16 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Menanti Sabuk Pengaman TKI Bernama RUU PRT

Menanti Sabuk Pengaman TKI Bernama RUU PRT

Oleh : Ir. Budiman Panjaitan
Pasca kejadian yang menimpa Sumiati seorang TKW asal NTB sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi dan beberapa orang lagi tenaga kerja yang mengalami kekerasan menjadi sebuah keprihatinan nasional bagi kita semua.
Berangkat dari pengalaman yang sangat pahit tersebut sudah saatnya negara dalam arti institusi politik (political institusion) membuat sebuah rumusan formal dalam bentuk UU untuk melindungi warganya. Jika kita lihat konstitusi kita tidak ada UU atau dibawahnya yang spesifik memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga (PRT) yang mengadu nasib di luar negeri. Ini menjadi catatan khusus yang perlu digarisbawahi oleh pemerintah.
Pada tingkat minimal kehadiran RUU PRT (rancangan undang-undang pekerja rumah tangga) bisa menajdi dasar hukum membantu para pekerja rumah tangga dan memberikan perlindungan psikologis bagi semua pekerja rumah tangga yang mengadukan nasibnya. Dengan demikian para pekerja itu dalam beekrja di luar negeri akan merasa terlindungi. Inilah problematika di negara kita. Seyogiyanya hal-hal yang sangat urgen dan bersifat krusial menjadi perhatian pemerintah seperti menyangkut tenaga kerja dan nasibnya. Ini tidak RUU yang menghadirkan uang yang selalu menjadi perhatian pemerintah.
Lihat saja di gedung DPR RI jika sudah membahas masalah perbankan di komisi XI atau masalah anggaran daftar hadir semua angota DPR akan penuh. Tetapi kalau sudah membahas hal-hal yang bersifat sosial maka banyak daftar hadir DPR dan ruangan yang kosong. DPR kita sangat mengeluarkan energi politik yang sangat besar jika sudah berhubungan langsung dengan masalah fulus. Mengapa terjadi demikian? Perilaku DPR RI kita seperti ini sudah saatnya diganti dengan perilaku politik yang bisa memahami kondisi realitas masyarakat melalui sense of crisis yang terjadi di masyarakat kita.
Kembali dalam konteks pembuatan RUU PRT yang sangat mendesak. Ini terjadi atau latar belakangnya tidak lain adalah karena banyak PRT (TKW khususnya) yang mengalami berbagai kendala dalam bekerja di luar negeri. Salah satu kendala adalah masalah SDM dan teknis lainnya. Setidaknya PJTKI harus membenahi mereka dengan berbagai keahlian bekerja di dapur sebelum dikirim ke luar negeri. Dalam hal ini jika dasar hukumnya kuat dan tertuang dalam RUU PRT saya yakin sedikit banyaknya tingkat kekerasan bisa diminimalisasi pada titik yang lebih rendah.
Ini tidak, PJTKI hanya mengejar target tidak peduli dengan kondisi PRT. Yang penting dikirim dulu asal jelas uang masuk. Disamping itu respon pemerintah menanggapi hal seperti ini juga sangat lamban dan lemah. Setelah terjadi kejadian seperti ini barulah pemerintah sibuk dengan mengatakan turut berduka cita dan sebagainya. Kalau sudah terjadi penganiayaan, apalah artinya mengatakan sangat prihatin. Seharusnya pemerintah mencegah sejak dini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Maka sudah menjadi sebuah keharusan secara konstitusi saatnya dibentuk RUU PRT oleh DPR RI untuk membuat rumusan formal agar para pekerja rumah tangga (PRT) mendapat kepastian hukum, sekalipun ini bukan jaminan tetapi secara hukum mereka terlindungi.
Coba kita lihat dulu beberapa kasus Sumiati yang lain seperti Kikim Komalasari, warga Cianjur, Jawa Barat, dipukuli hingga tewas dan mayatnya dibuang. Husna yang bekerja di Madinah memiliki nasib yang sama, mengalami penyiksaan yang keji. Mereka menyabung nyawa. Tapi, mereka terlupakan dan diabaikan. Tetes air mata dan keringat bagai tak ada artinya. Sementara mereka membawa devisa langsung ke desa-desa. Profesi mereka adalah solusi alternatif yang masuk akal, di saat pemerintah negeri sendiri gagal mencari jalan keluar atas persoalan pengangguran dan kemiskinan. Ironis memang. Itulah sepenggal potret kondisi tenaga kerja Indonesia (TKI) kita di luar negeri yang kerapkali dilupakan dalam proses pembangunan.
