16 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Pengelolaan Pascaerupsi Merapi

Pengelolaan Pascaerupsi Merapi

ANOMALI pada erupsi Gunung Merapi tahun ini memaksa kita untuk menata kembali tata ruang. Usulan ini menekankan format pengelolaan kawasan Merapi dalam perspektif manajemen bencana berkonteks otonomi daerah yang berpihak pada komunitas setempat.

Pengelolaan kawasan dilakukan berdasarkan pertimbangan fungsi kawasan Merapi sebagai kawasan rawan bencana. Pengelolaan  dilakukan dengan zona-zona rawan bencana, penyangga nonbudi daya, penyangga budi daya, dan penyangga budaya.  Zona rawan bencana mempunyai limitasi yang tinggi bagi masyarakat. Karena itu, cagar alam dan perlindungan setempat dapat dikembangkan di zona ini.

Zona penyangga nonbudi daya memberikan kendala tinggi bagi masyarakat.  Masyarakat secara terbatas dapat melakukan aktivitas di zona ini, misalnya mencari rumput. Hutan lindung, perlindungan setempat, hutan negara, cagar alam, dan pendukung peternakan dapat dikembangkan di  zona ini.
Zona penyangga budi daya memiliki kendala sedang bagi masyarakat. Secara terbatas warga dapat melakukan aktivitas di zona ini; antara lain tumpangsari hutan heterogen dengan perkebunan tanpa olah lahan. Kawasan awan panas hasil erupsi 2010 diusulkan masuk dalam zona ini.

Hutan lindung, cagar alam, perlindungan setempat, hutan negara, hutan wisata, pendukung peternakan, dan pariwisata dapat dikembangkan di sini.
Zona penyangga budaya memiliki kendala rendah bagi masyarakat. Hutan rakyat, perlindungan setempat, hutan negara, hutan wisata, pendukung pertanian, peternakan, pariwisata, dan pertambangan dapat dikembangkan di zona ini. Masyarakat dapat melakukan aktivitas sosial, ekonomi, ataupun budaya di zona ini dengan lebih leluasa.

Pengelolaan kawasan berdasarkan pertimbangan fungsi ketahanan air dan tanah, serta fungsi budi daya dipilahkan dalam kawasan-kawasan hutan lindung, cagar alam, hutan wisata alam, perlindungan setempat, hutan rakyat, hutan negara, pertanian, pariwisata, pertambangan, dan permukiman
Kawasan hutan lindung  merupakan hutan tutupan vegetasi tetap untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu dapat terjamin.

Kawasan cagar alam (Plawangan) telah ditetapkan karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan taman wisata alam (Turgo-Plawangan) telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam, terutama dimanfaatkan untuk pariwisata alam.
Kesejahteraan Penduduk Kawasan perlindungan setempat berupa kawasan sempadan sungai dan kawasan di sekitar mata air. Sempadan sungai dan air adalah kawasan di sekitar sungai dan mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dan mata air. Pengelolaan bersama dilakukan agar tidak terjadi alih kelola sumber daya air dari masyarakat dengan alasan apapun.

Kawasan hutan negara adalah hutan alam ataupun produksi yang dikelola BUMN bersama masyarakat, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air, yang diupayakan mampu mencegah terjadinya erosi,  sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologi tanah. Bila sepenuhnya dikelola oleh rakyat, maka merupakan kawasan hutan rakyat. Kawasan yang merupakan hasil endapan awan panas hasil erupsi 2010 di sepanjang Kali Gendol disarankan dikembangkan menjadi kawasan hutan rakyat.

Kawasan pariwisata adalah kawasan wisata alam pegunungan dan budaya lokal yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya.  Wisata yang dikembangkan yang berbasis pada kapasitas lokal antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata bencana, wisata pertemuan, dan wisata ilmiah. Kawasan jejak erupsi merupakan objek wisata yang menarik dan perlu dikonservasi.

Kawasan pertambangan adalah kawasan aktivitas penambangan pasir dan batu yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya. Disarankan kawasan ini dikelola oleh masyarakat yang terkena dampak erupsi 2010 secara langsung ataupun tidak langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk walaupun tanpa jaminan hidup yang diberikan pemerintah.  Kita percaya, memayu hayuning bawono dalam konteks Merapi adalah tanggung jawab dan hak kita semua. Mari kita wujudkan melalui pengelolaan ruang yang baik. (10)

— Doktor Eko Teguh Paripurno, geolog, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ‘’Veteran’’ Yogyakarta 
Wacana Suara Merdeka 17 Desember 2010