tertuang dalam MDGs Indonesia yang juga menjadi ’’materi’’ fit and proper seleksi anggota KIB-2.

Desain kebijakan yang fokus pada pencapaian indikator-indikator yang terukur akan memberikan gambaran apakah kebijakan ekonomi KIB-2 ini mengarah pada perbaikan mendasar atas persoalan startegis tersebut ataukah tidak.

Peran Daerah

Terhadap solusi berbagai masalah tersebut kita masih punya harapan besar, yakni peran pemerintah daerah yang harus semakin besar. Persebaran pertumbuhan ekonomi yang selama ini banyak ditinggalkan dan kemudian telah diperbaiki dengan kebijakan otonomi daerah harus dipertajam dan terlebih harus dikembalikan ke jalur yang benar.

Porsi belanja APBN untuk daerah yang semakin besar dari tahun ketahun sudah merupakan arah yang benar untuk mengakselerasi percepatan persebaran pertumbuhan tersebut.

Akan tetapi implementasinya masih sangat belum optimal. Penyerapan dana yang tidak pernah mencapai 100 persen, keterlambatan dalam pencairan, keterlambatan proses penyusunan APBD masih menjadi masalah-masalah besar dalam era otonomi selama yang telah hampir berjalan 10 tahun ini.

Karena itu pemerintah daerah harus mampu mengurangi timbulnhya masalah-masalah tersebut. Selain itu, pemerintah daerah harus juga mampu dan berani melakukan penajaman-penajaman program sejiwa dengan kempat masalah strategis di atas.

Walaupun dalam kampanye mereka, SBY-Boediono tidak menggunakan jargon ekonomi kerakyatan, tetapi Boediono sendiri —dalam Pidato Pengukuhannya sebagai Guru Besar UGM— berkeyakinan bahwa pertumbuhan tersebar (broad based economic growth) merupakan jalan ‘’emas’’ untuk mengatasi kemiskinan.

KIB-2 dengan salah satu nakhodanya Boediono diharapkan mampu mengimplementasikan konsep pertumbuhan ekonomi tersebar ini melalui peningkatan dan pengoptimalan peran pemerintah daerah. (35)

––– FX Sugiyanto, Guru Besar FE Undip
wacana suara merdeka 20 Oktober 2009