16 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » WikiLeaks dan Ancaman Kekacauan Internasional

WikiLeaks dan Ancaman Kekacauan Internasional

Oleh : Hardy MAS
Terungkapnya kawat diplomatik kedubes Amerika Serikat (AS) di Jakarta di situs Wikileaks, berpeluang tidak hanya merugikan Amerika Serikat, tetapi juga pemerintah Indonesia.
Kesimpulan ini diambil karena substansi kawat, seperti yang telah dibocorkan sebelumnya, dapat menyinggung rasa nasionalisme, mengabaikan tata krama, melecehkan pemimpin, atau membangkitkan perasaan dikhianati.  Salah satu  contohnya  adalah:  permintaan pemimpin Arab Saudi agar AS mengambil sikap keras terhadap Iran yang ditengarai mempunyai senjata nuklir dan ambisi regional.
Kabarnya, ada 3.059 kawat diplomatik kedubes AS di Jakarta yang akan dibocorkan. Melihat jumlahnya, isi kawat itu tentu akan menyangkut berbagai aspek dengan kualifikasi mulai dari sangat rahasia, terbatas hanya buat keperluan resmi, hingga yang berkategori biasa. Rentang waktu pengiriman kawat itu dapat mencakup sampai periode pemerintahan SBY. Kita tidak sepakat dengan pendapat yang menyatakan, jika jadi diungkapkan pada publik, yang akan dirugikan hanya pemerintah AS.
Para diplomat AS juga bakal dinilai tak bisa menjaga rahasia. Atas dasar itu, mereka mungkin tidak bisa lagi dipercaya, sehingga tidak akan mudah lagi memperoleh informasi. Pemerintah Indonesia juga akan kerepotan jika isi kawat ternyata berisi pandangan pejabat Indonesia terhadap pemimpin  asing atau berkenaan dengan kebijaksanaan negara lain. Selain juga komentar-komentar para diplomat asing tentang karakter para pemimpin nasional dan lain-lain.
Paling Berang
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling berang, karena ribuan dokumen rahasia menyangkut operasi-operasi intelijen dan memo-memo rahasia terkait antara lain Perang Irak dan Afghanistan kini bisa dibaca di situs WikiLeaks. Bukan hanya Amerika saja yang terkena dampak, Indonesia pun ikut menjadi sasaran pembocoran. Dikabarkan, WikiLeaks merilis data rahasia dari Indonesia yang masuk melalui kawat-kawat diplomatik ke Washington.
Disebutkan adanya operasi intelijen dari Kopassus untuk membungkam para tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Yang mengerikan, data yang dirilis WikiLeaks itu baru pembukaannya. Masih ada ribuan dokumen rahasia milik Indonesia yang akan diungkap selama periode tahun 2010-2014. Dokumen-dokumen itu memuat operasi-operasi militer dan intelijen Indonesia. Ketika pertama kali WikiLeaks memuat dokumen-dokumen rahasia Amerika Serikat, reaksi dunia masih beragam. Washington dan sekutunya jelas meradang, dan mengecam keras pembocoran itu dengan alasan pemerintah mana pun mendapat mandat dari rakyatnya untuk menjaga keamanan publik.
Bocornya operasi rahasia militer dinilai juga bakal berdampak pada keamanan publik. Sementara, kubu penentang AS tentu mendukung ulah WikiLeaks dengan alasan kebutuhan transparansi. Kubu pendukung transparansi punya alasan kuat bahwa transparansi sangat dibutuhkan untuk menjaga kesucian mandat rakyat itu sendiri. Institusi pemerintahan tetap berjalan dalam kesepakatan dan konsensus yang tertuang dalam peraturan hukum dan amanat rakyat. Dicontohkan, bocornya dokumen soal operasi militer di Afghanistan membuktikan salah satu dokumen rahasia yang menyebutkan Raja Arab Saudi Abdullah sempat meminta kepada AS untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. 
Dalam bocoran lain disebutkan, China akan mendukung penyatuan kembali dua Korea karena sudah "gerah" dengan sikap Pyongyang. Dari sudut pandang transparansi, informasi itu dipandang bermanfaat untuk melengkapi persepsi publik atas pemerintahannya, dan memberikan pembanding informasi selain yang sering kali bersifat propaganda dari pemerintah. Namun, kenyataan transparansi ala WikiLeaks telah berubah menjadi semata-mata penelanjangan, layak menjadi perenungan. ’’Tell the truth, but not the whole truth’’, begitulah pemeo dari para praktisi public relations yang bisa menjadi bahan pertimbangan.
Ungkapkan kebenaran, meskipun tidak seluruhnya bisa terungkapkan. Dari kacamata kebijakan ini, transparansi adalah upaya sistematis mencegah politik misinformasi atau pemelesetan informasi untuk kepentingan tertentu. Transparansi berupa penelanjangan institusi lebih banyak berujung kekacauan dan kebingungan di ranah publik.
Kondisi ini pada akhirnya akan berdampak fatal. Konsentrasi pemerintah kembali terpecah karena harus mengatasi dampak negatif pembocoran tersebut, termasuk merekonstruksi hubungan dengan negara lain. Sejauh ini, pembocoran kawat diplomatik AS telah menyebabkan kegamangan dalam hubungan antarnegara. Hubungan China-Korea Utara terganggu.
Negara-negara Arab telah dipermalukan berkaitan dengan sikapnya terhadap Iran. Rusia karena pemimpinnya mendapat julukan yang tak pantas. Perdana Menteri Inggris David Cameron boleh jadi gusar sebab dianggap lemah. Pembocoran kawat juga membangkitkan kesadaran tentang rawannya perangkat teknologi informasi.  Ternyata, secara teknis, tak sulit membobol data yang selama ini sangat dirahasiakan dan dilindungi secara ketat. Tambahan lagi, nurani para operator perangkat itu juga berkhianat karena tergugah kebohongan kebijaksanaan pemerintah AS. Di sisi lain, kecanggihan teknologi informasi tak diimbangi dengan penguatan peraturan hukum.
Barangkali hal ini terkait dengan prinsip-prinsip  kebebasan memperoleh informasi. Alhasil, pendiri Wikileaks, Julian Assange, masih  bebas sekalipun Interpol memburunya. Kawat diplomatik kedubes AS di Jakarta itu belum dibocorkan. Berdasarkan data yang telah dibocorkan, tampaknya Julian Assange memprioritaskan subjek-subjek yang kontroversial agar dunia tertarik dan heboh.
Dewasa ini, Indonesia bukan merupakan negara yang tengah menjadi sorotan. Posisinya jauh berbeda dibandingkan Irak, Iran, negara-negara di Timur Tengah, Asia Selatan, serta Asia Timur. Dengan demikian, magnitude-nya juga lemah. Sekalipun begitu, Julian Assange memberi pelajaran bahwa sebaiknya kita jangan terlena dengan kemahiran orang asing dalam menciptakan rasa dan karsa. Adalah juga kebiasaan kita untuk merasa lebih bangga memberi informasi kepada pihak asing. Kebiasaan tersebut sering kali menghinggapi para pejabat.***
Penulis, Pengamat politik internasional, tinggal di Kota Medan.
Opini Analisa Daily 16 Desember 2010