16 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Banjir dan Bupati Baru

Banjir dan Bupati Baru

Oleh ATIP TARTIANA

Anda boleh jadi tak kaget dan tak heran ketika mendengar beberapa titik di Kecamatan Dayeuhkolot dan Kecamatan Baleendah baru-baru ini tak henti-hentinya dihantam banjir. Boleh jadi pula respons Anda biasa-biasa saja ketika kebetulan menonton berita mengenai banjir besar melanda sebagian kawasan Majalaya dan Rancaekek.

Ini boleh jadi lantaran kawasan-kawasan yang masuk wilayah Kabupaten Bandung memang sudah menjadi daerah langganan banjir tiap musim hujan. Banjir di kawasan-kawasan tersebut memang bukanlah cerita baru, tetapi sudah menjadi kisah klasik. Tak ada sesuatu yang luar biasa dari berita banjir di Kabupaten Bandung.

Setiap timbul banjir, luapan air "cokelat" menggenangi rumah-rumah warga antara setengah hingga lebih dari dua meteran. Setiap itu pula, korban sibuk "berlomba-lomba" menyelamatkan diri berikut hartanya. Setelah air banjir menyusut, warga terpaksa membersihkan rumahnya dari lumpur beraroma tak sedap serta sampah-sampah kecil yang sungguh tak enak dipandang mata.

Pemandangan tersebut terus berulang setiap tahun. Di kawasan-kawasan tertentu seperti Bojong Citepus Kecamatan Dayeuhkolot dan Cieunteung Kecamatan Baleendah, penduduk boleh berganti tiap generasi, tetapi banjir tetap menjadi "hantu" tahunan yang menakutkan. Bupati dan anggota DPRD boleh berganti setiap periode, tetapi banjir tetap menjadi tamu matuh yang mencemaskan. Dalam setiap periode kepala daerah, berbagai upaya antisipasi bahaya banjir serta penanganan korban dilakukan. Namun, entah karena programnya tidak tepat atau pelaksanaannya tidak sesuai dengan programnya, banjir tetap sulit dijinakkan.

Uniknya, korban seolah tak merasa jera. Mereka tetap tinggal di kawasan rawan banjir. Pada 1986, misalnya, pemerintah setempat pernah merelokasi lima ratus kepala keluarga korban banjir Dayeuhkolot dan Baleendah ke Kampung Riung Gunung, Kelurahan Manggahang, Kec. Baleendah. Namun, tidak lama kemudian mereka kembali lagi ke tempat semula hanya karena kawasan relokasi jauh dari tempat mereka mencari nafkah. Maklum, pada umumnya mereka bekerja di pabrik-pabrik dan berdagang. Daerah relokasi hanya cocok bagi warga yang hobi bertani. Faktanya, penduduk kawasan rawan banjir bukannya berkurang, tetapi justru bertambah.

Ini tentu bukan berarti korban banjir sudah kehilangan mimpi dan harapan untuk terbebas dari banjir. Namun, karena faktor sosiokultural dan alasan ekonomi, keinginan dan harapan mereka justru digantungkan dengan tetap tinggal di kawasan langganan banjir. Berbasah-basah lumpur kotor dan berlomba-lomba menyelamatkan barang-barang kesayangan mereka dari banjir merupakan bagian dari perjuangan dan upaya memenuhi mimpi mereka tetap bertahan hidup.

Tantangan bupati baru

Keinginan dan harapan hidup korban banjir tentu semestinya menjadi referensi bagi para elite politik setempat dalam ikhtiar memproduksi kebijakan konkret antisipasi bahaya banjir dan penanganan para korbannya. Tuntutan ini terutama mesti dipegang sekaligus diterjemahkan anggota dewan yang sebagian konstituennya notabene adalah korban banjir. Rakyat tentu masih ingat siapa saja anggota dewan yang rajin mengangkat isu banjir dalam kampanye mereka saat pemilihan umum yang lalu.

Seiring dengan suksesi kepemimpinan daerah, tidak berlebihan jika harapan dan keinginan korban banjir digantungkan kepada pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bandung periode sekarang. Harapan ini bukan semata-mata karena pemilih berasal dari kelompok korban banjir yang jumlahnya cukup signifikan. Harapan ini bukan pula karena janji untuk menangani masalah banjir sempat dikemukakan keduanya saat kampanye yang diberitakan media cetak serta debat publik yang disiarkan televisi. Kehadiran bupati baru semestinya memang menjadi solusi.

Langkah konkret pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bandung yang baru dalam menangani masalah banjir serta korbannya mesti segera ditunjukkan tanpa melihat apakah korban banjir merupakan konstituen mereka saat pemilukada yang lalu atau bukan. Kini mereka bukan lagi pasangan calon bupati dan wakil bupati milik partai pengusung dan para pendukungnya, tetapi sudah menjadi milik semua warga Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, tanpa harus melepaskan fatsun partainya, keduanya mesti tampil sebagai negarawan yang berupaya mengayomi serta menjawab keinginan dan harapan seluruh masyarakat Kabupaten Bandung, di antaranya para korban banjir.

Banjir tentu bukan satu-satunya problem serius di Kabupaten Bandung. Namun, sangat boleh jadi hal yang paling diketahui masyarakat Indonesia mengenai Kabupaten Bandung kini adalah soal banjirnya. Maklum, banjir di Kabupaten Bandung tahun ini nyaris tiap hari menjadi pemberitaan televisi. Kenyataan ini tentu bukan situasi yang mengenakkan, terlebih bagi Bupati dan Wakil Bupati Bandung yang baru dilantik. Alangkah eloknya jika keduanya mengapresiasi realitas ini sebagai stimulus kuat untuk lebih serius menangani persoalan banjir secara konkret, alih-alih lari dari kenyataan atau malah menutup opini banjir dengan melempar opini lain.

Jika Bupati dan Wakil Bupati Bandung yang baru sanggup menjawab tantangan ini, masa pelantikan yang disaksikan pejabat publik, tokoh masyarakat, dan media massa bukan sekadar ritus sarat seremonial an sich, tetapi menjadi bermakna bagi dirinya dan bagi masyarakat, khususnya korban banjir. Ikhtiar merealisasikan tantangan ini tentu amat berat, seberat lumpur tebal dan sampah kotor yang menyesaki rumah-rumah korban banjir. Namun, ini setidaknya menjadi kesempatan awal bagi keduanya untuk menanam investasi kesan positif serta memperkuat legitimasi politik di mata masyarakat, khususnya korban banjir. ***

Penulis, warga Kabupaten Bandung, dosen FISIP Unpas dan Unfari, pegiat diskusi mingguan pada Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 17 Desember 2010