Negara sering menyebut mereka sebagai pahlawan devisa. Namun, pada saat bersamaan, dengan mata telanjang kita teramat sering menyaksikan nihilnya peran negara atas geliat tenaga kerja Indonesia tersebut.Tak hanya itu, berbagai persoalan yang membelit mereka pun kerapkali tak ada perlindungan hukum yang jelas. Cerita tentang TKI di luar negeri memang selalu saja mewartakan kisah perih yang terdedah di depan mata. Bukan saja karena seringnya banyak kasus yang menimpa mereka mulai penganiayaan, pemerasan, kekerasan, hingga perlindungan hukum yang tidak jelas, melainkan juga karena seringkali ia diikuti oleh berkembangnya praktik perdagangan manusia (trafficking).
Yang menjadi problem krusial dan lebih penting dari semuanya adalah bahwa selama ini keberadaan mereka seringkali terlupakan dalam setiap kebijakan.Tindakan yang diambil pemerintah seringkali hanya bersifat reaktif-artifisial ketika muncul masalah (misalnya usulan membekali telepon seluler bagi para TKI), dan bukan kebijakan jangka panjang dalam bentuk regulasi yang punya kekuatan hukum. Akibatnya, persoalan TKI telah menjadi soal klasik seperti berputar dalam lingkaran setan dan menyusuri lorong gelap tak berujung. Munculnya kembali kasus-kasus penyiksaan terhadap TKI, bahkan di beberapa negara hingga saat ini ada yang terancam hukuman mati akhirnya memunculkan sebuah gugatan: perlindungan hukum macam apa yang diberikan negara selama ini?
Perlindungan
Salah satu bentuk perlindungan yang paling riil adalah kembali kepada RUU PRT yang tadi. Dengan demikian pemerintah bisa bertindak tegas kepada para penyalur tenaga kerja dan kepada negara tujuan. Negara dalam hal ini tampaknya perlu lebih cermat lagi untuk melihat kembali serta mengidentifikasi persoalan-persoalan apa saja yang sesungguhnya menjadi "penyakit"dalam soal TKI untuk kemudian melakukan "diagnosa" atas problem yang mereka hadapi. Di sinilah kemudian diperlukan kebijakan dan perlindungan hukum yang jelas kepada mereka dalam bentuk RUU PRT. Disamping itu ada juga yang perlu dilakukan pemerintah yakni mendesak bagi Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran (International Convention the Rights of All Migrant Workes and Members of Their Families of 1990).
Tanpa ratifikasi, sulit bagi Indonesia untuk menuntut keadilan bagi buruh migran yang mengalami tindak kekerasan. Persoalan TKI tidak bisa dibiarkan dari tahun ke tahun hanya menjadi tragedi kemanusiaan atas nama pembangunan. Negara perlu diingatkan bahwa kelompok tenaga kerja yang dianggap pahlawan devisa tersebut seharusnya ditempatkan pada posisi yang memungkinkan mereka diperhitungkan dalam setiap proses kebijakan dan mendapat perlindungan hukum.
Kesadaran ini saya kira perlu diinjeksikan terus-menerus karena ternyata sangat minim sekali kepedulian dan peran-peran pemerintah dalam mengatasi berbagai hal yang menimpa buruh migran. Kasus-kasus penyiksaan yang masih saja menimpa TKI serta yang menghadapi hukuman mati di beberapa negara kiranya menjadi contoh paling nyata. Dalam kasus Sumiati misalnya, alih-alih membuat jurus mengatasi kasus TKI, pemerintah justru mencari kambing hitam dengan menuding pihak swasta yang menjadi sumber masalah.
Terlepas daripada itu, konstitusi kita dalam UUD 1945 jelas mengatakan bahwa salah satu tujuan negara RI adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Buruh migran (PRT) yang bekerja di luar negeri adalah bagian dari siklus dan komponen anak bangsa ini. Saatnya mereka dilindungi secara hukum dalam bentuk konstitusi juga. Misalnya mempercepat pengajuan RUU PRT sebagai acuan dalam melindungi buruh migrant. Jika tidak kasus-kasus yang menimpa pekerja rumah tangga kita tidak akan pernah selesai. Kita tunggu saja komitmen dan political will pemerintah dan DPR dalam menuntaskan masalah pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan.***
Penulis adalah Anggota DPRD Kota Medan Fraksi PDS.
Opini Analisa Daily 16 Desember 2010